Mohon tunggu...
Heart Light
Heart Light Mohon Tunggu... Mahasiswa - Heart Light🍓

Simple girls 🌷🍀 🌷and be my self Life is Love❤️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Rembulan

10 Maret 2023   22:00 Diperbarui: 10 Maret 2023   21:57 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : id.lovepik.com

Malam itu, rembulan jadi saksi perpisahan dua insan. Kami dianggap pasangan ideal bukan karena tampan dan cantik, melainkan selalu kompak. Berjumpa ketika ospek, saat dia menawarkan diri menggantikanku dihukum. Perpisahan dengannya bukan hal yang mudah bagiku begitu juga baginya. Bukan hanya kehilangan kekasih melainkan sosok kakak serta sahabat.


Hari ini adalah pengumuman penerimaan  aparatur sipil negara. Hatiku gelisah, berharap tak lolos. Tapi itu akan mengecewakan kedua orangtua. Ayah sangat menginginkan putri satu-satunya menjadi penerusnya, mengabdikan ilmu bagi bangsa dan negara ini. 

Bila kedua kakak laki-lakiku bisa bebas memilih jurusan serta cita-cita yang mereka mau tapi tidak denganku. Mulai dari kecil hingga perguruan tinggi, selalu diarahkan dengan apa yang mereka minati. Padahal aku senang menyanyi dan suka melukis. Bertemu dialah, aku bisa jadi diri sendiri. Dia sering menemaniku lomba maupun manggung bila ada acara kampus.

"Gimana Kate, kamu lulus?" pertanyaan ayah membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum sambil berkata, "belum ada pengumuman, yah." 

Untunglah ayah tak curiga dengan alibiku. Tak berselang lama, ayah bercengkrama asik di telepon. Ternyata kakak tertua mengucapkan selamat atas diterimanya aku menjadi ASN. Aku hanya bengong dengan pikiran bercampur aduk.

Setelah beberapa hari melewati proses adminitrasi. Seminggu kemudian, aku bersiap mengikuti pelatihan di ibukota. Sungguh hal baru bagiku, bertemu dengan orang-orang baru. Tentunya ini harapan kedua orangtuaku agar aku mendapat pengganti Aril.

Kami semua di asrama dengan peraturan yang ada. Kami dididik untuk disiplin serta mengikuti setiap materi dan pelatihan dengan baik.  

Tiga hari berlalu, pagi itu mataku berkunang-kunang, kepala terasa pusing, tapi kukuatkan untuk mengikuti apel. Alhasil, aku pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.

 "Kate, kamu pasti sembuh ... yang sabar ya, " suara itu tak asing di telinga. Namun, aku tak bisa membuka mata, rasanya berat sekali.

Setelah mendapat cairan infus, kini aku bisa membuka mata walaupun berat dan badan seperti patah-patah. Ternyata aku di ruangan,  tak ada siapapun. Tak sengaja mataku memandang bouket tulip di samping meja. 

"Cepat sembuh ya." isi kartu ucapan itu

Aku hanya bisa menangis, hingga suara ketukan pintu menghentikan.

Seorang pria tinggi, berkacamata, menggunakan masker serta mengenakan jas putih mendekatiku.

"Bagaimana kabarmu hari ini, Kate? " tanya pria yang sepertinya kukenal.

Aku hanya menggeleng kepala, terdiam. Kemudian dia melepas masker dan kacamatanya. Aku seperti punya teman di ruangan yang khas anteseptan ini.

"Arill ...  Arilll, " kupanggil namanya berulang kali tanda tak percaya. 

Dia tersenyum sambil mengusap kepalaku.


Tiga tahun kami kehilangan kontak walaupun hampir setahun kami masih berkomunikasi setelah putus. Aril telah menyelesaikan spesialis penyakit dalam di ibukota dan bekerja di RS ini. Sedangkan aku selalu mencari alasan untuk melanjutkan spesialis, aku lebih senang bekerja di sebuah klinik supaya bisa menyalurkan hobiku. Dia masih sama seperti dulu serta perhatiannya terhadapku.

Seminggu menjadi seorang pasien dan ditangani oleh dokter Aril. Aku didiagnosa demam berdarah, namun setelah hasil trombosit serta kondisi fisik baik, aku kembali ke asrama.

"Jalani dengan sukacita, kamu enggak sendirian," itu kata terakhir yang kuingat, ketika aku meninggalkan Rumah Sakit.

Kami tak pernah bertemu walaupun sekota. Sekali, dia mengirimkan paket makanan serta boneka anjing sebagai teman katanya. Seperti menemukan duniaku kembali yang telah hilang. 

Tak terasa, hari ini waktunya untuk kembali pulang. Semua bergembira dan tertawa riang di dalam perjalanan, begitu pun dengan diriku.

Saat sampai depan rumah, terlihat sebuah mobil Pajero. Mungkin tamu ayah, aku menyeret koper melewati pintu belakang. Namun belum jauh, ibu memanggil untuk lewat depan. Aku malas dengan basa-basi karena badan sudah lelah.

Ketika di depan pintu masuk, aku terkejut, "Aril ..." sembari tak percaya. 

Ayah dan ibu tersenyum, kemudian menyuruhku duduk. Kami bercengkrama bersama, hingga mereka meninggalkan kami berdua.

"Katerin ... maaf, bila perpisahan kita itu menyakitkan buatmu. Ketika itu, aku tidak jujur denganmu untuk mengambil spesialist di ibukota yang merupakan permintaan papa. Di saat yang sama juga, ortumu menanyakan tentang  hubungan kita serta ke depannya bagaimana. Aku bercerita dan mereka mendukung agar aku melanjutkan sekolah. Yang menjadi kebimbanganku saat itu, aku tidak bisa menahanmu untuk menunggu selama beberapa tahun. Maka aku memutuskan untuk  mengakhiri hubungan dengan alasan yang sudah aku skenario. Mungkin ini menyakitkan bagimu dan tak adil.

Maafkan aku Katerin. Jujur, aku sangat tersiksa dengan semua ini. Dan aku tidak bisa membohongi diriku bahwa hanya kamu wanita yang selalu ada di dalam hati sampai saat ini, " ucap Aril dengan gaya bicara yang masih lugu seperti dulu.

Mukaku memerah sembari menangis terisak. "Kenapa kamu tega berbuat itu. Kenapa kamu tidak berkata yang sebenarnya. Padahal aku mau menunggumu serta bertahan dengan keterpisahan jarak, " kataku sambil mengusap airmata di pipi. 

"Tapi aku juga enggak bisa membohongi hatiku bahwa rasa sayangku tak berkurang sedikitpun terhadapmu."

Aril memegang tanganku dan mengatakan apakah mau menjadi pendamping hidupnya. Aku hanya tersipu malu sambil mengangguk.

Rembulan menjadi saksi cinta kami kembali. Rasa cinta yang tak lekang oleh waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun