Peristiwa penolakan dan pelarangan ibadah di Cilebut merupakan sikap intoleransi dalam kehidupan beragama. Di negeri ini, praktek intoleransi keberagamaan sangat marak dan hadir dalam bentuk yang beragam. Intoleransi keagamaan tidak hanya terjadi di Cilebut tetapi juga di tempat lain. Peristiwa intoleransi keagamaan bukan baru sekali ini tetapi telah berulang kali terjadi. Dan terkesan terus dibiarkan terjadi.
Berdasarkan pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2022, terdapat 25 pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mayoritas kasus adalah perusakan rumah ibadah, dengan total 7 kasus, disusul pelarangan mendirikan rumah ibadah dan larangan beridah 5 kasus. Perusakan terhadap atribut keagamaan sebanyak 3 kasus. Dan sisanya serangan terhadap keluarga dari agama yang berbeda, penyegelan tempat ibadah, hinggal pengucilan masyarakat (gatra.com, 17/11/2022).
Praktek intoleransi keagamaan merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi. Di negeri Pancasila ini, hak untuk melaksanakan ibadah dijamin oleh negara dan konstitusi kita telah mengatur kebebasan setiap umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing.
Karena itu negara harus hadir memberikan rasa aman bagi warganya dalam beribadah. Negara tidak boleh membiarkan praktek intoleransi keagamaan mewabah di negeri ini karena akan merusak keharmonisan hidup bersama. Ketegasan negara dalam menindak tindakan intoleransi keagamaan sangat diperlukan. Jangan ada ruang bagi intoleransi keagamaan tumbuh di negeri ini.
Kasus intoleransi Cilebut tentu sangat disayangkan. Karena saat perayaan Natal 2022 ini, Presiden Jokowi, juga beberapa petinggi di negeri ini, mengunjungi umat Kristiani yang sedang merayakan ibadah Natal di beberapa gereja. Pemerintah ingin memberi rasa nyaman dan aman bagi umat Kristen dalam menjalankan ibadah Natal.
Kenyamanan dan keamanan dalam beribadah memang diperlukan. Tetapi lebih penting dari itu adalah kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Karena itu pemerintah, jangan hanya memastikan bahwa ibadah Natal berjalan dengan aman dan lancar di gereja-gereja, tetapi juga harus menjamin agar orang dapat melakukan ibadah Natal tanpa ada larangan/ penolakan di mana pun.
 Belajar dari Leuwayan
Tindakan intoleransi yang marak diikuti penyebaran paham intoleran yang semakin masif. Kelompok konservatif mendapat tempat di media sosial. Dari hasil kajian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakata UIN Jakarta terdeteksi dominasi konservatisme agama di media sosial karena narasi keagamaan di media sosial dikuasai oleh akun-akun yang cendrung berpaham konservatif (Kompas.id, 01/01/2023).
Praktek intoleransi keagamaan dan paham intoleran mesti dilawan. Karena itu narasi-narasi perdamaian dan praktek baik-praktek baik toleransi di daerah kita harus disebarkan untuk mengonter intoleransi yang semakin marak di negeri ini. Ijinkan saya membagikan praktek baik toleransi keagamaan di kampung kami, Leuwayan, Lembata, NTT. Saya yakin praktek baik toleransi juga dihidupkan di daerah lain di negeri ini.
Saya tumbuh dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi keagamaan dan menghargai keberagaman. Di Leuwayan, toleransi bukanlah slogan kosong tanpa makna. Toleransi bukanlah kata-kata yang mengawang, tetapi praktek yang membumi. Tidak heran, jarak gereja dan mesjid hanya 50 meter; dipisahkan oleh jalan desa.
Dalam praktek, toleransi mewujud dalam banyak bentuk. Ketika ada pembangunan rumah ibadah, semua umat bergotong royong. Saat upacara keagamaan suatu agama, umat beragama lain ikut ambil bagian dalam menjaga keamanan. Saat kegiatan hari raya keagamaan, semua umat terlibat dalam kepanitiaan.