Saat tangannya menari di atas kertas, ingatannya melayang pada malam-malam penuh kesendirian, pada lagu-lagu yang dulu ia ciptakan namun kini terkubur dalam kenangan. Musik selalu menjadi bahasanya, namun sejak kehilangan seseorang yang ia cintai, nada-nada itu berubah jadi sunyi.
Tiba-tiba, kalimat itu muncul dalam pikirannya, kuat dan jelas: “Ada melodi yang tak pernah usai.” Itu adalah tagline yang kini melekat di benaknya—seperti sebuah janji tersembunyi dalam musik yang ia dengar dari pria itu. Melodi yang ia pikir sudah mati ternyata masih ada, masih bernafas di antara setiap detak jantung dan hela nafasnya.
Di tengah renungannya, Alana menyadari sesuatu. Kehidupan, seperti musik, tak selalu sempurna. Ada nada yang salah, ada irama yang terputus. Tapi justru di situlah keindahannya. Kehidupan adalah melodi yang tak pernah usai, sebuah lagu yang terus berlanjut meski penuh dengan patah hati, keraguan, dan kerinduan yang mendalam.
Dengan semangat yang baru, Alana menutup bukunya dan memutuskan untuk kembali ke tempat itu—tempat di mana ia mendengar melodi yang menggetarkan hatinya. Ia tahu, pria itu adalah kunci untuk menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. "Di balik setiap luka, ada sebuah nada yang tersimpan. Dan mungkin, nada itulah yang akan membawa kita kembali ke cahaya."
Dengan langkah pasti, ia berjalan keluar, meninggalkan kesendiriannya, mengikuti irama yang perlahan mengembalikannya pada kehidupan yang penuh warna.
“Ada melodi yang tak pernah usai.”
Chapter 3
"Di Antara Dua Nada"
Suara langkah kaki Alana terdengar pelan di trotoar basah yang masih dibalut sisa hujan semalam. Pagi ini, ia berjalan ke arah yang sama, menuju tempat di mana ia pertama kali bertemu pria dengan gitar tua itu. Ada dorongan tak terlihat yang menariknya kembali, seolah ada nada yang belum selesai dimainkan. Di hatinya, ia terus mengulang kata-kata yang semakin menjadi mantranya: "Ada melodi yang tak pernah usai."
Setibanya di sana, kafe kecil itu terlihat sunyi, namun sudut jalan yang ia cari kosong. Pria itu tidak ada. Hanya ada udara yang dingin dan jalanan yang sepi. Alana berdiri di sana beberapa saat, mencoba mendengarkan, berharap suara gitar itu muncul lagi. Tapi yang terdengar hanyalah bunyi kehidupan yang biasa—kendaraan melintas, suara langkah kaki orang-orang yang lewat. Seolah malam yang lalu hanya mimpi yang sekarang memudar.