Refleksi
Ekonomi luluh lantak. Jutaan orang menjadi pengangguran. Terjadi antrian masyarakat di pusat pembagian bantuan. Di banyak tempat terjadi demonstrasi meminta kejelasan tindakan pemerintah. Agitator dan pendemo saling berlawan-lawanan di jalan, satu pihak mendukung pemerintah, pihak lainnya mendukung perubahan besar-besaran. Lockdown dan jam malam diberlakukan di banyak daerah dan negara.
Selamat datang di era tahun 1930an pasca depresi besar (great depression)
Kondisi saat ini
Mungkin secara sekilas pembaca yang budiman merasa banyak kemiripan antara era tersebut dengan saat ini. Oleh karena itulah penulis mencoba untuk mengangkat tulisan ini, untuk kembali mengingatkan kita betapa kita saat ini sedang berada pada tahapan titik balik sejarah (pivot of history).
Pada tahun 2014 penulis menulis sebuah tulisan di Kompasiana berjudul "lampu kuning fundamentalisme di Indonesia". Enam tahun berlalu tampaknya bukannya semakin teredam malah semakin menjalar kemana-mana. Inti masalah tetap sama, masalah ekonomi, keterpinggiran dan keterasingan.
Pandemi Covid-19 telah menjungkirbalikkan tatanan ekonomi di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Pada akhir tahun 2019 kita masih optimis ekonomi tumbuh 5,6 % pada 2020. Pada awal Indonesia terkena imbas Covid-19, Menteri Keuangan masih percaya diri terhadap pertumbuhan ekonomi, pada pertengahan April pun beliau masih yakin bahwa kuartal 1 2020 Indonesia masih akan tumbuh 4,6% dan secara tahunan masih tumbuh 3 %..
Laporan BPS ternyata tidak seindah itu, RI hanya tumbuh 2,97 % pada kuartal 1 2020, dan kuartal 2 amblas - 5,3 % y-o-y terendah dalam 20 tahun terakhir. Scenario yang digunakan kementerian keuangan pun sudah bergeser ke scenario berat yaitu antara tumbuh 1 % hingga minus 0,4%.
Tiga Masalah utama
Disini selanjutnya muncul masalah pertama, yaitu ekonomi. Dengan pertumbuhan yang maksimum hanya 1 %, maka total tenaga kerja yang bisa terserap hanya sekitar 170.000-250.000 orang. Padahal setiap tahunnya terdapat pertambahan Angkatan kerja sebanyak 1,7 Juta orang. Seolah untuk menambah derita para pencari kerja, saat ini menurut KADIN Indonesia, setidaknya terdapat 10 juta orang pekerja mengalami PHK, baik di sektor formal maupun informal akibat pandemi Korona.
PHK di sektor formal akan sangat memukul kalangan menengah, terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Padahal pada tahun 2019 saja, tingkat pengangguran terdidik telah mencapai 16 %, tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Sekarang coba sejenak membayangkan perasaan para lulusan Perguruan Tinggi, mereka sudah habis-habisan belajar, menggunakan uang tabungan orang tua dan pribadi, kemudian lulus, berharap untuk bisa bekerja dan menjadi mapan, namun ternyata tidak bisa menjadi apa-apa. Tentunya yang dipersalahkan pertama adalah Pemerintah dan ideologi yang dianut, karena dianggap gagal mensejahterakan kehidupan rakyat.
Selanjutnya adalah dari segi kesenjangan, dalam kondisi dunia yang mulai memasuki era revolusi 4.0, peran tenaga kerja, terutama pekerja kerah biru semakin terpinggirkan. Bagi mereka yang paham dunia digital maka dapat dengan mudah memanfaatkan kemajuan teknologi. Namun bagi mereka yang untuk makan sehari-hari atau hidup dari satu gaji ke gajian lainnya, maka akan sangat sulit untuk memanfaatkan perkembangan Saintek.Â
Fenomena kelas menengah yang terpinggirkan di dunia dapat diobservasi dalam perkembangan politik di hampir semua negara, bahkan negara maju sekalipun. Terpilihnya Presiden Trump, Brexit, Protes Rompi Kuning di Perancis, semakin kuatnya pengaruh ekstrem kanan di Jerman hanyalah pucuk gunung es dari fenomena ini.Â
Di Indonesia kita bisa melihat dengan gamblang pada Pilkada Jakarta dan Pemilu 2019, dimana terjadi polarisasi yang luar biasa dalam praksis politik, dimana garis batas elektoral terlihat dengan jelas dari tingkat kemapanan pemilih.
Pandemi Covid-19 juga semakin memperparah keterpinggiran, dimana generasi yang mahir menggunakan internet, akan mudah beradaptasi dengan melakukan WfH (Work from Home), tanpa kehilangan sumber pendapatan. Belum lagi biaya Internet Indonesia yang termasuk tertinggi di dunia (bila dihitung dari persentase terhadap pendapatan per kapita) yang praktis semakin memperkecil akses sebagian besar orang terhadap pendapatan yang cukup.
Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana mulai bermunculan para pesohor yang memanfaatkan jejaring sosial internet seperti YouTube, Instagram, Twitter dan Facebook, sehingga sampai memunculkan istilah Yutuber dan Selebgram.Â
Yang perlu diingat adalah kemunculan para pesohor ini karena mereka dapat mengakses internet pita lebar (broadband), yang tanpa kehadirannya, maka akan sangat sulit untuk bisa mengunggah (upload) atau bahkan sekadar untuk update status. Sementara disisi lain masih banyak pelajar Indonesia yang sampai harus 'mengungsi' ke kantor camat, atau mendaki puncak bukit untuk mencari sinyal jaringan selular.
Masalah ketiga adalah keterasingan. Keterasingan ini merupakan buah dari polarisasi yang begitu dalam. Pada saat orang yang cakap dengan IT berhasil mereguk nikmat dari dunia digital, mereka yang terpinggirkan akan dihadapkan dengan dua pilihan, melawan atau pasrah.Â
Masalahnya internet pun dapat menjadi pedang bermata dua, selain memperluas cakrawala, internet juga dapat mempersempit cakrawala. Tidak percaya? Coba saja lihat apa yang disarankan oleh Smartphone anda, pasti semuanya dari hasil history pencarian.Â
Belum lagi bila kita memakai media sosial, pasti pembaca yang budiman hanya follow mereka-mereka yang sepaham bukan? Begitu tidak suka langsung unfollow/unfriend. Tindakan ini memang tidak salah, tapi yang terjadi adalah kita tidak pernah melihat sesuatu dari dua sisi, melainkan hanya dari sisi yang kita suka.
Selain tendensi dari kita sendiri, Internet juga dapat memunculkan reaksi yang berlawanan. Apa yang penulis maksudkan? Coba bayangkan ketika pembaca melihat ada yutuber atau selebgram sedang memamerkan mobil atau perhiasan yang mereka dapatkan dari iklan, Sebagian dari kita tentu memahami bahwa itu hanyalah sebuah upaya untuk tampil beda atau mencari sensasi (kita bisa melihat betapa banyak Prank atau skenario drama yang dilakukan beberapa pesohor hanya untuk mengejar jumlah view).
Tidak jauh berbeda sebetulnya dari zaman telenovela atau drama di televisi, namun jumlahnya menjadi semakin banyak dan praktis semua orang bisa melihat secara gratis.Â
Namun bagi mereka yang tidak terlalu paham tentunya perasaan yang muncul adalah rasa iri atau cemburu, mengapa mereka bisa memiliki kekayaan seperti itu. Saat ini rata-rata gaji bersih untuk lulusan S-1 universitas adalah sebesar 4,5 juta rupiah per bulan, sementara Yutuber sekelas Atta Halilintar bisa mendapat 385 juta- 6.16 Milyar rupiah per bulannya. Bagaimana, sudah mulai terasa kan dimana masalahnya?
Lalu bagaimana kita mengatasi radikalisme?
Solusi
Sebetulnya Indonesia sudah memiliki obatnya, yaitu Pancasila. Bila kita menilik kepada sila Ke-5, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka praktis kita tidak perlu khawatir dengan masalah keterpinggiran. Masalahnya sila ini masih jauh panggang daripada api dalam pelaksanaannya.Â
Contoh, penegakan hukum yang masih sering tajam kebawah, kualitas pendidikan yang tidak seragam, dan pelayanan Kesehatan yang sangat tergantung kemampuan membayar. Sehingga resep bagi pemerintah ya tentu saja adanya penegakan hukum yang adil, pemerataan akses pendidikan dan Kesehatan. Jawabannya memang sangat standard, tetapi pelaksanaannya akan sangat sulit.
Bagi mereka yang terklasifikasi sebagai pesohor publik (pejabat, artis, selebgram, yutuber, tokoh masyarakat) tolong pahami bahwa sekarang mata masyarakat ada dimana-mana, melalui media sosial, foto dan video yang menjadi standar di gawai, semua sangat mudah untuk menjadi viral.Â
Belajarlah untuk menjadi panutan dengan tidak menggunakan barang-barang mewah yang di luar kewajaran (ingat, Warren Buffet punya kekayaan 80 Milyar dollar AS/ 1.160 Trilyun Rupiah, tapi naik mobil berumur 8 Tahun seharga U$ 50.000, lebih murah daripada Mobil Standar Menteri), jadi sekali lagi, tolong untuk bisa menjadi panutan sehingga masyarakat tidak tergoda atau lebih parah lagi, menjadi sinis terhadap ideologi Pancasila.
Hilangkan juga niatan untuk mencalonkan istri, suami, anak, menantu, ipar, keponakan, sepupu dan kerabat lainnya untuk menjadi penjabat selama kita masih menjabat. Hal ini hanya akan membuat orang-orang yang anti demokrasi semakin berada di atas angin, dan mempersulit gerakan untuk menumpas radikalisme.Â
Karena salah satu senjata pamungkas para anasir radikal ini adalah pernyataan bahwa sistem demokrasi Pancasila yang kita anut ini hanya menguntungkan segelintir orang saja, kita harus mampu menghilangkan senjata ampuh ini dengan menunjukkan bahwa demokrasi Pancasila adalah untuk segenap rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir orang.
Kita sebagai masyarakat juga harus membiasakan diri untuk kritis terhadap informasi yang masuk, baik apakah itu informasi resmi dari pemerintah, atau informasi dari grup percakapan media sosial, semua harus dibaca dulu. Ingat, zaman sekarang untuk mengecek kebenaran berita di internet, tinggal ketik di mbah google, dan klik enter. Sekali lagi, Baca, Periksa, Pikir, baru Sebarkan.
Selanjutnya yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat selain berpikir kritis adalah untuk selalu mencoba terbuka terhadap pendapat orang lain. Memang rasanya tidak enak, tapi siapa tahu orang lain lebih benar? Berpikiran terbuka yang didukung dengan gemar membaca, dapat membantu kita untuk memahami mengapa paham radikalisme berkembang, yang pada gilirannya akan membangun sistem imun kita untuk menghilangkan paham radikalisme itu sendiri.
Kesimpulan
Ingat, menghilangkan paham radikalisme bukan hanya tugas Pemerintah, itu adalah tugas kita semua, setiap Warga Negara Indonesia. Hari-hari kedepan akan sangat terjal dalam menghadapi arus derasnya radikalisme, di Amerika Serikat, di Brazil bahkan Di Jerman, polarisasi dan radikalisme semakin menguat. Oleh karena itu, kita semua harus bahu-membahu, rakyat dan pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H