Menurut dia, orang Jerman bisa sangat fanatik bicara dan bertindak untuk kebaikan lingkungan hidup dan iklim, sementara mereka tidak tertarik melakukan ritual agama.Â
Saya pernah melihat bagaimana seorang ibu di Indonesia, sangat keras memarahi putranya yang masih SD karena tidak beranjak shalat (padahal adzan baru selesai dialunkan).Â
Sedangkan saat putranya main smartphone berjam-jam dan membuang sampah sembarangan, si anak tidak ditegur sama sekali.
Sanksi yang diberikan apabila hal tersebut dilihat oleh Instansi Pengangkut Sampah Daur Ulang adalah dengan tidak mengangkut kantong sampah daur ulang itu, tempat si anak membuang sampahnya.
Jadi bisa terlihat ya bagaimana sebuah karakter ramah lingkungan terbentuk, sangat tergantung dari domain anak tumbuh kembang. Dari anak, kemudian menjadi kelompok lalu melebar menjadi tipe masyarakat.Â
Tapi saya bersyukur, di Indonesia banyak juga bermunculan para aktivis lingkungan seperti misalnya Melati dan Isabel Wijsen dari Bali.Â
Saya kira, mereka juga dapat memberikan contoh positif bagi masyarakat Indonesia yang haus pendidikan.
Itu contoh sampah, yang menurut saya bisa lebih terlihat dampaknya dari bersikap netral iklim. Seperti apakah itu netral iklim?
Netral Iklim dan CO2
Netral iklim ini sebetulnya bukan isu kemarin sore, para ahli iklim sudah khawatir mengenai perubahan iklim ini sejak terindikasi suhu bumi naik terus.Â
Hal tersebut yang membuat pada tahun 2015 di KTT Perubahan Iklim ke-21 di Paris, negara-negara bersepakat untuk menekan kenaikan suhu bumi maksimal 1,5°C / 2°C saja.Â