Umat Kristen telah merayakan Natal. Hari Natal, yang dirayakan tanggal 25 Desember, merupakan peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Yesus, bagi orang Kristen, diyakini sebagai Mesias. Sang Penebus dosa umat manusia.
Dalam perisitiwa Natal, dikisahkan bahwa Yesus dilahirkan oleh perawan Maria di sebuah kandang hewan. Bayi itu dibaringkan di dalam palungan. Dan dibungkus dengan kain lampin. "dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dalam lampin dan dibaringkannya dalam palungan" (Lukas, 2:7).
Natal juga merupakan peristiwa penebusan. Yesus Kristus, Putra Allah menjelma menjadi manusia adalah Juruselamat. Dia rela meninggalkan ke-Allah-anNya untuk datang ke dunia guna menebus dosa umat manusia. Itulah misi utama kedatangan Yesus. "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu, Kristus, Tuhan, di kota Daud" (Lukas, 2:11).
Natal, sebagai peristiwa kelahiran dan penebusan, adalah moment gembira. Sebagaimana kelahiran anak dalam sebuah keluarga, atau perisitiwa kesembuhan seseorang yang diterima dengan rasa syukur, Natal selalu disambut dengan sukacita oleh umat Kristiani.
Kisah Natal, yang merupakan warta gembira, juga  diwarnai kisah sedih: penolakan. Yosep dan Maria yang baru datang dari Nazareth, sangat membutuhkan tumpangan. Apalagi saat itu, sudah waktunya bagi Mari yang sedang mengandung untuk melahirkan.
Namun semua rumah yang diketuk pintunya oleh Yosep dan Maria tidak sudi membukannya bagi mereka. Setiap orang yang didatangi Yosep dan Maria tidak ada yang mau menerima mereka. Yosep dan Maria mengalami penolakan.
Sehari setelah hari raya Natal 2022 yang penuh sukacita, beredar video di group WA yang membuat siapa saja merasa prihatin dan sedih. Video tersebut adalah penolakan oleh sekelompok orang terhadap umat Kristen yang mau merayakan ibadah Natal. Dari berita yang beredar, pelarangan tersebut terjadi di wilayah Cilebut, kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam video berdurasi 2,50 menit tersebut, terdapat beberapa orang, ada juga aparat kepolisian, tentara, dan polisi pamong praja. Terdengar suara seorang perempuan yang berdebat dengan seorang bapak dan menumpahkan kekesalannya atas pelarangan ibadah Natal. Syukurlah, lewat mediasi aparat keamanan, ibadah Natal tersebut bisa dijalankan.
Peristiwa pelarangan ibadah Natal dalam video tersebut mengingatkan saya akan peristiwa penolakan terhadap Yosep dan Maria dalam kisah kelahiran Yesus. Yosep dan Maria ditolak oleh tuan rumah yang mereka datangi. Umat yang hendak merayakan ibadah ditolak oleh sesama warga yang tidak mau ada kegiatan ibadah di sekitar mereka. Ya, Natal adalah kisah penolakan.
Peristiwa penolakan dan pelarangan ibadah di Cilebut merupakan sikap intoleransi dalam kehidupan beragama. Di negeri ini, praktek intoleransi keberagamaan sangat marak dan hadir dalam bentuk yang beragam. Intoleransi keagamaan tidak hanya terjadi di Cilebut tetapi juga di tempat lain. Peristiwa intoleransi keagamaan bukan baru sekali ini tetapi telah berulang kali terjadi. Dan terkesan terus dibiarkan terjadi.
Berdasarkan pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2022, terdapat 25 pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mayoritas kasus adalah perusakan rumah ibadah, dengan total 7 kasus, disusul pelarangan mendirikan rumah ibadah dan larangan beridah 5 kasus. Perusakan terhadap atribut keagamaan sebanyak 3 kasus. Dan sisanya serangan terhadap keluarga dari agama yang berbeda, penyegelan tempat ibadah, hinggal pengucilan masyarakat (gatra.com, 17/11/2022).
Praktek intoleransi keagamaan merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi. Di negeri Pancasila ini, hak untuk melaksanakan ibadah dijamin oleh negara dan konstitusi kita telah mengatur kebebasan setiap umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing.
Karena itu negara harus hadir memberikan rasa aman bagi warganya dalam beribadah. Negara tidak boleh membiarkan praktek intoleransi keagamaan mewabah di negeri ini karena akan merusak keharmonisan hidup bersama. Ketegasan negara dalam menindak tindakan intoleransi keagamaan sangat diperlukan. Jangan ada ruang bagi intoleransi keagamaan tumbuh di negeri ini.
Kasus intoleransi Cilebut tentu sangat disayangkan. Karena saat perayaan Natal 2022 ini, Presiden Jokowi, juga beberapa petinggi di negeri ini, mengunjungi umat Kristiani yang sedang merayakan ibadah Natal di beberapa gereja. Pemerintah ingin memberi rasa nyaman dan aman bagi umat Kristen dalam menjalankan ibadah Natal.
Kenyamanan dan keamanan dalam beribadah memang diperlukan. Tetapi lebih penting dari itu adalah kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Karena itu pemerintah, jangan hanya memastikan bahwa ibadah Natal berjalan dengan aman dan lancar di gereja-gereja, tetapi juga harus menjamin agar orang dapat melakukan ibadah Natal tanpa ada larangan/ penolakan di mana pun.
 Belajar dari Leuwayan
Tindakan intoleransi yang marak diikuti penyebaran paham intoleran yang semakin masif. Kelompok konservatif mendapat tempat di media sosial. Dari hasil kajian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakata UIN Jakarta terdeteksi dominasi konservatisme agama di media sosial karena narasi keagamaan di media sosial dikuasai oleh akun-akun yang cendrung berpaham konservatif (Kompas.id, 01/01/2023).
Praktek intoleransi keagamaan dan paham intoleran mesti dilawan. Karena itu narasi-narasi perdamaian dan praktek baik-praktek baik toleransi di daerah kita harus disebarkan untuk mengonter intoleransi yang semakin marak di negeri ini. Ijinkan saya membagikan praktek baik toleransi keagamaan di kampung kami, Leuwayan, Lembata, NTT. Saya yakin praktek baik toleransi juga dihidupkan di daerah lain di negeri ini.
Saya tumbuh dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi keagamaan dan menghargai keberagaman. Di Leuwayan, toleransi bukanlah slogan kosong tanpa makna. Toleransi bukanlah kata-kata yang mengawang, tetapi praktek yang membumi. Tidak heran, jarak gereja dan mesjid hanya 50 meter; dipisahkan oleh jalan desa.
Dalam praktek, toleransi mewujud dalam banyak bentuk. Ketika ada pembangunan rumah ibadah, semua umat bergotong royong. Saat upacara keagamaan suatu agama, umat beragama lain ikut ambil bagian dalam menjaga keamanan. Saat kegiatan hari raya keagamaan, semua umat terlibat dalam kepanitiaan.
Pada perayaan Paskah tingkat Paroki Salib Suci Hoelea, Kedang, yang berpusat di stasi Santu Petrus Leuwayan, ketua panitianya adalah seorang Muslim, Ibrahim Reha Apenobe. Sebaliknya pada hari raya Maulud Nabi tingkat kecamatan Omesuri yang berpusat di desa Leuwayan, ketua panitianya dari kalangan Katolik, Antonius Tua Amuntoda.
Di Leuwayan, tidak ada sekat berlabel agama. Karena agama yang kami peluk adalah agama kemanusiaan. Di Leuwayan, tidak perbedaan atas dasar agama. Karena agama yang kami anut adalah agama cinta. Di Leuwayan, perbedaan dalam keyakinan tidak menjadi penghalang untuk merajut persaudaraan. Perbedaan keyakinan, sebaliknya, adalah tali untuk mempererat persaudaraan. Perbedaan bagi kami adalah benang untuk menyulam perdamaian.
Intoleransi keagamaan yang terjadi di negeri ini bukan karena kita tidak cinta damai. Tetapi karena diamnya orang-orang toleran. Negara kita sesungguhnya sangat toleran. Sikap toleransi sudah lama tumbuh dan terajut di tengah masyarakat. Benih-benih toleransi sudah lama tertaman dalam kehidupan masyarakat. Sebagai negara yang cinta damai, sikap intoleransi keagamaan harus dilawan dengan menyebarkan praktek baik toleransi di daerah kita. Jangan ada toleransi terhadap tindakan intoleransi keagamaan di negeri ini.
Catatan: Artikel ini telah dipublikasikan di media online floresnews.com tanggal 03 Januari 2023. Saya publikasikan kembali di Kompasiana agar dapat dibaca lebih banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H