[caption caption="Daun salat dalam rumah kaca di pulau Rheichenau (Dok. pribadi)"][/caption]
Orang Sunda kalau dilepas di kebun bakal selamat hidup. Begitu olok-olok yang sering terdengar mengenai orang Sunda yang doyan sayuran mentah. Atas nama orang Sunda, saya harus tulis pembelaan di sini, banyak makan sayur itu sehat lho! Di Jerman apalagi. Makanan vegetarian bahkan sudah masuk menjadi standar menu restoran. Bahkan Mensa, kantin mahasiswa di Jerman, pun selalu menyediakan menu vegetarian dan bahkan vegan. Jadi... karena lambang halal tidak ada, ya makanan vegetarian/vegan adalah alternatif sehat menu makan siang bagi mahasiswa muslim di Jerman.
Adakah gaya hidup sehat ini berhubungan dengan tingkat pendidikan?
Gaya Hidup dan Pilihan Makanan
Bicara gaya hidup, gaya hidup orang Jerman dalam hal memilih makanan ini memang menurut saya cukup repot. Banyak sektenya... Ada jenis pemakan segala, ada bio (organik), ada vegetaria, ada vegan, ada vegan dan bio, ada vegetarian dan bio, dan akhir-akhir ini mulai ramai adalah penganut makanan makrobiotis.
Aliran makrobiotis ini tadinya saya kira baru. Eh ternyata sejarah ke belakangnya panjang hingga ke zaman antik, ke zamannya Herodot, Hippokrates dan Aristoteles. Di zaman itu, penganut makanan makrobiotik ini ternyata sudah ada. Namun, yang sekarang terkenal konon berakar dari Jepang, dari seorang dokter berkebangsaan Jepang, Sagen Ishizuka, yang hidup di tahun 1900-an. Dari situlah lalu kemudian lahir sebuah gerakan Shoku-Yu. Artinya: "Mengobati melalui Makanan".
Menu makrobiotis ini pada prinsipnya mirip vegan, tidak menggunakan susu sapi atau produk binatang lainnya dan ditambah limitasi lain dengan 5 prinsip berikut:
- Makanan adalah fondasi untuk kebahagiaan dan kesehatan,
- Natrium dan kalium merupakan penentu penting, penyeimbang kualitas makanan (seperti Yin dan Yang),
- Makanan whole grain adalah makanan utama paling pantas dikonsumsi,
- Makanan dimakan sealami mungkin,
- Makanan yang dimasak sebaiknya berasal dari lingkungan sekitar dan sesuai musimnya.
Kembali ke soal makan memakan sayuran dan buah-buahan orang Indonesia, walaupun ditopang oleh orang Sunda yang senang makan sayuran mentah, ternyata secara rata-rata tetap saja orang Indonesia tuh di urutan paling belakang dalam urusan memakan sayuran dan buah. Berdasarkan survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan tahun 2014, yang kemudian datanya diolah tahun 2015. Konsumsi sayuran dan buah masyarakat Indonesia itu hanya 91 gram per hari per orang. Jumlah ini dua kali lipat lebih rendah dari konsumsi masyarakat Thailand dan Filipina. Bahkan berbeda jauh jika dibanding dengan konsumsi orang Singapura yang sebesar 518 g atau orang Jerman, sebesar 442 gram per orang per hari.
Padahal konsumsi sayuran dan buah, anjuran dari WHO adalah ≥ 400 gram per hari. Kenyataan ini menurut para ahli dipicu oleh faktor-faktor berikut ini:
- Usia, jenis kelamin, status sosial dan ekonomi ,
- faktor pribadi seperti penghargaan terhadap diri sendiri, waktu tersedia, penghargaan terhadap kesehatan diri,
- lingkungan pergaulan, dorongan masyarakat, contoh, atmosfir dan tatanan dalam masyarakat.
Pulau Sayuran, Warisan Budaya UNESCO di Rheichenau Jerman
Bahwa orang Jerman suka dengan salad, buktinya saya lihat minggu lalu. Dengan bekal sepeda lipat di bagasi mobil, kami mengelilingi pulau sayuran Rheichenau di danau Konstanz, Jerman Selatan. Pulau yang sekarang terkenal sebagai pemasok sayuran dan buah-buahan Jerman ini, luasnya hanya 4,3 Km2 dengan kelilingnya kurang lebih 11 Km. Penduduknya pun hanya 3000-4000 orang, tapiiiiiii.... ada 100 pertanian keluarga di dalamnya.
Petani di Jerman kaya-kaya. Tanah pertanian yang digarapnya pun luas-luas. Kerja mereka luar biasa keras karena semua dikerjakan sendiri oleh seluruh anggota keluarga. Sehingga perlu disiplin tinggi dan tentu saja bantuan teknologi terkini. Sehingga hasilnya pun sangat produktif. Jadi tidak heran pulau ini didominasi oleh rumah kaca dan budidaya buah dan sayur sejauh mata memandang....
Bertani di sekitar danau terbesar Jerman ini memang praktis, karena airnya langsung datang dari danau Konstanz. Danau yang tidak hanya mengairi desa dan kota sekitarnya tapi juga mengairi kota-kota lain bahkan sampai Stuttgart.Â
[caption caption="Pulau sayuran, Rheichenau Jerman (Dok pribadi)"]
Di Jerman makanan vegetaris sudah masuk menjadi standar menu restoran. Bahkan Mensa, kantin mahasiswa di Jerman, pun selalu menyediakan menu vegetarian dan bahkan vegan. Jadi... karena lambang halal tidak ada, ya makanan vegetarian/vegan adalah alternatif sehat menu makan siang bagi mahasiswa muslim di Jerman.
Bicara gaya hidup orang Jerman dalam hal memilih makanan ini memang menurut saya cukup repot. Banyak sektenya... Ada jenis pemakan segala, ada bio (organik), ada vegetaria, ada vegan, ada vegan dan bio, ada vegetarian dan bio, dan akhir-akhir ini mulai ramai adalah penganut makanan makrobiotis.
Aliran makrobiotis ini tadinya saya kira baru. Eh ternyata sejarah ke belakangnya panjang hingga ke zaman antik, ke zamannya Herodot, Hippokrates dan Aristoteles. Di zaman itu, penganut makanan makrobiotik ini ternyata sudah ada. Namun, yang sekarang terkenal konon berakar dari Jepang, dari seorang dokter berkebangsaan Jepang, Sagen Ishizuka, yang hidup di tahun 1900-an. Dari situlah lalu kemudian lahir sebuah gerakan Shoku-Yu. Artinya: "Mengobati melalui Makanan".
Menu makrobiotis ini pada prinsipnya mirip vegan, tidak menggunakan susu sapi atau produk binatang lainnya dan ditambah limitasi lain dengan 5 prinsip berikut:
- Makanan adalah fondasi untuk kebahagiaan dan kesehatan,
- Natrium dan kalium merupakan penentu penting, penyeimbang kualitas makanan (seperti Yin dan Yang),
- Makanan whole grain adalah makanan utama paling pantas dikonsumsi,
- Makanan dimakan sealami mungkin,
- Makanan yang dimasak sebaiknya berasal dari lingkungan sekitar dan sesuai musimnya.
Apakah itu vegetaria, vegan atau makrobiotis, pada prinsipnya mereka semua banyak makan sayur-sayuran. Tidak heran bila konsumsi sayuran dan buah orang Jerman, sebesar 442 gram per orang per hari (data dari sini). Jauh dari konsumsi sayuran orang Indonesia hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan tahun 2014, yang kemudian datanya diolah tahun 2015, yang hanya 91 gram per hari per orang (berita dari sini). Jumlah ini dua kali lipat lebih rendah dari konsumsi masyarakat Thailand dan Filipina. Bahkan berbeda jauh jika dibanding dengan konsumsi orang Singapur sebesar 518 g.
Padahal konsumsi sayuran dan buah, anjuran dari WHO adalah ≥ 400 gram per hari. Kenyataan ini menurut para ahli dipicu oleh faktor-faktor berikut ini:
- Usia, jenis kelamin, status sosial dan ekonomi ,
- faktor pribadi seperti penghargaan terhadap diri sendiri, waktu tersedia, penghargaan terhadap kesehatan diri,
- lingkungan pergaulan, dorongan masyarakat, contoh, atmosfir dan tatanan dalam masyarakat.
Pulau Sayuran, Warisan Budaya UNESCO di Rheichenau Jerman
Bahwa orang Jerman suka dengan sayur-sayuran, buktinya saya lihat minggu lalu. Dengan bekal sepeda lipat di bagasi mobil, kami bersepeda mengelilingi pulau sayuran Rheichenau di danau Konstanz, Jerman Selatan. Pulau yang sekarang terkenal sebagai pemasok sayuran dan buah-buahan Jerman ini, luasnya hanya 4,3 Km2 dengan kelilingnya kurang lebih 11 Km. Penduduknya pun hanya 3000-4000 orang, tapiiiiiii.... ada 100 pertanian keluarga di dalamnya.
Petani di Jerman memang kaya-kaya, tidak bisa disamakan dengan rata-rata petani di Jawa. Tanah pertanian yang digarapnya pun luas-luas. Kerja mereka luar biasa keras karena semua dikerjakan sendiri oleh seluruh anggota keluarga. Sehingga perlu disiplin tinggi dan tentu saja bantuan teknologi terkini. Sehingga hasilnya pun sangat produktif. Jadi tidak heran pulau ini didominasi oleh rumah kaca dan budidaya buah dan sayur sejauh mata memandang.
[caption caption="Rumah kaca di pulau sayuran Rheichenau (dok pribadi)"]
Bertani di sekitar danau terbesar Jerman ini memang praktis, karena airnya langsung datang dari danau Konstanz. Danau yang tidak hanya mengairi desa dan kota sekitarnya tapi juga mengairi kota-kota lain bahkan sampai Stuttgart.Â
Bahkan di sekitar kloster Abad Pertengahan, yang karenanya Pulau Sayuran ini mendapat gelar sebagai warisan budaya dari UNESCO, pun ditanami sayuran, salad hijau dan salat ungu, membuat kloster-nya semakin menarik dari luar. Dan di dekat kloster lainnya juga ditanami bunga musim semi, seperti Osterglocken, seperti terlihat di foto-foto di bawah ini.
[caption caption="Daun salad hijau dan ungu di Pulau Sayuran. Dok pribadi"]
[caption caption="Bunga-bunga musim semi di Pulau Sayuran. Dok pribadi"]
[caption caption="Toko Sayur tanpa penjual (Dok. pribadi)"]
Mengapa Konsumsi Sayur dan Buah kurang di Indonesia
Dari sini, menurut dokter spesialis gizi klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Fiastuti Witjaksono,
Kekurangan asupan buah dan sayur dapat menyebabkan risiko kematian akibat kanker saluran cerna sebesar 14 persen. Kemudian risiko kematian akibat penyakit jantung koroner sebesar 11 persen dan kematian akibat stroke sembilan persen.
Karena itu, lanjut dia, konsumsi minimal dua porsi buah dan tiga porsi sayuran setiap hari secara teratur harus dilakukan dengan baik.
Misalnya mengonsumsi dua buah kiwi dan tiga porsi sayur setiap hari secara teratur, dapat memberikan manfaat positif bagi tubuh seperti mencegah berbagai penyakit degeneratif yaitu kencing manis, kanker, obesitas, dan penuaan dini, memperlancar proses metabolisme, meningkatkan kesehatan saluran cerna, meningkatkan daya tubuh dan mencegah kerusakan sel.
Menurut dia, buah kiwi telah lama dikenal kaya akan vitamin C dan E. Kandungan vitamin C pada kiwi dua kali lebih tinggi dibandingkan jeruk dengan perbandingan berat (gram) yang sama dan kandungan vitamin E lima kali lebih besar dibandingkan apel dengan perbandingan berat (gram) yang sama.
"Buah kiwi juga dikenal kaya akan serat dan mengandung enzim unikactinidin yang ada dibuah kiwi hijau yang berfungsi membantu pencernaan protein sehingga mudah diserap," kata dia.
Ia menjelaskan, protein yang diserap dengan baik akan memberikan manfaat sebagai zat pembangun, mengganti sel-sel yang rusak, dan menjaga agar metabolisme bagi ibu yang ingin hamil juga memiliki glycaemic indeks yang rendah sehingga aman dikonsumsi bagi penderita diabetes.
Yah... memang semua itu baik dan indah. Tapi kalau saya pikir lagi, berapa sih orang di Indonesia mampu membeli buah impor seperti kiwi? Kenapa pilihan buahnya bukan buah lokal dan murah meriah, seperti misalnya jambu klutuk, jambu air, belimbing, strawberry Lembang, jeruk Medan, apel Malang. Eh... tapi seingat saya dulu repotnya, buah lokal juga kadang malah lebih mahal dari buah impor ya. Akhirnya, bisa dimengerti bila rata-rata orang Indonedia karena mahal ini gak beli buah deh... Karena itu tak heran pada akhirnya secara rata-rata orang Indonesia masih kurang mengasup sayuran dan buah.
Wah... lebih pusing lagi kalau menelusuri kenapa sayuran dan buah kurang dikonsumsi adalah, karena beralihnya profesi para petani menjadi ojek. Saya ingat petani di sekitar rumah kami dulu di Pamulang, banyak yang akhirnya merelakan lahan kebunnya untuk dijual ke pengembang karena terdesak kebutuhan, setelah itu para petani ini ngojek semua di depan kompleks perumahan. Lah... tak heran kan bila hasil budidaya sayuran dan buah ini makin hari makin mahal. Gaya hidup sehat makin tenggelam deh. Ah... blunder. (ACJP)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H