Mohon tunggu...
Kristiyanto
Kristiyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulang Prodi Akuntansi

Seorang yang Sedang mencari jati diri dan jodoh sejati, dan sedang mencoba untuk belajar menulis sebuah artikel , hobinya makan dan mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Lentera di Bawah Awan

13 September 2024   09:14 Diperbarui: 14 September 2024   23:25 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa sadar, Alana melangkah keluar kafe, membiarkan hujan membasahi kulitnya yang dingin. Ia mendekat ke arah pria itu, setiap langkahnya dipandu oleh melodi yang semakin menyesakkan dada. Ketika pria itu menoleh, mata mereka bertemu—dua pasang mata yang menyimpan rahasia sendiri-sendiri, dua jiwa yang terluka oleh cinta dan waktu 

“Lagu yang indah,” ucap Alana, suaranya hampir tenggelam oleh hujan. 

Pria itu tersenyum samar, senyumnya penuh misteri. “Lagu ini bukan untuk didengar, tapi untuk dirasakan.” 

Alana terdiam. Kata-kata pria itu seperti memukulnya tepat di tempat paling dalam, tempat di mana rasa sakit dan kenangan bertemu. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri di sana, di bawah hujan yang tak kunjung reda, mendengarkan melodi yang menembus setiap lapisan hatinya. 

Dan saat itulah Alana menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ada sesuatu dalam musik pria itu yang membangkitkan kembali api kecil dalam dirinya, sesuatu yang telah lama ia padamkan. Di bawah langit kelabu, dengan hujan yang terus mengguyur, Alana tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan membawa hatinya kembali ke tempat di mana cahaya dan kegelapan saling bertemu.

Di sanalah, di bawah awan, lentera hatinya mulai menyala kembali.  

Chapter 2

"Nada yang Tak Pernah Usai"

Pagi menyambut dengan langit mendung, seperti enggan menampilkan sinar matahari. Alana duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Suara hujan semalam masih terngiang di telinganya, seolah melodi itu terus mengalun di udara—tak mau pergi. Dan bersamaan dengan nada itu, wajah pria yang ditemuinya semalam berputar di pikirannya, misterius namun penuh makna.

Setiap tetes hujan pagi ini mengingatkannya pada kata-kata yang diucapkan pria itu: “Lagu ini bukan untuk didengar, tapi untuk dirasakan.” Alana tak bisa melupakannya. Kalimat itu berulang-ulang menghantui pikirannya, seperti mantra yang terus memanggil jiwa yang terluka. Ada sesuatu di balik kalimat itu, sesuatu yang ia rasakan tapi tak bisa ia mengerti sepenuhnya.

Alana mengambil secarik kertas di meja. Tangannya bergetar sedikit saat mulai menulis—sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Kata-kata mulai mengalir, meski terputus-putus. Tapi kali ini, mereka tidak kosong. Mereka dipenuhi dengan perasaan yang ia pendam selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun