Setelah mendapat cairan infus, kini aku bisa membuka mata walaupun berat dan badan seperti patah-patah. Ternyata aku di ruangan, tak ada siapapun. Tak sengaja mataku memandang bouket tulip di samping meja.
"Cepat sembuh ya." isi kartu ucapan itu
Aku hanya bisa menangis, hingga suara ketukan pintu menghentikan.
Seorang pria tinggi, berkacamata, menggunakan masker serta mengenakan jas putih mendekatiku.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Kate? " tanya pria yang sepertinya kukenal.
Aku hanya menggeleng kepala, terdiam. Kemudian dia melepas masker dan kacamatanya. Aku seperti punya teman di ruangan yang khas anteseptan ini.
"Arill ... Arilll, " kupanggil namanya berulang kali tanda tak percaya.
Dia tersenyum sambil mengusap kepalaku.
Tiga tahun kami kehilangan kontak walaupun hampir setahun kami masih berkomunikasi setelah putus. Aril telah menyelesaikan spesialis penyakit dalam di ibukota dan bekerja di RS ini. Sedangkan aku selalu mencari alasan untuk melanjutkan spesialis, aku lebih senang bekerja di sebuah klinik supaya bisa menyalurkan hobiku. Dia masih sama seperti dulu serta perhatiannya terhadapku.
Seminggu menjadi seorang pasien dan ditangani oleh dokter Aril. Aku didiagnosa demam berdarah, namun setelah hasil trombosit serta kondisi fisik baik, aku kembali ke asrama.
"Jalani dengan sukacita, kamu enggak sendirian," itu kata terakhir yang kuingat, ketika aku meninggalkan Rumah Sakit.