Pernahkah kita membayangkan menjadi tua dengan kenangan pahit tentang kemacetan jalan, ketakutan akan terlambat ke kantor, dan tugas-tugas rutin yang seolah-olah menjadikan kita bagian dari sebuah mesin yang berjalan tanpa henti?
Kalimat yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, "Menjadi Tua di Jakarta", seakan-akan menjadi cerminan dari kehidupan sehari-hari yang dialami oleh banyak dari kita yang berada di kelas menengah bawah di perkotaan. Kita mungkin merasa terjebak dalam siklus yang sama, hari demi hari, tanpa melihat adanya harapan untuk keluar dari rutinitas yang monoton tersebut.
Di tengah kehidupan yang penuh tantangan ini, pernyataan dari ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menambahkan perspektif yang sangat penting.
Beliau mengingatkan kita semua tentang pentingnya pemerintah untuk memperhatikan kepentingan kelas menengah di Indonesia. Mengutip fenomena "Chilean Paradox", di mana kepentingan kelas menengah tidak difasilitasi, Chatib Basri menekankan bahwa kita harus berhati-hati agar situasi serupa tidak terjadi di negeri kita.
Kehidupan sehari-hari kelas menengah bawah di perkotaan seringkali penuh dengan perjuangan. Mulai dari bangun pagi-pagi buta untuk menghindari kemacetan, berdesakan di transportasi umum, hingga kembali ke rumah di malam hari hanya untuk bersiap mengulang rutinitas yang sama esok hari.
Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada realitas ekonomi yang menuntut kita untuk terus bergerak, terlepas dari betapa melelahkannya rutinitas tersebut.
Chatib Basri, dalam pernyataannya, seakan membuka mata kita akan pentingnya sebuah perhatian khusus terhadap kelas menengah. Dia menyebutkan bahwa saat ini, banyak di antara kita, khususnya yang berada di kelas menengah ke bawah, mulai menggunakan tabungan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Ini merupakan sinyal bahaya yang menunjukkan bahwa tanpa dukungan yang memadai, kelas menengah bisa jadi akan semakin terjepit.
Bukan hanya soal bantuan sosial atau uang tunai, yang seringkali lebih diutamakan untuk kelompok miskin, namun lebih kepada fasilitas umum yang baik, pendidikan berkualitas, dan sarana transportasi yang layak. Kita semua menginginkan sebuah kehidupan yang tidak hanya sekedar bertahan, tapi juga berkualitas, di mana kita bisa menikmati hasil kerja keras kita tanpa harus terus menerus khawatir tentang masa depan.
Pernyataan Chatib Basri dan kutipan dari Seno Gumira Ajidarma ini hendaknya menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi pembuat kebijakan, bahwa kehidupan kelas menengah bawah di perkotaan bukan hanya sekedar angka dan statistik. Ini adalah tentang kehidupan nyata dari jutaan orang yang berusaha keras setiap hari untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Keterbatasan Pilihan dan Kapabilitas Kelas Menengah
Bayangkan kita berada di sebuah ruangan dengan banyak pintu, tapi hanya satu yang terbuka untuk kita. Inilah gambaran yang bisa kita gunakan untuk menggambarkan situasi yang dihadapi oleh kelas menengah kita sehari-hari. Amartya Sen, seorang ekonom terkemuka, mengajarkan kita tentang konsep "kebebasan untuk mencapai" yang terbatas. Apa artinya? Ini berarti bahwa meskipun kita memiliki banyak kemungkinan, realitas ekonomi dan sosial kita seringkali hanya memperbolehkan kita untuk mengejar sebagian kecil dari kemungkinan tersebut.
Bagi banyak dari kita, kehidupan sehari-hari penuh dengan keterbatasan pilihan. Pagi kita dimulai dengan pertanyaan sederhana: "Haruskah saya berangkat kerja lebih awal untuk menghindari kemacetan, meskipun itu berarti kurang waktu dengan keluarga?" atau "Dapatkah saya membiayai pendidikan anak saya di sekolah yang berkualitas tanpa harus memikirkan biaya hidup lainnya?" Ini adalah pertanyaan yang mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, tapi bagi kita, ini adalah dilema nyata yang mempengaruhi kualitas hidup kita.
Keterbatasan pilihan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, tapi juga prospek masa depan kita. Banyak dari kita yang bekerja keras, berharap bisa memperbaiki kondisi hidup, hanya untuk menemukan bahwa pintu ke arah perbaikan itu tampaknya selalu terkunci. Apakah itu berarti kita harus menyerah? Tentu tidak. Tapi, ini menunjukkan bahwa kita memerlukan lebih banyak jalan dan pintu yang terbuka untuk kita -- baik itu melalui kebijakan pemerintah, inisiatif swasta, maupun dukungan komunitas.
Efek dari keterbatasan ini terasa sangat nyata. Misalnya, ketika kita ingin memperbaiki keahlian atau menambah pendidikan untuk meningkatkan peluang kerja, kita sering kali terhambat oleh biaya atau ketersediaan waktu karena harus bekerja. Atau ketika kita ingin pindah ke lingkungan yang lebih baik, kita dibatasi oleh harga properti yang terus melonjak dan pendapatan yang tidak bertumbuh seiring.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita terus berusaha untuk melawan keterbatasan ini, mencari celah di antara batu-batu besar yang menghalangi jalan kita. Kita berinovasi, kita beradaptasi, dan terkadang, kita bahkan menemukan jalan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Namun, untuk perjalanan yang lebih lancar dan prospek masa depan yang lebih cerah, kita membutuhkan lebih dari sekedar kegigihan individual; kita membutuhkan dukungan sistemik yang memperluas "kebebasan untuk mencapai" kita semua.
Mari kita gunakan kesadaran ini untuk berdialog, untuk mendesak perubahan, dan untuk memastikan bahwa setiap dari kita, terutama mereka yang berada di kelas menengah, memiliki lebih banyak pintu yang bisa dibuka dan lebih banyak jalan yang bisa dijelajahi. Kita semua berhak atas pilihan yang lebih luas dan kemampuan untuk mencapai potensi penuh kita.
Pengabaian Terhadap Kelas Menengah
Di tengah perjuangan harian kita, ada satu hal yang terasa semakin jelas: kelas menengah sering terasa seperti anak tengah yang terlupakan. Chatib Basri, dengan tajam, menyoroti kondisi ini, mengingatkan kita semua tentang pentingnya tidak mengabaikan kebutuhan dan kepentingan kelas menengah di Indonesia. Peringatan ini bukan tanpa alasan. Di saat pemerintah berusaha keras memberikan bantuan sosial untuk meringankan beban kelompok miskin, ada kesan bahwa kelas menengah---yang juga menghadapi tekanan ekonomi---sering terlewatkan dari perhatian.
Mungkin kita sering bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya mungkin terletak pada cara kita mendefinisikan 'kebutuhan'. Bagi banyak dari kita di kelas menengah, kebutuhan kita mungkin tidak selalu tentang bertahan hidup dalam arti literal. Kita mungkin tidak berjuang untuk makanan sehari-hari, tapi kita berjuang untuk kualitas hidup yang lebih baik, pendidikan yang layak untuk anak-anak kita, dan akses ke layanan kesehatan yang memadai. Ini adalah kebutuhan yang, jika tidak dipenuhi, bisa menurunkan kualitas hidup kita dan menjauhkan kita dari kemajuan ekonomi dan sosial.
Kontras antara fokus pemerintah pada bantuan sosial untuk kelompok miskin dengan kurangnya dukungan untuk kelas menengah bukanlah masalah hitam putih. Kita mengerti dan mendukung pentingnya membantu mereka yang paling membutuhkan. Namun, mengabaikan kelas menengah berarti mengabaikan motor penggerak ekonomi yang penting, yang jika diberdayakan, dapat membawa perubahan positif bagi ekonomi secara keseluruhan.
Lebih jauh lagi, ketika kelas menengah merasa terjepit dan tidak didukung, dampaknya bisa berjangkauan luas. Bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang stabilitas sosial. Kisah dari Chile yang Chatib Basri ceritakan kepada kita adalah pelajaran berharga. "Chilean Paradox" menunjukkan bagaimana ketidakpuasan kelas menengah dengan pemerintah yang tidak memperhatikan kebutuhan mereka bisa memicu kerusuhan sosial. Ini adalah skenario yang kita tidak ingin terjadi di sini.
Kita perlu sebuah pendekatan yang lebih seimbang dalam kebijakan pemerintah, di mana tidak ada satu kelompok pun yang terabaikan. Ini berarti memberikan perhatian yang cukup kepada kelas menengah, memahami kebutuhan mereka, dan menyediakan dukungan yang membantu mereka tidak hanya untuk bertahan, tapi untuk berkembang. Baik itu melalui fasilitas pendidikan yang lebih baik, layanan kesehatan yang terjangkau, atau sistem transportasi yang efisien---semua ini adalah langkah yang dapat meningkatkan kualitas hidup kelas menengah dan, pada akhirnya, memperkuat fondasi ekonomi kita.
Dinamika Ekonomi dan Sosial
Di dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ini, dinamika ekonomi global dan lokal memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan kita sehari-hari, terutama bagi kita yang berada di kelas menengah. Dari perkembangan terbaru di pasar global hingga kebijakan ekonomi nasional, semuanya berperan dalam membentuk kondisi keuangan dan sosial kita. Prediksi tentang kemungkinan resesi, seperti yang diungkapkan oleh Chatib Basri, menambah kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi pada ekonomi kita di masa depan.
Kita hidup di era di mana ketegangan perdagangan internasional, fluktuasi harga komoditas, dan perubahan kebijakan moneter di negara-negara besar dapat langsung mempengaruhi ekonomi kita sendiri. Ini berarti bahwa keputusan yang dibuat jauh dari rumah kita, di ruang rapat bank sentral negara lain atau di meja negosiasi perdagangan, dapat mempengaruhi pekerjaan kita, harga barang dan jasa yang kita konsumsi, serta kemampuan kita untuk menabung dan berinvestasi untuk masa depan.
Bagi kelas menengah, kondisi ekonomi yang berubah-ubah ini menimbulkan tantangan khusus. Di satu sisi, kita mungkin merasakan tekanan untuk mempertahankan atau meningkatkan standar hidup kita, sementara di sisi lain, kita harus menghadapi kenyataan ekonomi yang tidak menentu. Misalnya, ketika ekonomi menunjukkan tanda-tanda perlambatan, banyak dari kita yang mungkin mulai menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti yang dijelaskan oleh Chatib Basri. Ini merupakan tindakan bertahan hidup dalam menghadapi ketidakpastian, tetapi juga menandakan betapa rentannya kondisi finansial banyak di antara kita.
Implikasi dari kondisi ekonomi yang berubah ini pada konsumsi dan tabungan kelas menengah tidak bisa dianggap remeh. Ketika ekonomi kuat dan pendapatan kita stabil atau meningkat, kita mungkin merasa lebih nyaman untuk menghabiskan uang pada barang dan jasa yang meningkatkan kualitas hidup kita atau untuk menabung dan berinvestasi demi masa depan.
Namun, ketika ekonomi melemah, kita mungkin harus memotong pengeluaran, menunda pembelian besar, atau bahkan mengurangi tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, kondisi ekonomi yang tidak stabil dapat mempengaruhi kepercayaan kita terhadap perekonomian, yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan konsumsi dan investasi kita. Kita mungkin menjadi lebih hati-hati dalam mengambil risiko finansial atau lebih enggan untuk melakukan pembelian besar, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Kasus Chile: Pelajaran bagi Indonesia
Kasus Chile, dengan fenomena yang dikenal sebagai "Chilean Paradox", memberikan pelajaran berharga bagi kita di Indonesia. Di Chile, sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang impresif dan penurunan angka kemiskinan yang signifikan, munculnya kerusuhan sosial yang besar pada Oktober 2019 mengejutkan banyak pengamat.
Di balik kemajuan ekonominya, ternyata terdapat ketidakpuasan mendalam dari kelas menengah yang merasa kebutuhan dan aspirasinya tidak terpenuhi oleh pemerintah.
"Chilean Paradox" ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menciptakan stabilitas sosial dan kepuasan publik. Chile berhasil menurunkan angka kemiskinannya dari 53% menjadi 6%, sebuah pencapaian yang luar biasa. Namun, fokus yang terlalu berat pada kelompok miskin, sambil mengabaikan kelas menengah, menciptakan ketidakpuasan yang pada akhirnya meledak menjadi protes massal.
Mengambil pelajaran dari Chile, kita di Indonesia dihadapkan pada situasi yang serupa namun unik. Pertumbuhan ekonomi kita telah menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, namun tantangan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari pertumbuhan itu tetap ada.
Kelas menengah di Indonesia, yang kini tumbuh dan berkembang, memiliki aspirasi dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok miskin. Mereka mungkin tidak memerlukan bantuan sosial dalam bentuk uang tunai, namun sangat membutuhkan infrastruktur pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang baik, dan fasilitas publik yang memadai.
Risiko yang kita hadapi apabila mengabaikan kebutuhan kelas menengah ini bisa serupa dengan apa yang terjadi di Chile. Ketidakpuasan kelas menengah dapat memicu ketegangan sosial, terutama jika mereka merasa bahwa pemerintah tidak responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini menjadi semakin penting di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, di mana ketidakstabilan ekonomi dapat memperburuk perasaan ketidakpuasan tersebut.
Untuk menghindari potensi "Paradox" serupa di Indonesia, penting bagi pemerintah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dalam pembangunan ekonomi. Ini berarti tidak hanya fokus pada pengurangan kemiskinan, tetapi juga pada pembangunan yang merata yang memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi kelas menengah. Investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik menjadi kunci untuk memenuhi harapan kelas menengah.
Selain itu, dialog yang terbuka antara pemerintah dan semua lapisan masyarakat perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi yang beragam. Dengan cara ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap lapisan masyarakat merasa diperhatikan dan dihargai.
Chile memberi kita pelajaran berharga tentang pentingnya inklusivitas dalam pertumbuhan ekonomi. Kita di Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dari kasus tersebut dan mengambil langkah proaktif untuk memastikan bahwa kita tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga membangun masyarakat yang adil dan sejahtera untuk semua.
Kebutuhan dan Aspirasi Kelas Menengah
Di tengah pergolakan ekonomi dan sosial, kelas menengah Indonesia terus mengalami evolusi, membawa bersama mereka ekspektasi dan aspirasi yang berkembang. Bagi kita yang berada di kelas menengah, fasilitas umum yang memadai dan pendidikan berkualitas bukan lagi sekadar kemewahan---mereka adalah kebutuhan dasar yang mendukung gaya hidup kita dan aspirasi untuk masa depan yang lebih baik.
Kita melihat pendidikan berkualitas sebagai kunci untuk membuka pintu peluang bagi anak-anak kita, memberi mereka kesempatan yang mungkin tidak kita miliki. Kita menginginkan sekolah yang tidak hanya mengajarkan fakta dan angka, tetapi juga mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan keterampilan hidup yang akan membekali mereka untuk sukses di dunia yang semakin kompetitif.
Fasilitas umum seperti transportasi, layanan kesehatan, dan infrastruktur publik lainnya menjadi penting dalam mendukung kehidupan sehari-hari kita, memungkinkan kita untuk bergerak dengan lebih efisien, menjaga kesehatan, dan menikmati kualitas hidup yang lebih tinggi.
Namun, peningkatan ekspektasi dan aspirasi ini membawa implikasi yang signifikan, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, aspirasi kelas menengah yang meningkat dapat mendorong perubahan dalam prioritas kebijakan publik. Kelas menengah yang tumbuh dan semakin teredukasi cenderung lebih vokal dalam menuntut transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas dari pemerintah. Mereka tidak hanya memilih berdasarkan janji-janji ekonomi, tetapi juga berdasarkan kualitas layanan publik dan kebijakan yang mendukung pembangunan sosial yang inklusif.
Secara ekonomi, kebutuhan dan aspirasi kelas menengah yang berkembang mendorong pertumbuhan pasar domestik. Permintaan untuk pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang lebih baik, dan infrastruktur yang memadai dapat merangsang investasi di sektor-sektor ini.
Di sisi lain, untuk memenuhi ekspektasi ini, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk memastikan bahwa investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak hanya memadai tetapi juga berkualitas tinggi dan terjangkau.
Tantangan terbesar mungkin terletak pada keseimbangan antara memenuhi ekspektasi kelas menengah dengan kebutuhan kelompok penduduk lainnya. Kunci untuk mencapai keseimbangan ini adalah pendekatan pembangunan yang inklusif, di mana tidak ada satu kelompok pun yang merasa ditinggalkan. Hal ini membutuhkan kebijakan yang cerdas dan investasi strategis yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada distribusi kekayaan dan peluang yang merata.
Strategi dan Kebijakan untuk Masa Depan
Mengakomodasi kebutuhan kelas menengah memerlukan strategi dan kebijakan yang komprehensif dan visioner, dengan fokus pada pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Strategi ini harus mengakui pentingnya kelas menengah sebagai pendorong ekonomi dan sebagai kunci stabilitas sosial. Berikut adalah beberapa saran strategi untuk masa depan yang dapat memastikan kebutuhan kelas menengah terpenuhi, sambil memperkuat fondasi ekonomi dan sosial negara.
Perbaikan Fasilitas Umum
- Investasi Infrastruktur: Pemerintah harus meningkatkan investasi di infrastruktur dasar seperti transportasi, layanan kesehatan, dan akses internet. Ini tidak hanya memperbaiki kualitas hidup tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
- Peningkatan Layanan Publik: Fokus pada peningkatan kualitas layanan publik, termasuk pendidikan dan kesehatan, dengan memastikan bahwa layanan ini tidak hanya terjangkau tetapi juga berkualitas tinggi
Peningkatan Akses ke Pendidikan Berkualitas
- Dukungan Pendidikan: Mengembangkan program beasiswa dan bantuan keuangan untuk membantu mahasiswa dari keluarga kelas menengah mengakses pendidikan tinggi.
- Reformasi Kurikulum: Menerapkan reformasi kurikulum yang memastikan siswa mendapatkan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.
Memperhatikan Kepentingan Kelas Menengah dalam Pembuatan Kebijakan
- Dialog dan Partisipasi Publik: Mendorong dialog antara pemerintah dan masyarakat, khususnya kelas menengah, untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.
- Kebijakan Ekonomi Inklusif: Menerapkan kebijakan ekonomi yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan tetapi juga pada distribusi kekayaan dan kesempatan yang lebih merata.
Mencegah Konflik Sosial
- Sensitivitas Sosial: Menerapkan kebijakan dengan sensitivitas sosial yang tinggi, menghindari tindakan yang dapat memicu ketidakpuasan atau konflik.
- Pembangunan Berkelanjutan: Memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan pembangunan sosial, mencegah ketimpangan yang dapat memicu ketidakpuasan sosial.
Strategi dan kebijakan ini harus diterapkan dengan cara yang memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasa dihargai dan didukung oleh pemerintah. Dengan memperhatikan kebutuhan dan aspirasi kelas menengah, kita tidak hanya membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tetapi juga mempromosikan harmoni sosial.
Penting bagi pembuat kebijakan untuk mengakui bahwa kestabilan sosial dan pertumbuhan ekonomi saling terkait. Kelas menengah yang puas dan produktif merupakan aset berharga bagi negara, mendorong inovasi, konsumsi, dan investasi.
Oleh karena itu, investasi dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka adalah investasi dalam masa depan yang cerah dan sejahtera untuk seluruh negara.
Kesimpulan
Kita telah menjelajahi berbagai aspek kehidupan kelas menengah di Indonesia, mulai dari keterbatasan pilihan dan kapabilitas, kurangnya perhatian dari kebijakan pemerintah, hingga dinamika ekonomi dan sosial yang mempengaruhi mereka. Kita juga telah menggali pelajaran berharga dari "Chilean Paradox", yang menunjukkan bahaya yang dapat terjadi ketika kebutuhan dan aspirasi kelas menengah tidak diakomodasi oleh pemerintah.
Kelas menengah di Indonesia, seperti di banyak negara lain, menghadapi tantangan unik yang memerlukan respons yang cermat dan inklusif dari pemerintah. Kebutuhan akan fasilitas umum yang lebih baik, akses ke pendidikan berkualitas, dan kebijakan yang merespons dinamika ekonomi global adalah krusial untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Kesuksesan dalam mengatasi tantangan ini tidak hanya akan memperkuat kelas menengah sebagai tulang punggung ekonomi, tapi juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pelajaran dari Chile sangat relevan bagi Indonesia. Mereka mengingatkan kita tentang pentingnya kebijakan yang tidak hanya fokus pada pengentasan kemiskinan, tapi juga pada penciptaan kesempatan dan kesejahteraan untuk semua lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah. Kegagalan dalam mengantisipasi dan mengatasi kebutuhan dan aspirasi kelas menengah bisa berujung pada ketidakpuasan sosial, yang dapat menghambat kemajuan ekonomi dan sosial.
Refleksi ini menekankan urgensi untuk kebijakan yang lebih inklusif dan responsif. Pemerintah harus berusaha untuk lebih memahami dan mengintegrasikan kebutuhan dan aspirasi kelas menengah dalam perencanaan dan implementasi kebijakan. Ini mencakup dialog yang lebih terbuka dan partisipatif antara pemerintah dan warga, investasi dalam pendidikan dan infrastruktur, dan pendekatan yang lebih sensitif terhadap dinamika ekonomi global.
Mengakomodasi kebutuhan kelas menengah bukan hanya tentang memenuhi ekspektasi ekonomi, tapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.Dengan belajar dari kasus Chile dan menerapkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif, Indonesia bisa menghindari jebakan "Chilean Paradox" dan memastikan bahwa semua warganya---tidak terkecuali kelas menengah---merasakan manfaat dari pertumbuhan dan kemajuan negara.
Kesimpulannya, masa depan Indonesia yang sejahtera terletak pada kemampuan kita untuk mengakomodasi dan merespons kebutuhan dan aspirasi semua lapisan masyarakat. Melalui kebijakan yang inklusif dan responsif, kita dapat memastikan bahwa kelas menengah---bersama dengan semua kelompok masyarakat---tidak hanya akan bertahan dalam menghadapi tantangan, tapi juga akan menjadi agen perubahan positif bagi Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H