Mohon tunggu...
Paulus Ibrahim Kumentas
Paulus Ibrahim Kumentas Mohon Tunggu... Guru - Suara dari Ujung Celebes

Curhat seorang suami, ayah, pengacara, guru, hamba Tuhan, agen asuransi jiwa, dan rakyat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Ditikam Murid Hingga Tewas di Sekolah, PR Pak Mendikbud Baru

26 Oktober 2019   23:24 Diperbarui: 27 Oktober 2019   00:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pendidikan nasional yang selalu berubah ( dinamis ) membuat para guru kalang kabut.  Mulai dari sebutan yang selalu berubah (dari Ebtanas menjadi  Ujian Nasional, murid menjadi peserta didik, SMA jadi SMU kemudaian jadi SMA lagi, STM dan SMEA jadi SMK, dll), kurikulum yang berubah-ubah,  hingga cara penilaian yang terus diperbaharui justru membuat arah pendidikan Nasional semakin kabur.

Parahnya lagi, perubahan sistem selalu diberlakukan  tanpa persiapan yang cukup. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana kurikulum 2013 diberlakukan dan membingungkan guru-guru terutama guru Sekolah Dasar. Bahan pengajaran selama 6 tahun hanya disosialisasikan melalui diklat-diklat beberapa hari.

Kalau di antara pembaca ada yang punya anak SD, coba di cek buku tematik yang mereka pakai di sekolah dan tanyakan pada si kecil, apakah semua materi di buku tematik tersebut diajarkan di sekolah?

Saya pastikan pasti banyak materi yang dilewati (skip) karena guru tidak punya kemampuan untuk mengajar semua materi tersebut.  Saya tentu saja maklum, mengingat di buku Tema tersebut semua pelajaran dari PKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Olahraga, Seni tari, seni suara, seni musik, IPA; semuanya ada di satu buku tersebut.

Standar kompetensi pendidikan yang diatur Permendiknas no 23 Tahun 2006 hanya memuat standar kompetensi tanpa indikator yang jelas.

Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak, memang menjadi standar kompetensi lulusan sekolah dasar tapi hanya sampai di situ.  Penilaiannya menjadi subjektif atau bahkan hanya formalitas, karena tidak ada indikator mengenai anak yang menjalankan ajaran agama.

Harus ada indikator yang jelas (bisa puasa penuh selama Ramadhan, sholat 5 waktu, tidak pernah mengucapkan kata2 kotor, dapat mengucapkan doa, dll) dan indikator ini harus terus menjadi standart penilaian yg dilakukan setiap hari. 

Tentu saja untuk melakukan ini, sekolah harus bekerja sama dengan orang tua karena menjalankan ajaran agama bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah. 

Mustahil? Tentu tidak.  Kondisi ini dapat terpenuhi bila rasio guru murid tidak terlalu besar, dan ada pemahaman dari orang tua bahwa pendidikan, apa lagi pendidikan karakter spiritual  untuk pembentukan akhlak bukan hanya tugas guru di sekolah, melainkan juga tugas orang tua, dan prestasi akademik bukan bekal satu- satunya bagi seorang anak untuk berhasil, tapi justru kematangan karakter, emosional, dan kehidupan spiritual yang membuat seseorang berhasil.

yang menyedihkan adalah UU perlindungan anak yang seharusnya melindungi anak, saat ini  justru sering digunakan untuk "melawan" para guru di sekolah, hingga akhirnya para guru saat ini sudah bukan lagi menjadi pendidik, tapi  pengajar.

Para guru sudah tidak mau ambil resiko bila mendidik anak (memberi sanksi/hukuman) karena sudah bukan berita baru lagi bila ada orang tua yang mengamuk di sekolah gara-gara anaknya dihukum oleh guru.  Belum lagi guru yang berurusan dengan hukum gara-gara menghukum anak dan dituduh melanggar UU perlindungan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun