Sudah 5 tahun terakhir ini, Indonesia digosipkan menjadi negara dengan minat baca yang sangat rendah. Bahkan Indonesia hanya menduduki peringkat kedua terbawah di dunia.Â
Hal ini rupanya menjadi tamparan keras bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang berpendidikan.Â
Sejak sekolah dasar hingga pendidikan menengah atas, semua dibiayai oleh pemerintah. Bahkan, di tingkat perguruan tinggi masih disubsidi oleh pemerintah.
Berdasarkan data yang dirilis oleh UNESCO pada 2016, minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya 1 orang Indonesia yang gemar membaca dari total 1.000 orang (1:1000).Â
Selanjutnya, survey yang dilakukan The Digital Reader tahun 2017 mengungkapkan, minat baca di Indonesia hanya mencapai 52,92% saja, sedangkan di tahun 2019 meningkat hanya menjadi 53,84% saja.Â
Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) juga mengungkapkan, tingkat literasi orang Indonesia dinilai sangat rendah. Pada tahun 2019, Indonesia menempati ranking  ke-62 dari 70 negara di dunia.
Fakta-fakta tersebut membuat para produsen buku dan penulis menelan pil pahit, pasalnya di masa pandemi 58,2% penerbit mengalami penurunan penjualan, hanya 4,1% penerbit yang stabil berdasarkan data ikapi.org.Â
Padahal selama pandemi, pemerintah mencanangkan gerakan stay at home untuk menekan arus penyebaran covid-19. Selama berdiam diri di rumah, baik pekerja mau pun pelajar rupanya tidak mampu menekan angka literasi tersebut.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim telah melakukan berbagai upaya-upaya untuk  meningkatkan minat baca masyarakat.Â
Selain itu, Kemendikbudristek juga telah melakukan digitalisasi produk buku untuk memberikan kemudahan akses membaca kepada masyarakat, salah satunya melalui program Kurikulum Merdeka Belajar.Â