Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ibu Kota Baru dan Republik Federal

4 September 2019   12:24 Diperbarui: 4 September 2019   12:44 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : Bappenas 2019)

16 Agustus 2019, Sejarah mencatat bahwa Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan tahunan mengajukan izin kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memulai proses pemindahan ibukota. Dengan pengajuan izin tersebut, maka dimulailah proses pemindahan ibukota yang salah satunya adalah merevisi beberapa undang-undang serta penyusunan suatu UU ibukota baru.

Pemindahan ibukota dilakukan dengan beberapa alasan seperti daya dukung Jakarta yang sudah tidak mumpuni, pemerataan ekonomi dan lokasi yang lebih "sentral". Dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba memberi suatu pandangan yang mungkin beberapa pembaca akan beranggapan cukup "nyeleneh", namun menurut hemat penulis sangat krusial untuk setidaknya dijadikan bahan renungan.

Pertama, mari kita lihat sistem beberapa negara yang melakukan pemindahan ibukota :

No.

Nama Negara

Sistem Tata Negara

Ibukota Lama

Ibukota Baru

1

Australia

Federasi Parlementer

Sydney

Canberra

2

Amerika Serikat

Federasi Presidensial

Philadelphia

Washington DC

3

Brasil

Federasi Presidensial

Sao Paulo

Brazilia

4

Kazakhstan

Kesatuan

Almaty

Astana (Nursultan)

5

Korea Selatan

Kesatuan

Seoul (Istana, Parlemen, Kedubes tetap)

Seojang

6

Malaysia

Federasi Parlementer

Kuala Lumpur (Istana, Parlemen, Kedubes tetap)

Putrajaya

7

Myanmar

Gabungan Federasi dan kesatuan

Yangoon (State Counselor masih di Yangoon)

Naypyidaw

8

Nigeria

Federasi Presidensial

Lagos

Abuja

9

Rusia (Uni Soviet)

Federasi

St. Petersburg (Leningrad)

Moskwa

(Sumber : Wikipedia)

Dari 9 negara yang melakukan pemindahan ibukota terlihat bahwa hanya dua negara yang merupakan negara kesatuan murni (unitary), yaitu Korea Selatan dan Kazakhstan. Dari kedua negara tersebut hanya Korea Selatan yang membangun kota benar-benar dari nol, sementara Astana sudah menjadi salah satu pusat administrative di Kazakhstan SSR semenjak Kazakhstan masih merupakan bagian dari Uni Soviet serta sudah merupakan kota terbesar kedua di Kazakhtan. Sementara walaupun penetapan Seojang sebagai ibukota baru Korea Selatan sudah dilakukan semenjak tahun 2003, Istana dan Parlemen masih terletak di Seoul, dan hingga saat ini belum ada rencana pemindahan.

Dari tabel diatas kita bisa melihat bahwa sebetulnya ada sebuah pola yang terbentuk, hampir semua negara yang melakukan pemindahan ibukota dan membangun dari nol adalah negara yang berbentuk federasi. Kasus Korea Selatan menjadi menarik, di mana walaupun dari segi keamanan Seojang jauh lebih aman ketimbang Seoul (ingat, Seoul terletak hanya 24 km dari DMZ---masuk dalam jangkauan Meriam Artileri korea Utara), Namun Istana dan Parlemen tetap bertahan di Seoul (Seojang terletak 127 km selatan Seoul).

Lalu kedua, Mengapa negara berbentuk Federasi cenderung membangun ibukota baru? Salah satu alasannya adalah lokasinya yang berada di tengah-tengah (Kasus Brazil, Amerika Serikat, Myanmar, Nigeria, Rusia) atau merupakan suatu kompromi antara masing-masing negara bagian (Kasus Australia). 

Ibukota baru terpisah dari negara bagian dengan harapan agar Ibukota tersebut benar-benar bisa berkonsentrasi mengenai masalah yang bersifat nasional dan luar negeri. Selain itu diharapkan agar pemerintah Federal tidak mencampuri masalah yang merupakan kewenangan Pemerintah Negara Bagian karena memiliki suatu daerah tersendiri.

Nah di sinilah muncul beberapa renungan penulis, pertama, walaupun lokasi ibukota secara fisik berada di tengah Indonesia namun secara aksessibilitas, ibukota baru dapat diakses dalam waktu kurang dari 3 jam jalan darat (240 km) hanya oleh sekitar 1,3 % dari penduduk Indonesia (penduduk Kaltim : penduduk Indonesia), bandingkan dengan saat ini yang mana Ibukota Jakarta dapat diakses dalam 3 jam (240 km) oleh 16,2 % penduduk Indonesia.  

Adanya jarak antara rakyat, yang walaupun bisa dibantu dengan teknologi, bisa semakin melemahkan kontrol pemerintah pusat, dan akhirnya semakin mendorong transformasi Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat alih-alih Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu contoh bahwa Indonesia saat ini memang masih berbentuk NKRI adalah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya. Seperti subsidi KRL, dimana pada tahun fiskal 2019 berjumlah Rp 1,3 Trilyun. Sebaliknya, TransJakarta dan MRT disubsidi oleh DKI Jakarta sebesar Rp 3,2 Trilyun per tahun.

Permasalahan yang nanti muncul adalah karena ibukota baru akan sangat bergantung dari APBN untuk penyelenggaraannya (setidaknya 5 tahun pertama), maka semua biaya transportasi publik yang selama ini "nebeng" ke DKI Jakarta akan ditanggung secara keseluruhan oleh APBN. 

Hal ini akan memutus hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, terutama DKI Jakarta. Untuk mengilustrasikan mungkin kita ingat ketika kita pindah rumah dari rumah orangtua / mertua ke rumah pribadi, maka semua pengeluaran yang tadinya "sharing", maka sedikit banyak akan berkurang, tentunya konsentrasi kita akan terpusat pada rumah baru, bukan rumah yang lama.

Oleh karena itu renungan kedua adalah apakah bijak ketika beberapa Partai politik membicarakan mengenai urgensi amandemen UUD untuk menyelaraskan kebijakan pembangunan melalui penghidupan kembali Garis Besar Haluan Negara, tetapi pada saat yang sama juga merencanakan pemindahan ke lokasi di mana akses (fisik) masyarakat akan menjadi semakin sulit.  

Beberapa tanda-tanda sebetulnya sudah bermunculan, tentu kita ingat perseteruan antara Walikota Tangerang dengan Menkumham, dan yang baru saja terjadi antara Gubernur Maluku dengan Menteri KKP. Semua rata-rata terjadi karena benturan kepentingan dan kepentingan kewilayahan.

Pemindahan ibukota hanya akan semakin menjauhkan pemimpin dari rakyat Indonesia, sehingga berpotensi menghilangkan "feel" dari hasil sentuhan harian. Bagi negara berbentuk Federasi hal tersebut malah sebenarnya sangat baik, karena memang masalah sehari-hari ditangani oleh negara bagian, sehingga pikiran pemerintah Federal bisa dipusatkan untuk hal-hal yang bersifat nasional atau luar ngeri.

Renungan terakhir adalah kondisi ibukota baru itu sendiri, ibukota baru nantinya akan diisi hampir melulu oleh orang yang penghasilannya bergantung dengan pemerintah pusat atau orang yang punya bisnis memenuhi kebutuhan orang yang penghasilannya bergantung dengan pemerintah pusat. Selain itu, ibukota baru akan menjadi sebuah planned city, atau kota yang terencana. Alhasil hal ini bisa mendistorsi realita kondisi Indonesia dari yang sesungguhnya.

Sebagai penutup, mari sejenak kita membayangkan kondisi di Ibukota baru: ketika Presiden melihat keluar jendela maka yang akan terlihat adalah ibukota yang tertata, jalan yang luas, tidak terlihat pemukiman kumuh, praktis tidak ada kemacetan, pepohonan rindang di kanan-kiri jalan dan (hampir) semua orang bergantung kepada dia. Sehingga sekilas yang ada di pikiran (sebelum membuka briefing harian tentunya) adalah permasalahan Indonesia sudah beres atau tidak ada masalah.

Sekarang kita bayangkan bila Presiden bangun di Istana Merdeka Jakarta: macet, bising, baru jalan setengah jam sudah bertemu permukiman kumuh, bolak-balik didemo, polusi udara, polusi air, padat luar biasa. Maka pikiran pertama Presiden adalah banyak banget ya masalah Indonesia.

Sehingga apabila pemerintah pusat memang berniat untuk berpikir lebih ke scope nasional berjangka waktu panjang dan masalah luar negeri seperti banyak negara Federal lakukan, maka pindah ibukota memang menjadi pilihan ideal. 

Namun bila pemerintah ingin lebih dekat secara fisik dengan rakyatnya, maka mungkin pemindahan ibukota bisa dipertimbangkan kembali. Teknologi mungkin bisa membantu, tapi kontak langsung akan jauh lebih efektif, terbukti di zaman Internet of Things seperti ini, Presiden masih menyempatkan diri untuk melakukan Open House terutama pada Hari Besar Keagamaan Nasional.

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang mensejahterakan kehidupan rakyatnya dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun