Doktrin Pertahanan Indonesia
Pertahanan Indonesia disusun berdasarkan pertahanan semesta, dengan bersifat tidak agresif dan tidak ekspansif selama kepentingan nasional tidak terancam (Buku Putih Pertahanan 2014).
Dari pernyataan di atas dan bentuk diplomasi Indonesia yang bersifat bebas & aktif, terlihat jelas bahwa Indonesia memilih bentuk pertahanan pasif-defensif.
Ini juga tergambar jelas dari berbagai Latihan gabungan TNI yang skenarionya adalah pasukan musuh masuk ke wilayah Indonesia, selanjutnya ditahan oleh KODAM beserta masyarakat, dan terakhir dilakukan perebutan kembali wilayah oleh satuan KOSTRAD.
Secara hierarki UUD, UU, buku putih pertahanan dan terakhir Latihan gabungan sebagai bentuk pelaksanaan dari doktrin, semuanya telah sealur dan sesuai.
Sebagai konsekuensi, sebuah serangan konvensional invasi (contoh seperti D-day di Normandia, Invasi Jepang di Cirebon, dsb), membutuhkan jumlah pasukan serbu dan pendukung yang tidak sedikit.
Kesimpulan
Dengan asumsi jumlah pasukan yang dibutuhkan untuk mengunci gerak gerilyawan adalah sebanyak 10:1, maka pada tahap awal saja praktis negara yang menginvasi wilayah tertentu di Indonesia harus mempersiapkan sekurangnya 150.000 personil tempur. Sehingga scenario invasi wilayah darat bisa dikesampingkan.
Adapun scenario kedua yaitu berupa penggunaan serangan NuBiKa, sebagai sebuah serangan awal (fisrt-strike), hampir tidak mungkin digunakan. Karena penggunaan senjata ini, tanpa kejelasan adanya sebuah konflik di awal, dapat menyebabkan negara superpower lain salah mengira, dan melakukan retaliasi.
Skenario ketiga, yaitu scenario perang local demi akses, menjadi sebuah scenario yang paling mungkin terjadi. Permasalahannya bagi Indonesia, doktrin pertahanan kita menjadi mandul untuk menghadapi konsep perang seperti ini.Â
Mungkin bila kita ingat kejadian dimana kapal penjaga pantai Tiongkok masuk ke ZEE Indonesia untuk mengawal kapal nelayan mereka, Indonesia merespon tidak proporsional dengan mengirim kapal perang.