TEPAT di tanggal 01 Juli 2001, seorang perempuan bernama Lusi dengan tujuh orang laki-laki pergi melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Berbeda dari teman lainnya yang menjalani PKL di gereja sekitar kampus, Lusi dan ketujuh temannya ditentukan melalui rapat senat, untuk pergi ke gereja yang ada di kota Yogyakarta. Mau tidak mau, mereka harus menjalankannya sebagai syarat untuk lulus di semester 8.
Pergi bersama dengan sahabat yang semuanya laki-laki bukanlah hal yang mudah bagi Lusi. Apalagi Lusi ia seorang yang berkarakter pendiam, tentunya pergi merantau membuatnya takut dan cemas, ditambah lagi ia belum pernah jauh dari kedua orang tuanya.
Sesampainya di Yogyakarta, Lusi langsung memberi kabar kepada orang tuanya bahwa ia tiba dengan selamat. Karena Yogyakarta adalah tempat yang pertama kali dikunjunginya di luar kota. Akhirnya ia dan semua sahabatnya berpencar untuk menemui gereja tujuan surat pengantar mereka. Selama PKL, mereka mencoba menyalurkan ilmunya disana dan syukurlah ia pun di sambut dengan baik pimpinan gereja dan ia tinggal bersama dengan pengerja gereja di sebuah komplek yang bernama Yeni.
Dalam yakinnya Lusi bergumam: " awal yang indah yes aku mulai hari ini."
Di satu sore, Lusi mulai kebiasaannya yang gemar jogging di sekitaran kompleks gereja. Ia pergi bersama Yeni dan kedua putri pendeta tempatnya melayani. Seperti kebiasaan di zaman milenial ini, selesai olahraga mereka langsung "selfie"
Crek... bunyi pertama....kedua hingga kelima kali" Lusi dan temannya akhirnya meng-upload di story whatsapp pribadinya. Usai berolahraga mereka melakukan kebersihan.
Di tengah nikmatnya malam, mereka yang sedang menggunakan ponselnya, tiba-tiba mendengar ada sebuah pesan yang masuk ke akun whatsapp pribadi Yeni dari salah seorang anggota jemaat bernama Rendi. Ia mengomentari foto bersama dengan Lusi.
"Siapa itu kak, yang foto bersamamu?" tanya Rendi.
"Oh.. dia mahasiswa theologi yang PKL di gereja kita, jawab Yeni
"Oh ya... kok bisa ada perempuan yang PKL di gereja kita kak, biasanya cowok karena kan Medan ke Yogyakarta itu jauh." sahut Rendi.
"Ya itu karena utusan kampus untuk melaksanakan PKL di gereja kita." balas Yeni
"oh begitu kak, namanya siapa kak, kalau boleh tau?"
"Lusi" sahut Yeni.
"Kira-kira aku boleh minta kontak hp nya gak ya kak? tanya Rendi lagi.
"Bentar ya.. aku tanyakan padanya langsung, harus izin dulu bro..."
"Oke kak siap menanti" balas Rendi.
Lalu, Yeni menanyakan pada Lusi bahwa ada seorang jemaat yang ingin berkenalan dengannya. Ia tidak tinggal di Yogyakarta karena mendapat pekerjaan di kota Jakarta.
"Lus..." sapa Yeni
"Ou kak...." sahut Lusi
"Gimana nih ada jemaat yang mau minta kontakmu namanya Rendi, dia udah kerja dan gak tinggal di Yogya karena dapat kerja di Jakarta, anaknya sih baik dek, tapi itu tergantung padamu sih dek" papar Yeni
Lusi dengan karakter pendiamnya, sempat berpikir banyak untuk memberikan kontak pada seorang laki-laki yang belum dikenalnya sama sekali. Tetapi dengan pertimbangan karena takut dianggap sombong, akhirnya ia memutuskan untuk memberinya. Akhirnya Yeni mengirimkannya pada Rendi.
Keesokan harinya Rendi mulai mengirim pesan melalui whatsapp. "hai dek...ini bang Rendi, aku salah satu jemaat di gereja tempat kamu melayani sekarang. Salam kenal dan selamat melayani dek..."
"Oke, bang... salam kenal" balas Lusi dengan cuek.
"Oh ya berapa lama kamu PKL di gereja kita?" balas Rendi lagi.
"Sebulan bang." sahutnya
"Oh sebentar ya..." balas Rendi
"Iya bang" sahutnya
"Kok mau ke Yogyakarta dek? kan jauh banget tuh dari Medan."
"Iya bang karena hasil rapat senat kampus yang mengharuskannya. Tapi by the way, anyway, busway, abang kepo amat sih nanya-nanya." ketus Lusi
"Karena penasaran dik, kok bisa seorang perempuan yang masih mahasiswa PKL di gereja kami biasanya sih cowok" jawab Rendi
"Oh iyanya bang. Okelah" balas Yeni dengan singkat.
"Selamat melayani ya dik" kata Rendi.
Hari berganti hari, Lusi selalu mendapat sapaan selamat pagi dan selamat melayani dari Rendi dan suasana hati Lusi mulai mencair. Ia mulai membalas dan menyambut baik pesan dari Rendi. Ketika genap seminggu Lusi saling memberi kabar dengan Rendi. Akhirnya Rendi maju ke tahap selanjutnya. Ia mulai menelpon Lusi di satu mala minggu. Dengan wajah terkejut, Lusi melihat handphone-nya berdering karena panggilan masuk dari Rendi.
"Aduh... ngapain sih abang ini nelpon?" Kesal Lusi.
Sambil menghitung dengan jarinya "angkat, enggak, angkat, enggak, angkat" duh jawabannya angkat. Yaudahlah ah..." Lusi yang saat itu ada di kamar bersama dengan Yeni, memilih untuk ke luar kamar untuk menerima telpon dari Rendi agar tidak kedengaran Yeni.
Dengan mengecilkan suaranya Lusi mengangkat teleponya dan mengatakan
"Halo... ada apa bang?" tanya Lusi.
"Halo Lus... lagi apa nih?" sahut Rendi.
"Lagi nelponlah bang, masak nyanyi." Jawab Lusi.
"Kok gitu jawabnya... siapa tau kamu lagi melayani, entar abang ganggu kan." Sahut Rendi."
"Gak kok bang. Cuma sedang bersantai aja" jawab Lusi.
"Berarti aku pas dong waktunya nelpon" balas Rendi
"Iya bang, Cuma kan gak enak didengar kak Yeni" ujar Lusi
"Gaklah, baik kok kak Yeni."
"Iya baik memang bang, Cuma kita kan baru kenal, abang udah nelpon-nelpon aja."kesal Lusi
"Abang cuma mau dengar suaramu aja kok dek. Kamu sehat?
"Sehat bang, abang gimana sehat?"
"Sehat dong dik, gini kan enak ditanyain kabar dan lembut." Sahut Rendi.
"Hm... iyalah ya... udah dulu ya bang. Aku ngantuk nih. Bye...." Lusi menutup telpon.
Hingga minggu ketiga, Lusi dan Rendi masih terus saling memberi kabar dan semangat. Pernah suatu ketika, Lusi mengalami sakit demam tinggi karena ayahnya masuk ke rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya. Rendi selalu hadir memberi semangat, menguatkan bahkan mengajak Lusi berdoa bersama agar hatinya bisa tenang baik melalui telepon dan juga video call.
Mulai dari peristiwa itu, Lusi mulai menaruh simpati dengan sikap Rendi yang selalu ada menopangnya dengan semangat. Bahkan, tak jarang ia memberi saran untuk menyelesaikan tiap masalah yang dialami oleh Lusi. Oleh karena mereka semakian dekat, akhirnya Rendi memutuskan untuk datang menemui Lusi di Yogyakarta. Namun, Lusi melarangnya. Tetapi di balik pemikirannya, sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan Rendi untuk "pertama kalinya" secara fisik dan riil.
Sampai selesai PKL, mereka tak kunjung bertemu. Rindu dan harapan mendalam akhirnya ditahan dan harus di bawa ke Medan. 01 Agustus 2001, Lusi dan semua sahabatnya telah menyelesaikan PKL di gerejanya masing-masing dan bersiap untuk pulang ke Medan. Mereka berpamitan dengan seluruh jemaat dan pendeta dan dihantarkan dalam doa.
Sesampai di kota Medan, Lusi bertemu dengan kedua orang tuanya kembali dan memeluk mereka dengan erat dan tak lupa ia memberi kabar pada Rendi bahwa dirinya sudah tiba dengan selamat.
"Puji Tuhan.... Aku sampai dengan selamat mak, pak. Tuhan menolongku selama di perantauan." ucap Lusi.
"Syukurlah nak, berarti udah bisa mandiri dong ya nak, selamat ya nak...." Sambut ibu Lusi.
Memasuki tanggal 17 Agustus 2001, mereka semakian lama saling menaruh simpatik mendalam di hati mereka. Setiap malam sekitar 15 menit mereka selalu terhubung melalui video call untuk melepas rindu dan berencana untuk bertemu di bulan September. Dan di malam itu melalui video call, mereka memutuskan untuk berpacaran. Lagi dan lagi melalui video call. Dan uniknya, bersama dengan kemerdekaan negara Indonesia sama-sama memerdekakan kasih mereka. Alamak. Hi..hi...
Ada banyak kebiasaan buruk di masing-masing pribadi ini mengalami perubahan. Lusi yang dahulu kurang mampu mengontrol emosi menjadi pribadi yang mampu mengolah emosinya. Demikian pula, Rendi menjadi pribadi yang hanya menyimpan masalahnya sendiri dan acap kali sakit karena terlalu memikirkan masalahnya menjadi pribadi yang mau berbagi untuk memecahkan persoalan bersama. Ada banyak perubahan positif yang signifikan dialami oleh keduanya, bahkan beribadah secara virtual juga mereka lakukan.
Tetapi satu kendala dalam hubungan mereka yang tak kunjung terlaksana yaitu bertemu secara nyata (face to face in the real-time). Lantas kekecewaan karena tak bisa bertemu, selalu menghantui hubungan mereka. Rendi selalu saja membuat janji untuk menemui Lusi di Medan. Tetapi selalu saja janji kosong, tetapi Lusi selalu memberi kesempatan dan peluang untuk menepati janji.
Hingga satu ketika dalam perjalanan 1,5 tahun mereka menjalani hubungan, Rendi berjanji menghadiri hari istimewa Lusi yaitu selebrasi wisuda tetapi tak juga hadir dan menepati janji. Lusi menangis dan memutuskan untuk tidak lagi menjalani hubungan yang tidak riil tersebut dan akhirnya mereka menyelesaikan hubungannya.
Dalam hati Lusi mengatakan,
"Benar memang aku sudah terlanjur meletakkan perasaanku padanya dan sesungguhnya aku terlanjur mencintainya, tapi hubungan ini tidak akan sehat lagi untuk dijalani, karena yang paling penting bagiku adalah komitmen dalam hubungan bukan janji, tapi aku mau belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama terutama pacaran dengan orang yang belum pernah bertatap muka langsung.
"Lebih dari itu, aku belajar berterimakasih pada Tuhan karena adalah pengalaman berharga bagiku untuk mengenal dan belajar dari bang Rendi"
Pengalaman ini kusebut dengan "pacar video call"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H