Kami sempat menghubungi salah satu kepala dinas untuk melayangkan protes, namun tidak direspons sampai proyek ini selesai.
Struktur pilar besinya dipotong dengan sengaja dengan peralatan las, dikumpulkan jadi satu dengan atap seng, hari berikutnya diangkut ke tempat lain menggunakan mobil bak terbuka.Â
Perusakan dengan sengaja ini bermula dari pemotongan serampangan pohon-pohon di atas makam-makam itu oleh petugas yang sama. Akibat pemotongan batang-batang pohon itu berjatuhan di atap-atap makam yang sebenarnya sudah ringkih.
Namun, belakangan kebeblasan, atap-atap yang tidak tertimpa potongan pohon ikut dibongkar.
MASALAHKAN HAL PRINSIP
Saya tidak hendak memperdebatkan hal receh, yaitu tentang selera pilihan warna cat di makam ini pasca perbaikan. Apakah warnanya dibiarkan kusam, dan dilapisi clear agar dramatis di mata kamera? atau dilabur warna monochrome, putih hitam dengan aksen emas seperti beberapa yang nampak sekarang? Karena jika masih meributkan wilayah itu, sejatinya kita memperdebatkan selera, yang tentu tidak punya alat ukurnya.
Saya juga tidak mempersoalkan apakah perlu merekonstruksi struktur tembok yang rusak dengan penambalan, atau membiarkannya apa adanya.
Jika larut di isu ini, malah memperpanjang perdebatan klasik cara pandang antararkeolog selama ini tentang bagaimana ‘kubu’ pro rekonstruksi dan pro orisinalitas berbeda pendapat puluhan tahun lamanya.
Jika lebih cerdas, ada hal prinsip paling mendasar yang harus dimasalahkan, yaitu hilangnya sejumlah artefak makam bersejarah sekaligus menghilangkan fungsi struktur bangunan pagar akibat kegiatan kemarin.