Tahun 2019 banyak murid-murid di sekolah-sekolah Jerman (dan di banyak negara lain) setiap hari Jumat siang berkumpul, berdiskusi, dan berdemonstrasi menyuarakan ketidakpuasan mereka akan kurangnya usaha-usaha pemerintah dalam hal penanggulangan perubahan iklim.Â
Gelombang demonstrasi murid-murid dan anak-anak muda ini dikenal dengan Fridays for Future. Fridaynya pakai s, jadi bukan hanya di satu Jumat tapi di banyak Jumat.Â
Gelombang reaksi ini pertama kali digelorakan oleh seorang anak muda belia dari Swedia sejak ia berusia 15 tahun, bernama Greta Thunberg.Â
Greta sendiri terinspirasi untuk secara konsekuen dan aktif berdemonstrasi, setelah tulisannya menang dalam lomba menulis bertemakan Kebijakan Lingkungan.
Lalu belum lama ini, baik itu melalui Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman, maupun Ursula von der Leyen, yang belum lama terpilih sebagai Presiden Komisi Eropa, muncul dukungan dan tindakan menuju netral iklim di Eropa.Â
Hal itu terlihat dari kesepakatan yang dinamakan Green Deal dari dicetuskan masyarakat Eropa baru-baru ini. Kesepakatan serupa lalu bermunculan dari kota-kota di Jerman, yang kini siap mewujudkan kota dengan netral iklim.Â
Tak hanya masyarakat, perusahaan-perusahaan besar seperti Siemens juga berikrar akan membawa perusahaan mereka menuju netral iklim.
Sehingga menurut saya, masyarakat Jerman atau Eropa pada umumnya, lebih reaktif dan sensitif terhadap isu-isu lingkungan.
Perbedaan Reaksi terhadap Isu Lingkungan di Jerman dan Indonesia
Saya ingat, ada salah satu pelajar pertukaran dari Indonesia, yang baru datang ke Jerman. Pelajar Indonesia ini memiliki kesan, bahwa kepedulian orang Jerman terhadap lingkungan dan iklim seperti kefanatikan beragama.Â
Menurut dia, orang Jerman bisa sangat fanatik bicara dan bertindak untuk kebaikan lingkungan hidup dan iklim, sementara mereka tidak tertarik melakukan ritual agama.Â
Saya pernah melihat bagaimana seorang ibu di Indonesia, sangat keras memarahi putranya yang masih SD karena tidak beranjak shalat (padahal adzan baru selesai dialunkan).Â
Sedangkan saat putranya main smartphone berjam-jam dan membuang sampah sembarangan, si anak tidak ditegur sama sekali.
Sanksi yang diberikan apabila hal tersebut dilihat oleh Instansi Pengangkut Sampah Daur Ulang adalah dengan tidak mengangkut kantong sampah daur ulang itu, tempat si anak membuang sampahnya.
Jadi bisa terlihat ya bagaimana sebuah karakter ramah lingkungan terbentuk, sangat tergantung dari domain anak tumbuh kembang. Dari anak, kemudian menjadi kelompok lalu melebar menjadi tipe masyarakat.Â
Tapi saya bersyukur, di Indonesia banyak juga bermunculan para aktivis lingkungan seperti misalnya Melati dan Isabel Wijsen dari Bali.Â
Saya kira, mereka juga dapat memberikan contoh positif bagi masyarakat Indonesia yang haus pendidikan.
Itu contoh sampah, yang menurut saya bisa lebih terlihat dampaknya dari bersikap netral iklim. Seperti apakah itu netral iklim?
Netral Iklim dan CO2
Netral iklim ini sebetulnya bukan isu kemarin sore, para ahli iklim sudah khawatir mengenai perubahan iklim ini sejak terindikasi suhu bumi naik terus.Â
Hal tersebut yang membuat pada tahun 2015 di KTT Perubahan Iklim ke-21 di Paris, negara-negara bersepakat untuk menekan kenaikan suhu bumi maksimal 1,5°C / 2°C saja.Â
Nah apa saja penyebab kenaikan suhu bumi? Salah satunya adalah emisi CO2. Karena itu beberapa media, ada yang menggunakan istilah netral karbon bukan netral iklim.Â
Saya lebih menyukai netral iklim, karena penyebab perubahan iklim itu bukan hanya emisi gas rumah kaca CO2.Â
Gas rumah kaca itu sifatnya seperti rumah kaca, seolah melapisi bumi hingga gelombang panjang panas dari bumi tidak bisa direfleksikan ke luar atmosfer tapi malah dikembalikan lagi oleh lapisan gas rumah kaca sehingga bumi makin panas.Â
Gas rumah kaca lain diantaranya adalah gas metan (CH4), FCKW gas-gas yang mengandung fluor (F), chlor (Cl).
Bersikap dan bertindak netral iklim memang tidak mudah. Ada beberapa orang, yang saya tahu di Jerman mulai mengubah drastis gaya hidupnya, salah satunya dengan menolak terbang.Â
Jadi ke mana-mana mereka hanya naik sepeda, naik kendaraan umum atau naik kereta. Pertimbangannya tentu saja karena emisi CO2 dari penerbangan itu jauh melebihi kereta dan bus.Â
Ada pula yang menolak membeli buah-buahan atau sayuran impor, karena pertimbangan impor melalui transportasi jauh mengeluarkan emisi CO2 lebih tinggi dari transportasi buah-buahan atau sayuran lokal.Â
Praktik kehidupan memang menjadi lebih rumit dan ruwet. Namun, untungnya pemerintah Jerman turut memikirkan itu semua, salah satunya mereka akan menerapkan Pajak CO2.
Selain itu, pemerintah juga mengambil kebijakan untuk menurunkan pajak kereta api dari 19% menjadi 7%, agar orang lebih banyak menggunakan kereta api daripada pesawat atau mobil pribadi.Â
Kota-kota di Jerman juga sudah mulai memproklamirkan diri tahun 2030 menjadi kota netral iklim.Â
Netral Iklim Sebuah Kota
Sebuah kota besar dengan penduduk banyak, kendaraan padat dan kaya industri, otomatis memiliki emisi CO2 yang tinggi. Kota-kota inilah sebaiknya memiliki kebijakan netral iklim.Â
Berlin, ibu kota Jerman misalnya emisi CO2-nya tahun 2010 kurang lebih sebanyak negara Kroasia, sebesar 21 juta ton. Atau kota London emisinya hampir sama dengan negara Irlandia. New York hampir sama dengan negara Bangladesh.Â
Di lain sisi, ada kota-kota besar yang sudah sangat termotivasi, diantaranya Oslo dan Kopenhagen. Oslo sejak tahun 2015 sedikit demi sedikit mengurangi masuk mobil-mobil dengan mesin bakar, meniadakan tempat parkir di tengah kotanya.Â
Kopenhagen lebih ambisius lagi, tahun 2025 akan menerapkan kota netral iklim.
Apa artinya netral iklim untuk sebuah kota? Artinya kota tersebut hanya mengeluarkan emisi CO2 sebanyak kemampuan lahan hijau dan teknologinya hingga menjadi netral.Â
Di Jerman secara keseluruhan, usaha-usaha ini bisa sangat dirasakan dalam rumah dan bangunan kota. Aturan yang mengatur penggunaan energi untuk pemanasan, semakin ketat dan rumit. Namun, kerumitan ini dimudahkan dengan dana pinjaman dengan bunga sangat ringan.
Saya sulit membayangkan bila DKI Jakarta harus menghitung emisi CO2-nya. Dari lalu lintas yang padat serta selalu macet dan dari penggunaan pendingin ruangan saja, pasti emisi CO2 tinggi sekali.Â
Bila Berlin menyanggupi untuk menjadi kota dengan netral iklim di tahun 2050, mungkin DKI Jakarta patut mencoba setidaknya dekade berikutnya 2060. Lalu serius mencanangkan upaya ke arah sana.Â
Bayangkan saja, penduduk bumi tahun 2050 akan menjadi 9 milyar jiwa. Penduduk DKI Jakarta mungkin akan menjadi 30 juta lebih jiwa bila ibu kota tidak pindah.Â
Tanpa usaha-usaha serius ke arah netral iklim, saya sedih dan kasihan membayangkan kehidupan produktif generasi nanti di tahun itu. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H