Selanjutnya adalah dari segi kesenjangan, dalam kondisi dunia yang mulai memasuki era revolusi 4.0, peran tenaga kerja, terutama pekerja kerah biru semakin terpinggirkan. Bagi mereka yang paham dunia digital maka dapat dengan mudah memanfaatkan kemajuan teknologi. Namun bagi mereka yang untuk makan sehari-hari atau hidup dari satu gaji ke gajian lainnya, maka akan sangat sulit untuk memanfaatkan perkembangan Saintek.Â
Fenomena kelas menengah yang terpinggirkan di dunia dapat diobservasi dalam perkembangan politik di hampir semua negara, bahkan negara maju sekalipun. Terpilihnya Presiden Trump, Brexit, Protes Rompi Kuning di Perancis, semakin kuatnya pengaruh ekstrem kanan di Jerman hanyalah pucuk gunung es dari fenomena ini.Â
Di Indonesia kita bisa melihat dengan gamblang pada Pilkada Jakarta dan Pemilu 2019, dimana terjadi polarisasi yang luar biasa dalam praksis politik, dimana garis batas elektoral terlihat dengan jelas dari tingkat kemapanan pemilih.
Pandemi Covid-19 juga semakin memperparah keterpinggiran, dimana generasi yang mahir menggunakan internet, akan mudah beradaptasi dengan melakukan WfH (Work from Home), tanpa kehilangan sumber pendapatan. Belum lagi biaya Internet Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia (bila dihitung dari persentase terhadap pendapatan per kapita) yang praktis semakin memperkecil akses sebagian besar orang terhadap pendapatan yang cukup.
Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana mulai bermunculan para pesohor yang memanfaatkan jejaring sosial internet seperti YouTube, Instagram, Twitter dan Facebook, sehingga sampai memunculkan istilah Yutuber dan Selebgram.Â
Yang perlu diingat adalah kemunculan para pesohor ini karena mereka dapat mengakses internet pita lebar (broadband), yang tanpa kehadirannya, maka akan sangat sulit untuk bisa mengunggah (upload) atau bahkan sekadar untuk update status. Sementara disisi lain masih banyak pelajar Indonesia yang sampai harus 'mengungsi' ke kantor camat, atau mendaki puncak bukit untuk mencari sinyal jaringan selular.
Masalah ketiga adalah keterasingan. Keterasingan ini merupakan buah dari polarisasi yang begitu dalam. Pada saat orang yang cakap dengan IT berhasil mereguk nikmat dari dunia digital, mereka yang terpinggirkan akan dihadapkan dengan dua pilihan, melawan atau pasrah.Â
Masalahnya internet pun dapat menjadi pedang bermata dua, selain memperluas cakrawala, internet juga dapat mempersempit cakrawala. Tidak percaya? Coba saja lihat apa yang disarankan oleh Smartphone anda, pasti semuanya dari hasil history pencarian.Â
Belum lagi bila kita memakai media sosial, pasti pembaca yang budiman hanya follow mereka-mereka yang sepaham bukan? Begitu tidak suka langsung unfollow/unfriend. Tindakan ini memang tidak salah, tapi yang terjadi adalah kita tidak pernah melihat sesuatu dari dua sisi, melainkan hanya dari sisi yang kita suka.
Selain tendensi dari kita sendiri, Internet juga dapat memunculkan reaksi yang berlawanan. Apa yang penulis maksudkan? Coba bayangkan ketika pembaca melihat ada yutuber atau selebgram sedang memamerkan mobil atau perhiasan yang mereka dapatkan dari iklan, Sebagian dari kita tentu memahami bahwa itu hanyalah sebuah upaya untuk tampil beda atau mencari sensasi (kita bisa melihat betapa banyak Prank atau skenario drama yang dilakukan beberapa pesohor hanya untuk mengejar jumlah view).
Tidak jauh berbeda sebetulnya dari zaman telenovela atau drama di televisi, namun jumlahnya menjadi semakin banyak dan praktis semua orang bisa melihat secara gratis.Â