Mohon tunggu...
H K
H K Mohon Tunggu... profesional -

penikmat alam - pembaca - penggila futsal - sedang belajar menulis - penggemar bahasa prancis ..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Simbolik di Sekolah

21 Agustus 2012   02:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru-guru hanya suka memberi hukuman tanpa menanyakan dulu ada apa di balik kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa-siswanya. Dan mereka juga tidak sadar akan dampak (psikologis) apa yang terjadi di balik hukuman yang mereka berikan. Mereka mungkin tidak sadar kalau hukuman seperti dicontohkan di atas dapat mengakibatkan murid mereka menjadi takut, malu, terhina, tidak berdaya, cemas, khawatir, apatis, hilang kepercayaan diri, menutup diri, marah bahkan mendendam yang pada akhirnya akan mengganggu proses kembang anak bahkan mengakibatkan kegagalannya di sekolah.

Saya hanyalah orang awam yang tidak begitu mengerti akan masalah psikologi khususnya psikologi anak, tapi hendaknya para guru mengubah hukuman-hukuman yang selama ini mereka berikan pada anak didik mereka karena hukuman-hukuman yang tidak mendidik itu pada hakekatnya hanyalah merupakan kekerasan semata.

2.2 Kegiatan Belajar Mengajar

Dalam suatu kuliah dosen saya pernah berkata kalau salah satu penyebab mengapa anak-anak Indonesia kurang kritis dan cenderung untuk diam saat ditanya adalah karena kurangnya ditanamkan budaya bertanya oleh guru. Guru di kelas lanjutnya sangat jarang menggunakan kata tanya “mengapa” atau “bagaimana”. Mereka lebih senang bertanya “apa”, “siapa”, dan “kapan” atau memberikan pertanyan yang sudah jelas jawabannya. Siswa tidak dibiasakan untuk menjawab pertanyaaan dengan berpikir menggunakan akal pikiran mereka. Dan celakanya lagi, tercipta mitos bahwa “lebih baik diam daripada menjawab tapi salah”. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya budaya “diam” di kalangan siswa bahkan mahasiswa.

Kebiasaan guru tersebut salah satunya didorong oleh padatnya kurikulum yang dianut di negeri ini. Jadi kebanyakan guru sibuk mengejar deadline sehingga tidak ingin atau bahkan malas jika ada siswanya yang bertanya macam-macam yang kiranya dapat menyita waktunya.

Di lain pihak guru lebih senang menggunakan kalimat-kalimat perintah; bahwa siswa “harus inilah, itulah, beginilah, begitulah, ndak boleh begitu, jangan seperti itu” dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat yang mengharuskan siswa menjadi individu yang patuh, penurut dan tidak bebas dalam bertindak dan berpikir. Kenyataan yang didukung oleh “kekuatan” yang dimiliki oleh guru untuk boleh menghukum siswanya jika tidak mengikuti apa yang dikatakannya.

Diakui atau tidak semua hal di atas merupakan suatu kekerasan yang mengekang kebebasan (berpikir dan bertindak), rasa ingin tahu dan kreatifitas anak. Dan dikhawatirkan jika hal tersebut terus dilakukan maka kebebasan, rasa ingin tahu dan kreatifitas tersebut lama kelamaan akan hilang.

Sistem pendidikan kita yang bertujuan untuk membuat murid menjadi patuh, sopan dan pintar sangat diaplikasikan oleh cara mengajar guru di dalam kelas. Guru lalu tentu saja menganggap murid sebagai anak yang bodoh, tidak tahu, tidak bisa dan tidak mengerti apa-apa. Sedangkan mereka menganggap diri mereka sebagai yang mahatahu, yang lebih bisa, dan yang lebih pintar. Pandangan tersebut lalu diterjemahkan sebagai pelegitimasian mereka sebagai penguasa di dalam kelas. Dan itulah mengapa mereka menggunakan istilah “Kegiatan Belajar Mengajar”, yang menjelaskan status murid dan guru. Ada jarak yang lebar antara murid yang belajar dan guru yang memberi pelajaran.

Hal itu pun terlihat dari cara mengajar guru di sini yang seperti mengutip ungkapan Sartre “mengunyahkan” (digestive) atau memberi makan (nutritive) pengetahuan kepada siswa (Siti Murtiningsih, 2004:78). Guru seperti memberi makan di mana pengetahuan-pengetahuan disuapkan kepada siswa-siswanya untuk membuat mereka kenyang. Sebuah konsep yang menurut Paolo Freire sebagai “Konsep Gaya Bank”. Anak-anak menjadi terpasung kebebasannya, bahkan untuk memilih pelajaran yang mereka suka saja mereka tidak boleh. Semuanya telah diatur dan murid hanya tinggal menurut saja. Murid hanya dipandang sebagai objek dan tidak sebagai subjek. Dan apabila ada murid yang membangkang, mereka sebagai penguasa diberikan keleluasaan untuk menghukum dengan berbagai cara baik fisik dan non fisik seperti apa yang telah utarakan di atas.

Dalam pelaksanaannya guru jarang sekali berdiskusi dengan murid-muridnya, guru lebih sering berceramah di depan kelas. Hal tersebut didukung juga oleh bentuk ruang-ruang kelas yang menjadikan guru sebagai tokoh sentral di dalam kelas. Sekali lagi cara mengajar yang seperti ini merupakan suatu kekerasan yang telah membuat hak, kebebasan dalam berpikir dan bertindak, rasa ingin tahu, kreatifitas, dan karakter murid hilang.

Sekarang ini dalam pengajaran sudah dikenal dengan apa yang disebut “L’enseignement sur l’apprenant” atau pengajaran yang ditekankan pada murid. Guru dalam sistem ini hanyalah sebagai fasilitator dimana muridlah yang harus berperan aktif dalam pembelajarannya. Guru harus memberikan otonomi yang sebesar-besarnya kepada murid-muridnya. Otonomi yang berarti pembebasan kepada mereka untuk mencari sumber-sumber belajar lainnya selain dari yang diberikan oleh guru mereka. Otonomi yang membuat guru harus bekerja keras untuk mencari strategi yang terbaik utnuk dapat memberikan latihan-latihan atau tugas-tugas yang dapat merangsang murid-muridnya untuk belajar menurut kesenangan hati mereka. Di sinilah diskusi biasa terjadi; diskusi antara guru dan murid; murid dan murid. Jadi tugas guru hanya membantu dan merangsang murid untuk menemukan strategi belajar mereka masing-masing yang pada akhirnya akan membuat mereka dapat menjadi murid yang mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun