Audisi yang berlokasi di Kertanegara kemarin sore, seharusnya menunjukkan komitmen, keseriusan, dan ketegasan seorang Prabowo Subianto terkait postur dan arah pemerintahannya ke depan.
Lokasi Kertanegara (bukan di Istana) seharusnya menunjukkan bahwa Prabowo jauh dari intervensi kekuasaan dan cawe-cawe.
Atau jangan-jangan "Audisi di Kertanegara" adalah bentuk tersirat dari Koalisi Prabowo-Jokowi soal jatah orang-orang yang Jokowi yang bakal masuk di Kabinet Prabowo-Gibran? Apakah orang-orang yang menjadi kredit poin Jokowi sudah ada dan jelas sebelum Jokowi benar-benar lengser?
Presiden terpilih Prabowo Subianto memanggil 49 calon menteri untuk datang ke kediamannya di Jalan Kertanegara Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Kabinet yang akan dibentuk Prabowo Subianto sebelumnya santer diisukan akan diisi dengan total 46 Kementerian. Ini masih isu yang beredar di luar sana.Â
Terkait finalisasi jumlah kementerian yang akan dibentuk Prabowo-Gibran, masih menunggu waktu. Bisa jadi, jumlahnya lebih dari 46 Kementerian.
Peristiwa pemanggilan ke-49 "calon menteri" yang masuk bursa dan di-screening di Kertanegara, hemat saya merupakan bentuk transparansi kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Prabowo sebagai Presiden terpilih sejatinya ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa inilah calon-calon menteri yang akan saya pilih untuk membantu proses laju pemerintahannya selama lima tahun ke depan.
Tinggal sekarang, silahkan masyarakat Indonesia mengamati, menelusur, dan memberi penilaian sebelum waktu pelantikan tiba.
Meski terkesan positif di awal, akan tetapi, di sisi lain, saya secara pribadi melihat bahwa pemanggilan "calon menteri" ke lokasi Audisi Kertanegara adalah sebuah informasi.
Bentuk informasi ini sejatinya mau ditunjukkan Prabowo kepada Presiden yang hendak turun tahta, yakni Presiden Joko Widodo.
Ke-49 orang yang dipanggil ke Audisi Kertanegara, dengan kata lain merupakan gambaran pasti bahwa Prabowo memang benar-benar mengakomodasi permintaan Jokowi terkait sejumlah orang kepercayaannya yang bakal duduk di kursi Kabinet Prabowo-Gibran kelak. Audisi dengan gaya "testing the water" itu sepintas dilihat sebagai bentuk transparansi.Â
Akan tetapi, hemat saya, ada "bargaining ilustrating" yang mau diperlihatkan di sana, yakni Prabowo harus menunjukkan keseriusannya untuk menaruh orang-orang kepercayaan Jokowi di kabinetnya, sebelum Jokowi turun tahta pada 19 Oktober 2024.
Kenapa demikian? Dari segi timing, waktu audisi dan publikasi nama calon menteri ini justru diperlihatkan sebelum waktu pelantikan 20 Oktober 2024.Â
Artinya, Prabowo sebagai Presiden terpilih belum secara definitif mampu mengunci nama menteri dan menggunakan kekuataannya melalui hak prerogatif untuk melakukan finalisasi menteri terpilih.
Hemat saya, biasanya, informasi terkait calon menteri ini diberitahukan atau dibocorkan sehari setelah Presiden terpilih dilantik. Misalnya pada 2014 dan 2019, informasi terkait calon menteri disampaikan Presiden terpilih setelah ia dilantik.
Ketika informasi nama-nama menteri disampaikan setelah Presiden terpilih dilantik, artinya hak prerogatif Presiden terpilih tidak lagi bisa diinterfensi, termasuk oleh mantan Presiden sebelumnya.
Di balik Audisi Kertanegara, saya melihat bahwa Prabowo tengah ditagih janji dan keseriusannya untuk mengamini "input" Jokowi. Kita lihat selama ini, Prabowo dan Jokowi kerap berjumpa.
Prabowo, dalam hal ini, kemungkinan ditekan agar sesegera mungkin mengumumkan siapa-siapa yang bakal duduk di kursi kabinetnya kelak.
Di waktu bersamaan juga, Jokowi menunggu kepastian dengan sebuah pertanyaan besar di kepala: "Benarkah orang-orang yang 'dititipnya' bakal masuk ke kabinet Prabowo-Gibran" atau sama sekali tidak.Â
Audisi Kertanegara pun menjadi alternatif jawabannya. Momen "last lap" dimanfaatkan betul oleh Jokowi sebelum ia turun dari tahtanya dan sebelum Prabowo secara definitif dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Pasalnya, jika sesudah Prabowo dilantik, nama-nama menteri didikan Jokowi belum jelas dan pasti, maka Jokowi otomatis tidak mempunyai daya tawar lagi untuk menginterfensi kepemimpinan dan keputusan Prabowo.
Lobi-lobi politik hingga akhir jabatan, memang tetap kelihatan. Jokowi tak mau kesempatan berkuasa saat ini -- meski di detik-detik terakhir -- pergi begitu saja.
Setiap jengkal jarum waktu harus benar-benar digunakan semaksimal mungkin agar tren "soft landing" di akhir jabatan tercapai dengan baik.
Nama-nama, seperti Pratikno, Bahlil Lahadalia, Tito Karnavian, Raja Juli Antoni, dan Zulkifli Hasan yang pernah duduk di kursi Kabinet Jokowi-Maruf dipastikan untuk tetap duduk tegak dikursi Kabinet Prabowo-Gibran. Nyatanya, kemarin sore, para pembisik Jokowi ini, juga dipanggil Prabowo di lokasi Audisi Kertanegara.Â
Orang-orang ini (Pratikno, Bahlil Lahadalia, Tito Karnavian, Raja Juli Antoni, dan Zulkifli Hasan) adalah kunci interfensi Jokowi tetap jalan meski sudah turun tahta pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Jika upaya mempertahankan orang-orang tertentu karena prestasi dan profesionalismenya, hemat saya, tentu sesuatu yang perlu diapresiasi. Akan tetapi, jika upaya mempertahankan orang-orang tertentu demi ambisi "cawe-cawe," maka hal ini patut dicurigai.
Jangan sampai Prabowo di kemudian hari berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Ada kecurigaan bahwa Pemerintahan Prabowo akan dikendalikan oleh orang-orang tertentu.
Selain terkait lobi dan titipan, angka 49 dalam Kementerian Prabowo-Gibran justru menciptakan problematika tata kelola pemerintahan yang ruwet.Â
Kementerian yang terpecah-pecah menjadi 49 bukanlah sebuah nomenklatur semata. Kementerian Hukum dan HAM yang semula satu, lalu dipecah menjadi Kementerian Hukum dan HAM, bukan tidak mungkin membuat postur birokrasi bakal menjadi semakin rumit.Â
Anggaran untuk pembentukan Kementerian baru ini tentu akan menelan biaya yang sangat banyak. Selain itu, restrukturisasi birokrasi dari perubahan nomenklatur, administrasi, hingga penyesuaian tata kelola di dalamnya (pakaian, kop surat instansi, dan emblem-emblem lainnya) bakal ikut diubah. Anggaran untuk penyesuaian ini saja bisa menelan biaya miliaran rupiah.
Untuk itu Kementerian gemuk ini seharusnya dikaji lagi. Hemat saya, semua reformasi birokrasi dan restrukturisasi akibat nomenklatur dan jumlah kementerian yang baru bukan semata-mata pekerjaan yang mudah.
Demi alasan akomodasi semua koalisi dan lobi politik, Prabowo sejatinya tengah memulai sebuah problematika yang ruwet di awal kepemimpinannya.
Alih-alih mempermudah, justru yang muncul adalah tumpang tindih birokrasi. Ruwetnya birokrasi selama ini justru bukan karena undang-undang yang ada, melainkan karena produk aturan dari kementerian yang terlampau banyak.Â
Alih-alih mengakomodasi semua kepentingan, yang ada justru upaya bagi-bagi kekuasaan. Jangan sampai mereka yang telah berkeringat memenangkan pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 kemarin tak kebagian kursi.
Mungkin ini yang diakomodir. Bisa jadi. Di atas semua kecurigaan ini, harapannya, pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar tertuju pada kepentingan masyarakat dan berani untuk melepaskan diri dari intervensi kekuasaan tertentu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H