"Iya baik memang bang, Cuma kita kan baru kenal, abang udah nelpon-nelpon aja."kesal Lusi
"Abang cuma mau dengar suaramu aja kok dek. Kamu sehat?
"Sehat bang, abang gimana sehat?"
"Sehat dong dik, gini kan enak ditanyain kabar dan lembut." Sahut Rendi.
"Hm... iyalah ya... udah dulu ya bang. Aku ngantuk nih. Bye...." Lusi menutup telpon.
Hingga minggu ketiga, Lusi dan Rendi masih terus saling memberi kabar dan semangat. Pernah suatu ketika, Lusi mengalami sakit demam tinggi karena ayahnya masuk ke rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya. Rendi selalu hadir memberi semangat, menguatkan bahkan mengajak Lusi berdoa bersama agar hatinya bisa tenang baik melalui telepon dan juga video call.
Mulai dari peristiwa itu, Lusi mulai menaruh simpati dengan sikap Rendi yang selalu ada menopangnya dengan semangat. Bahkan, tak jarang ia memberi saran untuk menyelesaikan tiap masalah yang dialami oleh Lusi. Oleh karena mereka semakian dekat, akhirnya Rendi memutuskan untuk datang menemui Lusi di Yogyakarta. Namun, Lusi melarangnya. Tetapi di balik pemikirannya, sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan Rendi untuk "pertama kalinya" secara fisik dan riil.
Sampai selesai PKL, mereka tak kunjung bertemu. Rindu dan harapan mendalam akhirnya ditahan dan harus di bawa ke Medan. 01 Agustus 2001, Lusi dan semua sahabatnya telah menyelesaikan PKL di gerejanya masing-masing dan bersiap untuk pulang ke Medan. Mereka berpamitan dengan seluruh jemaat dan pendeta dan dihantarkan dalam doa.
Sesampai di kota Medan, Lusi bertemu dengan kedua orang tuanya kembali dan memeluk mereka dengan erat dan tak lupa ia memberi kabar pada Rendi bahwa dirinya sudah tiba dengan selamat.
"Puji Tuhan.... Aku sampai dengan selamat mak, pak. Tuhan menolongku selama di perantauan." ucap Lusi.
"Syukurlah nak, berarti udah bisa mandiri dong ya nak, selamat ya nak...." Sambut ibu Lusi.