Upaya memperbaiki kompleks Makam Belanda Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, kebablasan. Sejumlah artefak sengaja dihilangkan dan sebagian dibikin tidak berfungsi. Struktur atap makam-makam bersejarah itu malah dibongkar. Lho?
Sejak diresmikan 1 Desember 1847, baru kali ini kompleks pemakaman ini dipermaks besar-besaran.
Namun justru hasilnya mengecewakan, sebanyak 21 atap cungkup kompleks pemakaman itu raib dari tempat asalnya.
Puluhan artefak-artefak kuno itu sengaja dibongkar tanpa alasan kesejarahan yang jelas.Â
Sedangkan pagar raksasa dari besi di gerbang utama juga sengaja dilepas. Dia tidak bisa beroperasi karena rel ‘kupu tarung’ kuno di bawah pagar sengaja ditimpa pavingstone. Pagar ini dibuat tidak berfungsi.
Soal hilangnya puluhan struktur atap atau cungkup alias kijing yang menaungi hampir setiap makam di sini cukup serius. Sebab inilah ciri kas utama makam Belanda terluas di Indonesia ini. Struktur bangunan makam-makam plus cungkup ini sejak lama menjadi laboratorium sejarah desain di Indonesia.
Artefak ini memotret ‘perkawinan’ kultur Eropa dan Jawa dalam sejarah seni desain dan arsitektur. Menjadi bukti kebudayaan 'gado-gado' bernama kultur Indisch yang berkembang jaman kolonial pertengahan hingga awal tahun 1900-an.
Sekadar tahu saja makam-makam Eropa berkijing ini menjadi satu-satunya yang tersisa di Indonesia.
Sayang, sekarang sebagian sudah raib. Beberapa hari lalu harus rela dibongkar paksa justru oleh para tenaga yang ditugaskan memperbaiki makam. Saya pemperhatikan sendiri, dan mendapatkan foto-foto pembongkaran itu.
Kami sempat menghubungi salah satu kepala dinas untuk melayangkan protes, namun tidak direspons sampai proyek ini selesai.
Struktur pilar besinya dipotong dengan sengaja dengan peralatan las, dikumpulkan jadi satu dengan atap seng, hari berikutnya diangkut ke tempat lain menggunakan mobil bak terbuka.Â
Perusakan dengan sengaja ini bermula dari pemotongan serampangan pohon-pohon di atas makam-makam itu oleh petugas yang sama. Akibat pemotongan batang-batang pohon itu berjatuhan di atap-atap makam yang sebenarnya sudah ringkih.
Namun, belakangan kebeblasan, atap-atap yang tidak tertimpa potongan pohon ikut dibongkar.
MASALAHKAN HAL PRINSIP
Saya tidak hendak memperdebatkan hal receh, yaitu tentang selera pilihan warna cat di makam ini pasca perbaikan. Apakah warnanya dibiarkan kusam, dan dilapisi clear agar dramatis di mata kamera? atau dilabur warna monochrome, putih hitam dengan aksen emas seperti beberapa yang nampak sekarang? Karena jika masih meributkan wilayah itu, sejatinya kita memperdebatkan selera, yang tentu tidak punya alat ukurnya.
Saya juga tidak mempersoalkan apakah perlu merekonstruksi struktur tembok yang rusak dengan penambalan, atau membiarkannya apa adanya.
Jika larut di isu ini, malah memperpanjang perdebatan klasik cara pandang antararkeolog selama ini tentang bagaimana ‘kubu’ pro rekonstruksi dan pro orisinalitas berbeda pendapat puluhan tahun lamanya.
Jika lebih cerdas, ada hal prinsip paling mendasar yang harus dimasalahkan, yaitu hilangnya sejumlah artefak makam bersejarah sekaligus menghilangkan fungsi struktur bangunan pagar akibat kegiatan kemarin.
Badan Perencanaan Pembangunan Kota pasti tidak menjalankan kaidah konservasi dalam pemperbaiki makam bersejarah, prinsip-prinsip yang seharusnya dengan mudah bisa diunduh di banyak modul proyek konservasi dan revitalisasi itu justru diabaikan.
Akibatnya, output-nya fatal, karena faktanya proses di lapangan justru kontraproduktif dari semangat konservasi itu sendiri. Serampangan.
Entah di mana peran Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya dalam posisi ini? seharusnya kumpulan para ahli itu juga bertanggungjawab.Â
Yang lebih fatal lagi, Makam Belanda seluas 6 hektare ini tidak menyandang status bangunan cagar budaya, padahal TACB Surabaya sudah lebih dari 20 tahun mengkajinya. Entah apa alasannya tidak segera mengeluarkan rekomendasi bangunan cagar budaya untuk Makam Peneleh. Akibatnya, perusakan ini tidak bisa dijerat pidana.
Kaidah konservasi itu secara sederhana meliputi upaya-upaya perencanaan dengan pengumpulan database, identifikasi masalah, memetakan pola pendekatannya, pembuatan gambar teknik, menerima masukan dari seminar, baru kemudian aksi yang terukur secara bertahap.
Belum lagi cara penanganannya yang hati-hati. Misalnya pemilihan jenis cat yang bisa bernafas, hingga penggantian bahan rusak dengan bahan sejenis yang harus sama persis.
Jika ada perencanaan, cungkup-cungkup yang rusak itu harusnya dikembalikan dengan direkonstruksi. Tidak malah seperti sekarang, barang yang dinilai rusak malah disingkirkan ke tempat lain.Â
Atau jika kaidah konservasi dijalankan, tidak mungkin pelaksana lapangan dengan sengaja menimpa rel lantai pagar dengan paving sehingga menghilangkan fungsi pintu utama. Jika perencanaannya ada, tidak ada perdebatan tentang bagus tidaknya pilihan warna, mana yang bisa dibongkar dan mana yang dipertahankan.
Ini belum lagi membahas bagaimana teknis pemanfaatan pasca revitalisasi.
Nyatanya, semua kaidah itu ditabrak. Kami tidak mendengar ada pembahasan teknis konservasi sebelum aksi itu dilakukan. Apalagi perencanaan yang melibatkan para ahli. Yang ada rapat koordinasi antarinstasi untuk pembagian tugas pada hari H.
Hanya karena akan ada agenda kedatangan seorang Menteri Belanda Kamis kemarin, tiga hari tiga malam ratusan tenaga honorer Pemkot dikerahkan untuk melakukan aksi bersih bersih, pengecatan, dan bablas membongkar artefak atap bersejarah. Niatnya sih bagus, namun caranya yang salah.
Ini bukan revitalisasi seperti yang ditulis di banyak media, namun kerja bakti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H