Mohon tunggu...
Muhammad Yamin Pua Upa
Muhammad Yamin Pua Upa Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia, Pemerhati Estetika Humanisme & Masalah Sosial Politik

Mantan Wartawan, Penulis, Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Donasi Rp 2 Triliun Akidi Tio dan Ironi Social Capital di Tengah Pandemi

28 Juli 2021   23:47 Diperbarui: 29 Juli 2021   11:09 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Senin, 26 Juli 2021, media mainstream seperti Kompas.com dan Tribunnews.com memberitakan, angka kematian akibat Covid di Indonesia mencapai 1.487 orang.  Jumlah yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia. Jumlah ini ibarat aroma kematian.  Menebarkan ketakutan di tengah masyarakat. Terutama mereka yang memiliki komorbid. Entah itu penderita diabetes, hipertensi atau yang lainnya.

Pada hari yang sama, masyarakat Indonesia, dan mungkin juga dunia, dibuat tercengang oleh pemberitaan di media online, televisi, radio dan media sosial. Ada pengusaha dermawan asal Aceh, Akidi Tio beserta keluarganya, yang telah mendonasikan uangnya sebesar Rp 2 triliun untuk Penanganan Covid dan Kesehatan di Palembang, Sumatera Selatan.

Donasi dengan jumlah sebesar itu, tentu saja hanya bisa dilakukan oleh mereka dengan tingkat empati super. Oleh mereka yang dapat merasakan kesulitan masyarakat di tengah pandemi Covid. Dan oleh mereka yang memiliki kepekaan sosial tingkat super.

Tidak mengherankan jika pengacara Hotman Paris di akun Instagram-nya, hotmanparisofficial, menjuluki almarhum Akidi Tio sebagai Pahlawan Sejati Sepanjang Masa. Karena, menurut Hotman, jumlah sumbangan Akidi Tio mengalahkan filantrop sekaligus orang terkaya di dunia, Bill Gates dan para konglomerat dunia lainnya.

Hotman bahkan ingin sekali bertemu dengan keluarga almarhum Akidi Tio untuk wawancara. Hotman sepertinya penasaran, kenapa Akidi Tio dan keluarga mau menyumbangkan uangnya sampai Rp 2 triliun untuk penanganan Covid dan Kesehatan di Sumsel. Padahal, taipan-taipan Indonesia, bahkan perusahaan terkaya di Indoensia sekalipun, tidak pernah ada yang menyumbang sampai Rp 2 triliun.

Dalam tulisan di wall akun instagramnya, Hotman memang menyindir mereka yang jago nyinyir tapi pelit. Namun, sebenarnya tersirat juga pesan Hotman Paris di situ. Hotman sepertinya ingin mengetuk empati, mengetuk rasa kepedulian sosial para konglomerat, para orang kaya dan super kaya Indonesia, serta perusahaan-perusahaan besar yang melantai di bursa saham Indonesia. Mengetuk kepedulian sosial mereka yang telah mendapat banyak keuntungan dari resources dan demografi yang dimiliki Indonesia. Agar mereka mau membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid 19, seperti yang telah dilakukan almarhum Akidi Tio dan keluarga.

Pengacara top, tajir dan flamboyan itu, sepertinya juga ingin mengetuk rasa kepedulian sosial perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan berbasis di Indonesia. Yang telah mengambil banyak kekayaan alam dan keuntungan dari Indonesia. Termasuk perusahaan-perusahaan dalam industri farmasi dan telekomunikasi --yang mendapatkan banyak keuntungan finansial selama Pandemi Covid 19 di Indonesia (2020-2021). Karena secara demografis, Indonesia adalah big market, dengan populasi 274,9 juta orang. Salah satu pasar paling seksi di Asia.

Sementara itu pada April lalu, Majalah Forbes merilis 100 orang terkaya di dunia. Yang menarik, 15 orang diantaranya adalah orang super kaya Indonesia. Forbes juga setiap tahun merilis 20 orang terkaya Indonesia.

Berikut daftar lengkap 20 orang terkaya di Indonesia tahun 2021, seperti diberitakan Kompas.com, 25 April lalu.  Pada urutan pertama ditempati Budi Hartono dengan jumlah kekayaan 19,1 miliar dollar AS. Diikuti  adiknya Michael Hartono di urutan kedua dengan kekayaan 18,3 miliar dollar AS.

Di urutan ketiga Sri Prakash Lohia dengan kekayaan 6,5 miliar dollar AS, disusul Prajogo Pangestu 6,1 miliar dollar AS, Chairul Tanjung 4,2 miliar dollar AS, Tahir 3,3 miliar dollar AS, Eddy Kusnadi 3,2 miliar dollar AS, Jerry Ng 2,7 miliar dollar AS, Martua Sitorus 2 miliar dollar AS, Mochtar Riady 1,9 miliar dollar AS, TP Rachmat 1,8 miliar dollar AS, Djoko Susanto 1,7 miliar dollar AS, Peter Sondakh 1,5 miliar dollar AS, Sukanto Tanoto 1,3 miliar dollar AS, Alexander Tedja 1,2 miliar dollar AS, Murdaya Poo 1,2 miliar dollar AS, Susanto Suwarto, 1,2 miliar dollar AS, Winarko Sulistyo 1,1 miliar dollar AS, Low Tuck Kwong 1,1 miliar dollar AS, Lim Hariyanto Wijaya 1 miliar dollar AS.

Menariknya, jika kekayaan dua bersaudara Budi Hartono dan Michael Hartono, pemilik perusahaan rokok Djarum dan Bank BCA, digabung menjadi satu, maka jumlahnya mencapai 37,4 miliar dollar AS. Kalau dikonversi ke rupiah, dengan asumsi Rp 14.500,- per dollar AS, maka kekayaan mereka mencapai Rp 542,300 triliun.

Jumlah tersebut tidak terpaut jauh dengan total kekayaan 18 konglomerat Indonesia lainnya, yang jika digabungkan mencapai 43 miliar dollar AS, atau Rp 623,300 triliun (asumsi Rp 14.500,-/dollar AS).

Lalu, berapa nilainnya kalau kekayaan 20 orang konglomerat Indonesia itu digabungkan?  Angkanya bisa bikin pingsan karyawati pabrik tekstil yang terkena PHK akibat pandemi Covid. Karena sangat fantastis. Mencapai 80,4 miliar dolar AS, atau Rp 1.165,800 triliun (seribu seratus enam puluh lima triliun delapan ratus miliar rupiah).

Yang menarik juga adalah, ketika banyak perusahaan ambruk dan terjadi gelombang PHK --akibat pandemi covid berkepanjangan sejak awal 2020, jumlah orang kaya dan super kaya di Indonesia justru meningkat.

Data lembaga keuangan Credit Suisse menunjukkan, orang Indonesia dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih, sekitar Rp 14,5 miliar (kurs Rp 14.500,-/dollar AS), jumlahnya mencapai 171.740 (tahun 2020). Kenaikannya mencapai --61,69 persen-- year on year dari tahun 2019, seperti diberitakan Kompas.com 17 Juli 2021 lalu.

Sedangkan jumlah orang Indonesia super kaya, dengan nilai kekayaan lebih dari 100 juta dollar AS atau senilai Rp 1,45 triliun,- (asumsi Rp 14.500,- per dollar AS) mencapai 417 orang pada tahun 2020. Jumlah ini naik 22,29 persen dibanding tahun 2019.

Ironinya, di tengah pemberitaan majalah Forbes tentang 20 orang terkaya Indonesia dan jumlah orang kaya Indonesia yang bertambah banyak di tengah Pandemi Covid itu, beberapa kepala daerah di Indonesia justru jujur mengungkapkan, bahwa mereka sudah tidak punya dana cadangan lagi untuk menangani pandemi Covid 19. Mereka akhirnya "beteriak", "butuh social capital". Butuh kepedulian sosial. Butuh bantuan dari mereka yang mampu kepada yang tidak mampu.

"Saya garis bawahi, kita ini financial capital kita lemah, political capital juga semrawut sekarang, tapi dari dulu kita punya social capital yang luar biasa, luar biasa yang membuat negara ini merdeka dan bertahan maju adalah social capital," ujar Walikota Bogor Bima Arya dalam diskusi virtual 'Cegah Korupsi di Tengah Pandemi, Sabtu (9/5), seperti diberitakan Republika.co.id.

Melalui program Keluarga Asuh, Bima Arya akhirnya mendapatkan beberapa donatur. Meski sumbangannya mencapai ratusan juta rupiah, jauh dari donasi keluarga Akidi Tio yang mencapai Rp 2 triliun, tetapi Bima Arya telah menyiapkan sistemnya. Sehingga para donatur bisa menentukan titik bantuannya kepada masyarakat. Karena, dengan transfer Rp 1 juta, para donatur bisa pilih RT atau RW mana, untuk membiaya hidup keluarga yang terkena dampak Covid selama dua bulan.

Selain Bima Arya, Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, juga melakukan hal yang sama. Memanfaatkan social capital untuk mengatasi krisis keuangan daerah dalam penanganan kesehatan dan dampak pandemic Covid 19. Ganjar Pranowo antara lain mengandalkan Rumah Zakat serta dana CSR perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.

Pemda DKI Jakarta di bawah komando Anies Baswedan, bahkan sampai menyurati para Dubes negara sahabat untuk meminta bantuan dalam menangani pandemi Covid 19 di DKI Jakarta. Hal yang membuat --Anies yang namanya diperhitungkan sebagai Capres 2024 ini-- di-bully habis oleh netizen di media sosial.  Boleh jadi, karena netizen melihat masa sih dengan  APBD DKI Jakarta 2021 sebesar Rp 84,196 triliun, masih minta-minta juga ke para Dubes negara sahabat. Memalukan sekali.

Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, menepis anggapan tersebut, sekaligus mengklarifikasi perihal surat yang bocor ke wartawan. "Jadi kita ini kota kolaborasi, tentu kita mengajak semua masyarakat berkolaborasi bersama untuk saling membantu, satu sama lain, tidak hanya Dubes, tapi semua elemen masyarakat," kata Riza Patria di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (1/7/2021), seperti diberitakan Tribunews.com.

Terlepas dari itu, kalau saja semua orang kaya dan super kaya di Indonesia mempunyai kepedulian sosial seperti almarhum Akidi Tio dan keluarga, rasanya kepala daerah seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, atau Walikota Bogor Bima Arya, tidak harus pusing memikirkan anggaran penanganan Covid yang sudah terkuras habis. Tidak harus "berteriak" "kami butuh social capital". Apalagi seperti Pemda DKI Jakarta  yang harus menyurati Dubers negara sahabat meminta bantuan.

Kalau saja social capital bisa berjalan dengan baik, Hotman Paris pun tidak akan mengirim "pesan" di akun instagramnya --agar mereka yang kaya dan super kaya "bantu dong saudara-saudara kita yang mau makan sehari tiga kali saja sulit, akibat pandemic Covid 19 yang berkepanjangan ini".

Pertanyaannya kemudian, apakah orang kaya dan super kaya Indonesia tidak memiliki empati, tidak memiliki kepedulian sosial di tengah pandemi Covid 19 ini. Jawabnya tentu saja mereka punya kepedulian sosial.

Bahkan di awal Pandemi Covid di Indonesia, bulan Maret 2020, para konglomerat bersama Yayasan bersama Yayasan Buddha Tzu Chi mampu menggalang dana hingga Rp 500 miliar untuk membantu menangani pandemi Covid (berita Bisnis.com, 19/3/2020).

Dana sebesar itu dihimpun dari berbagai perusahaan konglomerasi di Indonesia. Mulai dari Sinar Mas, PT Adaro Energy Tbk, Artha Graha Peduli Foundation, PT Djarum, Agung Sedayu Group, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Puradelta Lestari Tbk, serta Triputra Group.

Lalu di mana masalahnya? Tidak ada masalah.

Lalu di mana letak ironinya? Ironinya, Akidi Tio dan keluarganya --yang tidak masuk dalam daftar orang kaya versi Majalah Forbes, ternyata mampu mendonasikan uangnya hingga Rp 2 triliun untuk penanganan Covid dan Kesehatan di Palembang, Sumsel.

Sementara pada pada awal Pandemi Covid melanda Indonesia (Maret 2020), delapan perusahaan konglomerasi Indonesia, termasuk PT. Djarum milik Hartono bersaudara --yang memiliki nilai kekayaan sekitar Rp 542,300 triliun, bersama Yayasan Buddha Tzu Chi, mampu mendonasikan dana mereka sebesar Rp 500 miliar.  Antara lain dalam bentuk peralatan uji cepat (rapid test kit) sebanyak 1 juta pc, 20.000 baju isolasi (coverall safety), 4 unit alat bantu pernapasan (ventilator), serta 1 juta masker.

Ironi lainnya, hingga kini kita belum mendengar pemerintah memanggil para konglomerat dan para CEO perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Minimal untuk duduk bersama, memecahkan kesulitan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengatasi dampak Covid 19 terhadap masyarakat. Padahal, Indonesia punya 20 konglomerat yang --menurut Majalah Forbes-- memiliki nilai kekayaan 80,4 miliar dolar AS, atau Rp 1.165,800 triliun (seribu seratus enam puluh lima triliun delapan ratus miliar rupiah).

Kalau saja diundang, boleh jadi dalam forum konglomerat bersama Presiden Jokowi, ada solusi ide, bagaimana kalau pemerintah meminjam uang para konglomerat dengan mengeluarkan surat utang. Mungkin tiga atau empat tahun ke depan, ketika ekonomi Indonesia dan dunia pulih, pemerintah mengembalikan lagi utang para konglomerat itu.

Toh, para konglomerat itu tentu masih ingat bagaimana kebaikan pemerintah Indonesia di era Soeharto kepada mereka. Khususnya dalam hal penyehatan sektor keuangan, kebijakan fiscal, moneter dan penyusaian struktural.  Meskipun kebijakan itu merupakan saran IMF, yang menggelontorkan bantauannya sebesar 23,53 miliar dollar AS kepada pemerintah Indonesia.

Para konglomerat Indonesia  tentu masih ingat, bagaimana Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didirikan pemerintah harus terpontal-pontal menangani restrukturisasi dan rehabilitasi anak-anak perusahaan konglomerat beserta bank-banknya, untuk mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah dipinjamkan kepada mereka.

Walaupun pada akhirnya diketahui banyak diantara para konglomerat itu menyalahgunakan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dan asset yang mereka serahkan ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), banyak diantaranya adalah aset bodong, yang nilainya tidak sama dengan nilai pasar. Akibatnya, nilai aset yang pada awalnya diperkirakan Rp 660 triliun, kenyataannya telah menyusut menjadi sekitar Rp 160 triliun.

Ironis memang. Tetapi itu masa lalu, walaupun sulit untuk dilupakan. Sekarang yang kita butuhkan adalah social capital. Kita membutuhkan empati dari para konglomerat dan orang kaya Indonesia untuk membantu saudara sebangsa yang mengalami kesulitan akibat pandemic Covid 19.

Seperti empati yang ditunjukkan oleh pengusaha dermawan almarhum Akidi Tio dan keluarganya. Yang rela mendonasikan Rp 2 triliun uangnya untuk membantu masyarakat Palembang, Sumatera Selatan. Kota yang membuatnya menjadi salah satu orang kaya di Sumatera. Meski pun tidak tercatat sebagai 20 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun