Dari hal-hal yang diceritakan tersebut saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang menjadi orang yang lemah dan tidak punya pendirian adalah hal yang kelu. Saya dan anak-anak korban perundungan punya kesamaan yakni tidak mampu bersosialisi dan bermental sangat lemah. Ketika ditindas, tidak mampu mengatasinya dengan kata-kata bijak atau bersikap bijak serta punya pendirian. Sikap mengalah justru mendarah daging dan menjadi kebahagiaan bagi pelaku perundungan.
Ketika seorang korban perundungan berusaha melawan, label pecundang sudah menjadi cap di mata pelaku, sehingga tidak ada lagi gunanya melawan di detik-detik akhir. Sama halnya orang yang cela, di mata sebagian orang tetaplah cela meskipun orang tersebut telah berubah.
Pendidikan karakter dan mental sangat diperlukan sejak dini. Dibentuk menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan bertanggung jawab, serta mampu bersikap sebagaimana norma-norma yang berlaku.
Peranan guru cukup sulit jika harus berindak sendiri, karena anak-anak bersikap manis di depan namun lain halnya di belakang. Peranan orang tua menjadi vital sebagai lapisan utama dalam membentuk karakter dan sikap anak. Guru juga dituntut perlu berkoordinasi dengan anak-anak dalam mencari tahu hal-hal mengenai karakter satu satu muridnya. Bahkan kordinasi dengan orang tua juga sangat diperlukan.
Namun ada catatan kecil yang perlu juga diperhatikan. Sebagai guru BK dan orang tua jangan langsung bersikap menyalahkan hal yang memang salah, namun berlakulah untuk memberikan kesadaran diri dan sikap sebagaimana harus melakukan yang baik. Selain pelaku merasa benci dan dendam, korban harus ditanamkan dan diajarkan berperilaku kuat mental dan berpendirian teguh.
Ada satu kasus yang menimpa teman saya, dia tidak punya teman karena pendiam dan katanya aneh. Dia telah mengadu ke orang tua dan orang tuanya menyampaikan keluhan anaknya kepada guru BK. Tapi sayangnya guru BK tidak menemukan hal aneh karena dalam mencari informasi, semua pelaku dan saksi (teman sekelas) mengatakan semua baik-baik saja. Bahkan ada yang bersikap memberi semangat anak tersebut di depan guru BK, ada yang menepuk pundak anak tersebut, sampai ada yang bersikap bijak dan mengatakan "Nanti makan bareng aja sini, atau duduk sini aja ya bareng kita".
Setelah kejadian tersebut justru si korban perundungan semakin dijauhi teman-temannya. Semua benci dan anti terhadap dirinya. Sampai satu waktu anak tersebut foto bareng di kelas tetapi ramai-ramai mengaburkan (blur) wajah si korban. Bukan membaik tetapi semakin membuat stres si anak hingga akhirnya anak tersebut tidak mau sekolah.
Tentu ini menjadi hal rumit bagi orang tua dan pihak sekolah. Pihak sekolah yang sedang berusaha membentuk manusia cerdas, namun harus juga mendidik mental dan karakter anak. Orang tua yang berusaha memberikan kenyamanan dan keamanan si anak, tetapi juga harus intensif mendidik karakter si anak.
Jika dahulu keluarga pekerja (ayah dan ibu kerja) bisa menyerahkan urusan anak ke asisten rumah tangga atau pengasuh, maka sekarang tidak bisa sepenuhnya seperti itu. Memenuhi kebutuhan anak memang penting, tetapi membentuk anak yang tangguh, kuat, cerdas, dan bermental baja menjadi prioritas juga bagi orang tua.Â
Perhatian itu penting, mengingat segala hal di depan mata saat ini lebih mudah disembunyikan. Foto, sosial media, pergaulan masa kini bagi sebagian besar anak adalah rahasia, maka orang tua tidak bisa sekadar cari tahu dengan mudah. Dengan bertanya saja, si anak belum tentu mau terbuka atau jujur tentang dirinya. Apa lagi jika orang tua dinilai sosok menakutkan dan kaku alias tidak karib.