Oleh larema itu saya cenderung untuk menggunakan ungkapan “Kegiatan Belajar-Belajar” ketimbang “Kegiatan Belajar Mengajar” karena ungkapan tersebut lebih menggambarkan posisi guru dan murid yang memang sedang dalam proses belajar dan belajar.
3. Dominasi yang dilakukan sekolah dan pemerintah
Pernahkah anda membaca pengumuman yang diberikan sekolah pada setiap menjelang Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS)? Di setiap pengumuman tersebut sekolah memperbolehkan setiap siswa yang telah menyelesaikan administrasi mereka dengan sekolah mengikuti ujian sedangkan yang belum harap segera menyelesaikannya sebelum waktu ujian dimulai. Memang terkadang itu hanya gertakan belaka, tapi itu dapat memberikan dampak psikologis (cemas, khawatir, takut, malu, minder, stress, dan hilang kepercayaan diri) pada murid terlebih lagi mereka yang tergolong miskin sehingga pada akhirnya akan mengganggu konsentrasi mereka dalam mengerjakan ujian. Kegagalan mengerjakan ujian di negeri ini diartikan sebagai kegagalan mereka mengikuti pendidikan. Sebuah kekerasan yang sepatutnya tidak dilakukan oleh sekolah yang seharusnya menjadi tempat teraman di dunia ini.
Beratnya beban yang diterima seorang murid di Indonesia dikarenakan banyaknya beban pelajaran dan padatnya jam pelajaran yang harus dilalui. Saya ingat dulu waktu sekolah saya selalu membawa tas yang penuh dengan buku pelajaran setiap harinya. Mulai dari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sampai Pancasila.
Guru menjadi orang pertama yang dipusingkan karena mereka harus menyelesaikan apa yang sudah tertulis dalam kurikulum dan jika mereka tidak sanggup, mereka akan dicap sebagai guru yang gagal. Jadi mau tidak mau guru hanya menerangkan seadanya saja dan selalu memberikan Pekerjaan Rumah (PR) yang bertumpuk guna mengejar target kurikulum. Pemberian PR yang berlebihan telah membuat anak-anak tidak mempunyai waktu untuk bermain dan menikmati masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan senyum dan tawa. Masa kecil mereka yang semestinya bahagia kini hanya diisi dengan kata belajar, belajar dan belajar. PR dan les-les merupakan aktivitas mereka di luar sekolah guna memberikan nilai yang baik di sekolah dan menyenangkan hati kedua orang tua mereka. Menyenangkan hati orang tua karena tidak ada satu pun orang tua yang ingin anak mereka gagal di sekolah jadi mereka rela mengorbankan kebahagiaan masa kecil anak mereka dengan mengirim anak mereka ke tempat-tempat les atau mendatangkan guru-guru les hanya demi kebanggaan semata. Lagi-lagi anak yang menjadi korbannya.
Akhirnya
Saya yakin masih banyak kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah yang belum terungkap. Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengecilkan peran besar sekolah dan para guru yang telah melahirkan para pemikir hebat di negeri ini, tapi hanya untuk memperlihatkan kalau yang mereka lakukan selama ini salah dan untuk meminta supaya terjadi perubahan agar di kemudian hari pendidikan kita dapat lebih maju.
Membayangkan asyiknya bersekolah di sekolahnya Totto-chan pastilah sangat menyenangkan. Setiap pagi kita bisa memilih pelajaran apa yang kita suka. Bertemu guru-guru yang mau meladeni segala permintaan dan pertanyaan aneh semua muridnya. Berenang tanpa sehelai pakaian, hanya untuk menunjukkan perbedaaan antar sesama murid dan belajar menghargai kekurangan yang dimiliki orang lain. Bagi saya itu adalah gambaran sekolah yang selama ini tidak pernah saya temui dalam hidup saya. Sekolah di mana tidak ada satu pun kekerasan di dalamnya.
Harun Kristiawan
Referensi
Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book
Kuroyanagi, Tetsuko. 2004. Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama