Mohon tunggu...
Kristiyanto
Kristiyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulang Prodi Akuntansi

Seorang yang Sedang mencari jati diri dan jodoh sejati, dan sedang mencoba untuk belajar menulis sebuah artikel , hobinya makan dan mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Lentera di Bawah Awan

13 September 2024   09:14 Diperbarui: 14 September 2024   23:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinopsis  

Dalam gemuruh hujan yang jatuh tanpa henti, ada sebuah kisah yang tersimpan di antara kelopak bunga dan bayangan malam. "Lentera di Bawah Awan" adalah sebuah cerita yang terinspirasi dari melodi mendalam para penyair, menelusuri perjalanan jiwa yang terombang-ambing dalam harapan, kehilangan, dan kerinduan yang tak terucapkan 

Alana, seorang wanita dengan mimpi yang terkubur dalam kebisingan dunia, menemukan dirinya terjebak di antara cahaya dan kegelapan, masa lalu yang membayanginya seperti awan hitam. Di tengah kota yang gemuruh dengan suara kendaraan dan tatapan dingin, ia bertemu Arga, seorang musisi jalanan dengan gitar tua dan mata yang menyimpan rahasia alam semesta.

Melalui denting-denting melodi yang mengalir dari jari-jarinya, Alana menemukan kembali rasa yang pernah hilang—rasa hidup yang penuh warna dan nada. Namun, seperti lagu-lagu Juicy Lucy yang mengalun lembut namun penuh makna tersembunyi, hubungan mereka tak pernah sederhana. Di bawah langit malam yang kelabu, mereka saling mencari, saling mendekap, namun juga tersesat dalam labirin perasaan. 

Setiap langkah yang mereka ambil, setiap nada yang menggetarkan udara, adalah bayangan dari jiwa-jiwa yang mencari terang di bawah awan. Ini adalah kisah tentang cinta yang lahir dari luka, tentang keberanian untuk mencintai lagi meski hati telah retak ribuan kali, dan tentang cahaya kecil yang selalu ada, meski tersembunyi di balik kegelapan. "Lentera di Bawah Awan" membawa pembaca menyusuri emosi yang dalam dan alunan hidup yang penuh melodi, membiarkan mereka merasakan denting hati yang bergetar di antara cinta, keputusasaan, dan harapan yang tak pernah mati.  

Chapter 1

"Simfoni yang Terluka"

Hujan turun tanpa aba-aba, menciptakan irama yang menggema di jalanan sepi. Setiap tetesan air seperti menyimpan cerita lama yang tak pernah selesai diucapkan. Di balik jendela kaca yang berembun, Alana duduk termenung, tatapannya kosong, mengikuti jejak-jejak air yang berlarian. Hujan selalu menjadi temannya sejak dulu—dia adalah saksi dari tangis yang tak pernah terucap, dan kerinduan yang selalu ia pendam dalam-dalam. 

Di sudut kafe kecil itu, udara dingin bercampur dengan aroma kopi yang pekat. Alana menarik nafas panjang, mencoba meredam kekosongan yang seolah melekat di dadanya. Kertas-kertas di hadapannya bertebaran tanpa arah, seperti serpihan hidupnya yang tercecer. Ia pernah bermimpi menjadi penulis—seorang pencerita yang bisa mengungkap rahasia-rahasia dunia dengan kata-kata. Tapi sekarang, setiap kata yang muncul hanyalah bayang-bayang kosong dari apa yang dulu ia rasakan. Kata-kata itu hilang bersamaan dengan seseorang yang pergi. 

Sampai sebuah nada lembut mulai mengalun dari luar kafe. Alana menoleh perlahan, seperti terhipnotis oleh suara yang terasa asing namun begitu akrab di hatinya. Di bawah atap kecil, seorang pria berdiri dengan gitar tua, memainkan melodi yang menyayat hati. Hujan turun di sekitar pria itu, namun ia tampak tak peduli, seolah-olah setiap tetes hujan adalah bagian dari simfoni yang sedang ia mainkan. 

Alana tak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu, dari caranya memetik senar gitar, seolah setiap nada adalah perasaan yang tak terucap. Musik itu terasa seperti bicara langsung ke dalam jiwanya, memecah sunyi yang selama ini ia peluk erat. Lagu itu bukan sekadar melodi; ia seperti cerita yang telah lama hilang, dan kini kembali untuk mengingatkan Alana tentang apa yang pernah ia rasakan—dan apa yang telah ia lupakan. 

Tanpa sadar, Alana melangkah keluar kafe, membiarkan hujan membasahi kulitnya yang dingin. Ia mendekat ke arah pria itu, setiap langkahnya dipandu oleh melodi yang semakin menyesakkan dada. Ketika pria itu menoleh, mata mereka bertemu—dua pasang mata yang menyimpan rahasia sendiri-sendiri, dua jiwa yang terluka oleh cinta dan waktu 

“Lagu yang indah,” ucap Alana, suaranya hampir tenggelam oleh hujan. 

Pria itu tersenyum samar, senyumnya penuh misteri. “Lagu ini bukan untuk didengar, tapi untuk dirasakan.” 

Alana terdiam. Kata-kata pria itu seperti memukulnya tepat di tempat paling dalam, tempat di mana rasa sakit dan kenangan bertemu. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri di sana, di bawah hujan yang tak kunjung reda, mendengarkan melodi yang menembus setiap lapisan hatinya. 

Dan saat itulah Alana menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ada sesuatu dalam musik pria itu yang membangkitkan kembali api kecil dalam dirinya, sesuatu yang telah lama ia padamkan. Di bawah langit kelabu, dengan hujan yang terus mengguyur, Alana tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan membawa hatinya kembali ke tempat di mana cahaya dan kegelapan saling bertemu.

Di sanalah, di bawah awan, lentera hatinya mulai menyala kembali.  

Chapter 2

"Nada yang Tak Pernah Usai"

Pagi menyambut dengan langit mendung, seperti enggan menampilkan sinar matahari. Alana duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Suara hujan semalam masih terngiang di telinganya, seolah melodi itu terus mengalun di udara—tak mau pergi. Dan bersamaan dengan nada itu, wajah pria yang ditemuinya semalam berputar di pikirannya, misterius namun penuh makna.

Setiap tetes hujan pagi ini mengingatkannya pada kata-kata yang diucapkan pria itu: “Lagu ini bukan untuk didengar, tapi untuk dirasakan.” Alana tak bisa melupakannya. Kalimat itu berulang-ulang menghantui pikirannya, seperti mantra yang terus memanggil jiwa yang terluka. Ada sesuatu di balik kalimat itu, sesuatu yang ia rasakan tapi tak bisa ia mengerti sepenuhnya.

Alana mengambil secarik kertas di meja. Tangannya bergetar sedikit saat mulai menulis—sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Kata-kata mulai mengalir, meski terputus-putus. Tapi kali ini, mereka tidak kosong. Mereka dipenuhi dengan perasaan yang ia pendam selama ini.

Saat tangannya menari di atas kertas, ingatannya melayang pada malam-malam penuh kesendirian, pada lagu-lagu yang dulu ia ciptakan namun kini terkubur dalam kenangan. Musik selalu menjadi bahasanya, namun sejak kehilangan seseorang yang ia cintai, nada-nada itu berubah jadi sunyi.

Tiba-tiba, kalimat itu muncul dalam pikirannya, kuat dan jelas: “Ada melodi yang tak pernah usai.” Itu adalah tagline yang kini melekat di benaknya—seperti sebuah janji tersembunyi dalam musik yang ia dengar dari pria itu. Melodi yang ia pikir sudah mati ternyata masih ada, masih bernafas di antara setiap detak jantung dan hela nafasnya.

Di tengah renungannya, Alana menyadari sesuatu. Kehidupan, seperti musik, tak selalu sempurna. Ada nada yang salah, ada irama yang terputus. Tapi justru di situlah keindahannya. Kehidupan adalah melodi yang tak pernah usai, sebuah lagu yang terus berlanjut meski penuh dengan patah hati, keraguan, dan kerinduan yang mendalam.

Dengan semangat yang baru, Alana menutup bukunya dan memutuskan untuk kembali ke tempat itu—tempat di mana ia mendengar melodi yang menggetarkan hatinya. Ia tahu, pria itu adalah kunci untuk menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. "Di balik setiap luka, ada sebuah nada yang tersimpan. Dan mungkin, nada itulah yang akan membawa kita kembali ke cahaya."

Dengan langkah pasti, ia berjalan keluar, meninggalkan kesendiriannya, mengikuti irama yang perlahan mengembalikannya pada kehidupan yang penuh warna.

“Ada melodi yang tak pernah usai.

 

Chapter 3

"Di Antara Dua Nada"

Suara langkah kaki Alana terdengar pelan di trotoar basah yang masih dibalut sisa hujan semalam. Pagi ini, ia berjalan ke arah yang sama, menuju tempat di mana ia pertama kali bertemu pria dengan gitar tua itu. Ada dorongan tak terlihat yang menariknya kembali, seolah ada nada yang belum selesai dimainkan. Di hatinya, ia terus mengulang kata-kata yang semakin menjadi mantranya: "Ada melodi yang tak pernah usai."

Setibanya di sana, kafe kecil itu terlihat sunyi, namun sudut jalan yang ia cari kosong. Pria itu tidak ada. Hanya ada udara yang dingin dan jalanan yang sepi. Alana berdiri di sana beberapa saat, mencoba mendengarkan, berharap suara gitar itu muncul lagi. Tapi yang terdengar hanyalah bunyi kehidupan yang biasa—kendaraan melintas, suara langkah kaki orang-orang yang lewat. Seolah malam yang lalu hanya mimpi yang sekarang memudar.

Tepat ketika ia akan beranjak pergi, sebuah suara lembut terdengar dari sudut lain jalan. Tidak jauh dari sana, di sebuah taman kecil, melodi gitar yang sama mengalun, meski kali ini lebih halus, hampir seperti bisikan. Alana merasa hatinya bergetar. Ia mengikuti suara itu, langkahnya lebih cepat dari sebelumnya, seolah takut melodi itu akan lenyap jika ia terlambat.

Di bawah pohon besar yang rindang, di atas bangku taman, pria itu duduk, kembali memainkan gitarnya dengan tatapan yang tenang namun dalam. Alana menghampiri dengan hati-hati, mencoba menahan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Ia ingin bicara, namun entah kenapa kata-kata sulit keluar.

Pria itu menoleh, menyadari kehadirannya. Senyum tipis muncul di wajahnya, seakan mengerti kenapa Alana kembali tanpa harus bertanya. “Kamu datang lagi,” ucapnya sambil memetik senar gitar, kali ini dengan nada yang lebih cerah.

Alana hanya mengangguk, merasa jantungnya berdetak cepat. “Lagu itu… sepertinya aku pernah mendengarnya sebelumnya,” gumamnya, meski ia sendiri tak yakin mengapa ia mengucapkannya.

Pria itu memandangnya sejenak, lalu menghela napas. “Setiap orang punya lagu dalam hidupnya. Lagu yang unik, yang hanya mereka yang bisa dengar. Kadang lagu itu terkubur oleh kebisingan, oleh kehilangan… Tapi melodi itu tak pernah hilang. Hanya menunggu untuk ditemukan kembali.”

Alana terdiam, meresapi kata-kata itu. Ia memikirkan semua yang hilang dalam hidupnya—cinta yang pergi, impian yang terputus, dan lagu-lagu yang dulu ia tulis tapi kini telah sunyi. Mungkin, pria ini benar. Mungkin melodi hidupnya masih ada, hanya terpendam oleh luka yang belum sembuh.

“Setiap orang punya lagu dalam hidupnya…” kalimat itu terus berulang di pikirannya. Pria itu seolah menyentuh sesuatu yang paling dalam dalam dirinya—sebuah perasaan yang selama ini ia coba abaikan.

“Kenapa kau memainkan lagu itu?” tanya Alana tiba-tiba, suara penuh rasa ingin tahu.

Pria itu berhenti sejenak, pandangannya jauh. “Karena aku juga pernah kehilangan nadaku sendiri,” jawabnya perlahan. “Dan seperti kamu, aku mencarinya kembali.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin pagi mengalir di antara mereka, membawa suara-suara halus yang tak terdengar. Ada sesuatu yang mengikat mereka, bukan hanya karena musik, tapi karena mereka sama-sama memahami apa artinya kehilangan—dan berusaha menemukan jalan kembali.

Pria itu memetik gitarnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih hangat. "Tidak ada yang benar-benar hilang," katanya pelan. "Hanya tersembunyi, menunggu untuk ditemukan kembali."

Alana merasa sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Perlahan, ia mulai mengingat—bukan hanya rasa sakit, tetapi juga mimpi-mimpi yang dulu membuatnya hidup. Ia tahu, di balik segala luka, di antara dua nada yang berbeda, ada sebuah harmoni yang menunggu untuk dimainkan.

“Setiap orang punya lagu dalam hidupnya. Terkadang, melodi itu hanya menunggu untuk ditemukan kembali.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun