Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orangtua dan Guru Wajib Baca: Bullying Bukan Hal Baru, Pengalaman Korban Bullying

14 Februari 2020   20:12 Diperbarui: 14 Februari 2020   22:03 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bullying atau perundungan/penindasan/pengintimidasian merupakan suatu tindakan yang sangat amat tidak terpuji. Kekerasan, celaan, atau ejekan ditujukan ke seseorang atau kelompok yang dilakukan atas dasar kekesalan atau rasa benci satu kaum. Ironisnya hal ini ternyata akhir-akhir ini bukan terjadi di kalangan dewasa saja, namun remaja bahkan anak-anak sekolah.

Tindakan ini bukan saja terjadi di baru-baru ini saja, namun sudah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berdasarkan berita-berita viral ysng pernah menggema di jagat dunia maya. Namun perundungan ini seolah tidak juga menimbulkan efek jera pada pelaku. Sanksi berupa teguran, ajaran untuk menyesali perbuatannya lalu meminta maaf sudah dilakukan, tetapi di tahun 2020 ini masih kembali terjadi.

Sekadar berbagi pengalaman saja, saya secara pribadi pernah mengalami perundungan seperti yang telah viral di media sosial. Ada kesamaan yang mungkin bisa jadi kesimpulan dari kejadian-kejadian tersebut. Tidak hanya anak-anak ke anak-anak lain, namun berlaku juga pada kasus perundungan yang pernah menimpa murid kepada gurunya.

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya mengalami perundungan sejak kelas 2 SD hingga SMA. Saya selalu berpandangan mereka yang merundungi saya adalah anak-anak yang nakal dan jahat dan tidak perlu dilawan.

Saya sangat amat sering mengalami barang-barang dan makanan saya dirampas dengan kode "tap" (:dibaca tep) yang maknanya adalah barang yang disentuhnya menjadi miliknya. Hal tersebut menjadi persoalan pelik bagi saya, rasa ingin melawan tidak ada sama sekali. Tetapi miris, saya yang menabung uang jajan saya supaya bisa beli mie instant dan minuman ringan bersoda, tetapi apa daya justru dirampas oleh teman saya.

Tidak berhenti di situ saja, saya juga mengalami namanya dipukul, diinjak jika tidak menuruti perintah orang tersebut. Ketika itu saya diminta belikan dia makanan di kantin sekolah, tetapi saya tidak mau mendengarnya dengan menghiraukan panggilannya. Merasa tidak dituruti, dia mengejar saya dan menarik kerah saya dari belakang dan memukul belakang kepala   saya sambil berucap "eh t*lol beli cepet" dan uang saya tidak diganti. Teman saya pernah mengalami pulpen dan penggarisnya di tap oleh teman lain dan menjadi hak milik.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sudah menggaungkan untuk hentikan perundungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sudah menggaungkan untuk hentikan perundungan

Ditambah juga ejekan-ejekan yang mengarah pada body shamming kerap dilontarkan orang-orang tersebut. Saya pernah mengalami diejek muka rata karena ketika itu wajah saya banyak jerawat yang begitu menjijikan. 

Ada juga teman saya yang kebetulan memang kepalanya lebih besar di atas rata-rata, kemudian diejek karena ketika bayi sering kejedot. Tidak sampai di situ, sampai ada lagunya untuk mengejek teman saya tersebut. Seperti ini lagunya:

Si bendot ngedot ngedobot
Lagi ngedot kepalanya kejedot

Tidak berhenti sampai di situ, belum lagi ejekan terhadap orang tua juga pernah terlontar dari mulu orang-orang tersebut. Bukan hanya terhadap saya, namun juga terhadap orang lain. Seperti contoh teman saya ada yang memang anak seorang asisten rumah tangga, sampai ada yang meneriaki dan mengejeknya "dasar anak pembantu". Bahkan satu waktu acara di luar sekolah diejek sambil berjalan dengan nyanyian "baaaabbbuuuuu babu baaabbbuuu". Tidak luput juga saya alami diejek ketika ibu saya ngidam, ibu saya tidak ngidam apa-apa.

Tamat SD saya masuk SMP Negeri yang isinya lebih beragam. Ketika SD saya bersekolah di sebuah sekolah agama yang perbedaannya sekadar suku saja. Nyatanya di SMP tingkat perundungan semakin meningkat dan beragam.

Duduk di bangku SMP sudah menjadi titik awal menjadi remaja, usia yang sudah menginjak 12-13 tahun sudah bukan lagi dikatakan anak kecil. Tetapi sikap memang harus terus berkembang, karena semakin dewasa maka mental harus semakin tahan banting terhadap tantangan dan masalah.

Menjadi minoritas pun menjadi bahan perundungan. Ejekan kafir, Batak makan babi, orang Kristen ga boleh masuk rumah gue, hingga yang namanya tidak memiliki teman selain senasib juga saya alami. Jadi jangan heran di beberapa tempat, komunitas, atau perkumpulan minoritas seolah eksklusif memisahkan diri dan bergabung dengan kaumnya.

Ketika SMP juga saya alami namanya difitnah oleh teman dan senior. Saya dituduh mengejek teman lainnya hingga mendapat tamparan dari orang yang merasa saya ejek. Kemudian saya juga difitnah mengambil gambar ciuman bibir teman sekelas saya dengan kakak kelas yang padahal saya tidak melakukannya.

Ada juga satu kasus yang hampir satu genk alias komplotan ingin menghajar saya karena saya diduga mengadu kepada guru piket bahwa genk tersebut merokok di loteng sekolahan, memanjat tembok sekolah, bahkan pacaran dan sembunyi di ruang kelas yang kosong ketika solat Jumat. 

Saya pun dikerubungi satu genk dan hampir dihajar ramai-ramai, namun saya selamat karena bel sudah berbunyi. Akibat hal tersebut saya pulang sekolah berusaha paling akhir dan melalui jalan lain agar tidak bertemu komplotan tersebut.

Tiba di suatu bulan Ramadan yang merupakan bulan suci dan umat Islam berpuasa. Namun namanya anak-anak, ada saja segelintir orang yang 'batal puasa' alias tidak berpuasa. Saya yang memang merasa individualis merasa cuek dengan sekitar karena merasa orang tidak ada yang peduli dengan saya. 

Saya makan bekal di kantin, tetapi sikap saya tersebut membuat naik pitam orang lain. Saya yang sedang makan dihampiri 2 orang yang bilang "lo diajak ribut sama si AA". Karena kesal diganggu sedang makan, saya jawab "bodo amat". Ternyata hal tersebut membuat mereka tertawa dan berlari menuju orang yang katanya mengajak saya baku hantam.

Singkat cerita pulang sekolah saya dikerubungi 4 orang dan diiring menuju tempat tongkrongan mereka di dekat sekolah. Di sana saya dipertemukan dengan orang yang katanya mengajak saya berkelahi. Ternyata tidak ada yang mengajak, kami diadu bak pertunjukan gulat. Ketika baku hantam, kami dibubarkan salah satu orang tua murid yang sedang menjemput anaknya dengan cara ditarik dan ditampar satu per satu, saya yang terlanjur emosi, malu, dan dendam merasa ingin tuntaskan perkelahian sampai mati. Saya pun mencarinya hingga saya membuatnya bonyok dan malu.

Menang? Hah! Itu bukan sebuah kebanggaan bagi saya, nyatanya tidak sampai di situ saja perundungan terjadi. Ketika menjadi jagoan pun saya dipuja-puja dengan tantangan baru. Saya diajak tawuran dengan sekolah tetangga. Saya pun merasa tersanjung mau saja.

Singkat cerita pulang sekolah saya diajak ke jalanan, ternyata sudah berkumpul dari sekolah lawan. Saya bersama 2 orang teman saya berada di paling depan  menjadi umpan. Aksi kejar-kejaran terjadi hingga akhirnya saya memilih ikutan lari ke sebuah warung. Saya disuruh menjemput jagoan dari sekolah lain, puji syukur saya selamat dari aksi tawuran tersebut karena ternyata ketika saya sedang menjemput, jagoan sekolah saya terkena gerigi tepat di kepalanya dan akhirnya koma dilarikan ke rumah sakit.

Keesokan harinya kami bertiga (saya bersama 2 teman saya) dipanggil guru BK untuk dimintai keterangan dan bertanggung jawab. Kami pun diantar ke sekolah lawan dan diminta menandatangani surat damai serta wajib menjamin tidak terjadi lagi keributan, tentu dengan ancama kami akan dikeluarkan jika kembali terjadi.

Dari hal-hal yang diceritakan tersebut saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang menjadi orang yang lemah dan tidak punya pendirian adalah hal yang kelu. Saya dan anak-anak korban perundungan punya kesamaan yakni tidak mampu bersosialisi dan bermental sangat lemah. Ketika ditindas, tidak mampu mengatasinya dengan kata-kata bijak atau bersikap bijak serta punya pendirian. Sikap mengalah justru mendarah daging dan menjadi kebahagiaan bagi pelaku perundungan.

Ketika seorang korban perundungan berusaha melawan, label pecundang sudah menjadi cap di mata pelaku, sehingga tidak ada lagi gunanya melawan di detik-detik akhir. Sama halnya orang yang cela, di mata sebagian orang tetaplah cela meskipun orang tersebut telah berubah.

Piknik keluarga mampu mencairkan suasana di dalam keluarga dan memberikan kedekatan terhadap masing-masing angota keluarga. dok. finansial.com.
Piknik keluarga mampu mencairkan suasana di dalam keluarga dan memberikan kedekatan terhadap masing-masing angota keluarga. dok. finansial.com.

Pendidikan karakter dan mental sangat diperlukan sejak dini. Dibentuk menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan bertanggung jawab, serta mampu bersikap sebagaimana norma-norma yang berlaku.

Peranan guru cukup sulit jika harus berindak sendiri, karena anak-anak bersikap manis di depan namun lain halnya di belakang. Peranan orang tua menjadi vital sebagai lapisan utama dalam membentuk karakter dan sikap anak. Guru juga dituntut perlu berkoordinasi dengan anak-anak dalam mencari tahu hal-hal mengenai karakter satu satu muridnya. Bahkan kordinasi dengan orang tua juga sangat diperlukan.

Namun ada catatan kecil yang perlu juga diperhatikan. Sebagai guru BK dan orang tua jangan langsung bersikap menyalahkan hal yang memang salah, namun berlakulah untuk memberikan kesadaran diri dan sikap sebagaimana harus melakukan yang baik. Selain pelaku merasa benci dan dendam, korban harus ditanamkan dan diajarkan berperilaku kuat mental dan berpendirian teguh.

Ada satu kasus yang menimpa teman saya, dia tidak punya teman karena pendiam dan katanya aneh. Dia telah mengadu ke orang tua dan orang tuanya menyampaikan keluhan anaknya kepada guru BK. Tapi sayangnya guru BK tidak menemukan hal aneh karena dalam mencari informasi, semua pelaku dan saksi (teman sekelas) mengatakan semua baik-baik saja. Bahkan ada yang bersikap memberi semangat anak tersebut di depan guru BK, ada yang menepuk pundak anak tersebut, sampai ada yang bersikap bijak dan mengatakan "Nanti makan bareng aja sini, atau duduk sini aja ya bareng kita".

Setelah kejadian tersebut justru si korban perundungan semakin dijauhi teman-temannya. Semua benci dan anti terhadap dirinya. Sampai satu waktu anak tersebut foto bareng di kelas tetapi ramai-ramai mengaburkan (blur) wajah si korban. Bukan membaik tetapi semakin membuat stres si anak hingga akhirnya anak tersebut tidak mau sekolah.

Tentu ini menjadi hal rumit bagi orang tua dan pihak sekolah. Pihak sekolah yang sedang berusaha membentuk manusia cerdas, namun harus juga mendidik mental dan karakter anak. Orang tua yang berusaha memberikan kenyamanan dan keamanan si anak, tetapi juga harus intensif mendidik karakter si anak.

Jika dahulu keluarga pekerja (ayah dan ibu kerja) bisa menyerahkan urusan anak ke asisten rumah tangga atau pengasuh, maka sekarang tidak bisa sepenuhnya seperti itu. Memenuhi kebutuhan anak memang penting, tetapi membentuk anak yang tangguh, kuat, cerdas, dan bermental baja menjadi prioritas juga bagi orang tua. 

Perhatian itu penting, mengingat segala hal di depan mata saat ini lebih mudah disembunyikan. Foto, sosial media, pergaulan masa kini bagi sebagian besar anak adalah rahasia, maka orang tua tidak bisa sekadar cari tahu dengan mudah. Dengan bertanya saja, si anak belum tentu mau terbuka atau jujur tentang dirinya. Apa lagi jika orang tua dinilai sosok menakutkan dan kaku alias tidak karib.

Kurikulum pendidikan di Indonesia sejak 2013 sudah mengacu pada kurikulum yang isinya berbasis karakter dan agama. Namun rasanya masih belum cukup untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan mental. Usaha Bapak Mendikbud saat ini yaitu Nadiem Makarim untuk membentuk karakter semoga saja memberikan titik permasalahan yang sudah terjadi sejak lama sekali.

Salam pendidikan Indonesia.

Catatan:

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelekkan suatu instansi atau lembaga pendidikan tertentu. Mengenai hal-hal yang dipaparkan adalah murni kepada suatu oknum saja tidak kepada instansi atau lembaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun