Kita hidup di era di mana ketegangan perdagangan internasional, fluktuasi harga komoditas, dan perubahan kebijakan moneter di negara-negara besar dapat langsung mempengaruhi ekonomi kita sendiri. Ini berarti bahwa keputusan yang dibuat jauh dari rumah kita, di ruang rapat bank sentral negara lain atau di meja negosiasi perdagangan, dapat mempengaruhi pekerjaan kita, harga barang dan jasa yang kita konsumsi, serta kemampuan kita untuk menabung dan berinvestasi untuk masa depan.
Bagi kelas menengah, kondisi ekonomi yang berubah-ubah ini menimbulkan tantangan khusus. Di satu sisi, kita mungkin merasakan tekanan untuk mempertahankan atau meningkatkan standar hidup kita, sementara di sisi lain, kita harus menghadapi kenyataan ekonomi yang tidak menentu. Misalnya, ketika ekonomi menunjukkan tanda-tanda perlambatan, banyak dari kita yang mungkin mulai menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti yang dijelaskan oleh Chatib Basri. Ini merupakan tindakan bertahan hidup dalam menghadapi ketidakpastian, tetapi juga menandakan betapa rentannya kondisi finansial banyak di antara kita.
Implikasi dari kondisi ekonomi yang berubah ini pada konsumsi dan tabungan kelas menengah tidak bisa dianggap remeh. Ketika ekonomi kuat dan pendapatan kita stabil atau meningkat, kita mungkin merasa lebih nyaman untuk menghabiskan uang pada barang dan jasa yang meningkatkan kualitas hidup kita atau untuk menabung dan berinvestasi demi masa depan.
Namun, ketika ekonomi melemah, kita mungkin harus memotong pengeluaran, menunda pembelian besar, atau bahkan mengurangi tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, kondisi ekonomi yang tidak stabil dapat mempengaruhi kepercayaan kita terhadap perekonomian, yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan konsumsi dan investasi kita. Kita mungkin menjadi lebih hati-hati dalam mengambil risiko finansial atau lebih enggan untuk melakukan pembelian besar, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Kasus Chile: Pelajaran bagi Indonesia
Kasus Chile, dengan fenomena yang dikenal sebagai "Chilean Paradox", memberikan pelajaran berharga bagi kita di Indonesia. Di Chile, sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang impresif dan penurunan angka kemiskinan yang signifikan, munculnya kerusuhan sosial yang besar pada Oktober 2019 mengejutkan banyak pengamat.
Di balik kemajuan ekonominya, ternyata terdapat ketidakpuasan mendalam dari kelas menengah yang merasa kebutuhan dan aspirasinya tidak terpenuhi oleh pemerintah.
"Chilean Paradox" ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menciptakan stabilitas sosial dan kepuasan publik. Chile berhasil menurunkan angka kemiskinannya dari 53% menjadi 6%, sebuah pencapaian yang luar biasa. Namun, fokus yang terlalu berat pada kelompok miskin, sambil mengabaikan kelas menengah, menciptakan ketidakpuasan yang pada akhirnya meledak menjadi protes massal.
Mengambil pelajaran dari Chile, kita di Indonesia dihadapkan pada situasi yang serupa namun unik. Pertumbuhan ekonomi kita telah menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, namun tantangan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari pertumbuhan itu tetap ada.
Kelas menengah di Indonesia, yang kini tumbuh dan berkembang, memiliki aspirasi dan kebutuhan yang berbeda dari kelompok miskin. Mereka mungkin tidak memerlukan bantuan sosial dalam bentuk uang tunai, namun sangat membutuhkan infrastruktur pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang baik, dan fasilitas publik yang memadai.
Risiko yang kita hadapi apabila mengabaikan kebutuhan kelas menengah ini bisa serupa dengan apa yang terjadi di Chile. Ketidakpuasan kelas menengah dapat memicu ketegangan sosial, terutama jika mereka merasa bahwa pemerintah tidak responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini menjadi semakin penting di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, di mana ketidakstabilan ekonomi dapat memperburuk perasaan ketidakpuasan tersebut.
Untuk menghindari potensi "Paradox" serupa di Indonesia, penting bagi pemerintah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dalam pembangunan ekonomi. Ini berarti tidak hanya fokus pada pengurangan kemiskinan, tetapi juga pada pembangunan yang merata yang memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi kelas menengah. Investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik menjadi kunci untuk memenuhi harapan kelas menengah.
Selain itu, dialog yang terbuka antara pemerintah dan semua lapisan masyarakat perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi yang beragam. Dengan cara ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap lapisan masyarakat merasa diperhatikan dan dihargai.
Chile memberi kita pelajaran berharga tentang pentingnya inklusivitas dalam pertumbuhan ekonomi. Kita di Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dari kasus tersebut dan mengambil langkah proaktif untuk memastikan bahwa kita tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga membangun masyarakat yang adil dan sejahtera untuk semua.
Kebutuhan dan Aspirasi Kelas Menengah
Di tengah pergolakan ekonomi dan sosial, kelas menengah Indonesia terus mengalami evolusi, membawa bersama mereka ekspektasi dan aspirasi yang berkembang. Bagi kita yang berada di kelas menengah, fasilitas umum yang memadai dan pendidikan berkualitas bukan lagi sekadar kemewahan---mereka adalah kebutuhan dasar yang mendukung gaya hidup kita dan aspirasi untuk masa depan yang lebih baik.