Mohon tunggu...
H K
H K Mohon Tunggu... profesional -

penikmat alam - pembaca - penggila futsal - sedang belajar menulis - penggemar bahasa prancis ..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Simbolik di Sekolah

21 Agustus 2012   02:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membaca kata pertama judul di atas, saya teringat kejadian pahit yang pernah saya alami. Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar tapi saya lupa di kelas berapa, saat itu pelajaran sedang berlangsung, sedangkan saya yang memang terkenal iseng dan nakal sedang asyik mengobrol dengan teman semeja saya dan mengacuhkan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Merasa terganggu dan dirinya tidak dihargai, guru saya tersebut melemparkan penghapus papan tulis, waktu itu sekolah kami masih menggunakan papan tulis hitam dan kapur sebagai alat tulisnya, yang mendarat tepat di atas meja kami. Untungnya tidak mengenai wajah atau tubuh kami, tapi debu kapur yang mengepul sempat membuat kami terbatuk-batuk, dan rasa terkejut yang kami alami membuat kami menjadi kaget dan takut.

Kisah di atas merupakan salah satu contoh kekerasan yang kerap kali terjadi di sebuah institusi bernama “sekolah”. Kekerasan fisik di sekolah tidak hanya dilakukan oleh guru terhadap muridnya, tapi juga oleh murid terhadap gurunya, dan antar sesama murid (senior dan junior). Contoh-contoh kekerasan tersebut sekarang sangat mudah dilihat di televisi karena kekerasan (di sekolah) merupakan tema yang laris “dijual” oleh beberapa produser sinetron di negeri ini. Padahal kekerasan merupakan salah satu kata yang seharusnya tidak boleh terdengar atau bahkan terjadi di lingkungan yang melahirkan manusia-manusia kritis yang berbudi pekerti luhur ini.

Tapi apakah hanya kekerasan yang kasat mata saja yang terjadi di dunia pendidikan kita? Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus terjadi.

Lalu seperti apakah bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah? Saya sebagai orang yang pernah dan sedang merasakan pahit dan manisnya bangku sekolah akan mencoba mengulasnya berdasarkan atas apa yang pernah saya alami, baca, dengar, lihat dan renungkan.

1. Seragam

Sebuah pertanyaan yang wajib dilontarkan: masih perlukah seragam sekolah?

Setiap tahunnya, semua orang tua yang ingin atau sedang menyekolahkan anaknya disiksa oleh urusan biaya sekolah. Selain semakin meningkatnya biaya masuk sekolah dan iuran SPP sekolah yang seiring juga dengan meningkatnya tarif dasar listrik dan harga BBM, mereka juga masih harus dipusingkan oleh berbagai keperluan perlengkapan sekolah anak mereka, mulai dari buku, tas, sepatu, hingga seragam sekolah. Perlu diingat bahwa di negeri ini seragam sekolah di setiap jenjang pendidikan berbeda, dan akhir-akhir ini tiap sekolah juga mulai memiliki seragam sendiri yang merupakan ciri khas sekolah mereka masing-masing.

Setiap senin, seorang anak yang ingin bersekolah harus mengenakan baju putih, celana merah, dasi, topi, kaos kaki putih dan sepatu hitam, malahan kadang-kadang mereka diharuskan juga memakai ikat pinggang. Lalu setiap hari tertentu, anak tersebut harus menggunakan batik atau pun baju yang khusus untuk hari tersebut yang disesuaikan dengan keputusan masing-masing sekolah. Sebegitu repot dan ruwetnya seorang anak agar bisa dapat duduk di dalam kelas, mendengarkan, “berdiskusi”, dan “berbagi” ilmu pengetahuan bersama guru dan teman-temannya.

Lebih parahnya lagi semua perlengkapan “penyeragaman” di atas kadang dijual langsung oleh pihak sekolah dan apabila ada murid yang tidak “diperlengkapi” dengan sempurna pasti akan dihukum. Belum lagi dengan baju pramuka, baju koko, rok panjang plus jilbab untuk para siswi yang harus dikenakan pada hari jum’at dan baju olah raga. Sekali lagi, sebegitu repotnya seorang anak agar bisa berlari di pagi hari, bermain bola, bersenang-senang sambil menyehatkan tubuhnya bersama teman-temannya.

Bila kita menengok ke belakang, awal mula penyeragaman pakaian sekolah oleh pemerintah adalah untuk memupuk kebanggaan nasional. Tapi pada kenyataannya kebijakan tersebut harus menyiksa masyarakat miskin di negeri ini. Sebagai catatan orang miskin di Indonesia berjumlah sekitar 52 juta orang (data Badan Pusat Statistik tahun 2005). Jumlah yang tidak sedikit.

Untuk makan setiap hari, bayar kontrakan, bayar listrik, bayar ini-itu, dan bayar SPP saja sudah sangat memberatkan mereka, apalagi jika ditambah untuk beli seragam. Untuk mereka yang kaya mungkin itu bukan masalah tapi bagi masyarakat miskin itu menjadi sebuah masalah besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun