Pasalnya, jika sesudah Prabowo dilantik, nama-nama menteri didikan Jokowi belum jelas dan pasti, maka Jokowi otomatis tidak mempunyai daya tawar lagi untuk menginterfensi kepemimpinan dan keputusan Prabowo.
Lobi-lobi politik hingga akhir jabatan, memang tetap kelihatan. Jokowi tak mau kesempatan berkuasa saat ini -- meski di detik-detik terakhir -- pergi begitu saja.
Setiap jengkal jarum waktu harus benar-benar digunakan semaksimal mungkin agar tren "soft landing" di akhir jabatan tercapai dengan baik.
Nama-nama, seperti Pratikno, Bahlil Lahadalia, Tito Karnavian, Raja Juli Antoni, dan Zulkifli Hasan yang pernah duduk di kursi Kabinet Jokowi-Maruf dipastikan untuk tetap duduk tegak dikursi Kabinet Prabowo-Gibran. Nyatanya, kemarin sore, para pembisik Jokowi ini, juga dipanggil Prabowo di lokasi Audisi Kertanegara.Â
Orang-orang ini (Pratikno, Bahlil Lahadalia, Tito Karnavian, Raja Juli Antoni, dan Zulkifli Hasan) adalah kunci interfensi Jokowi tetap jalan meski sudah turun tahta pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Jika upaya mempertahankan orang-orang tertentu karena prestasi dan profesionalismenya, hemat saya, tentu sesuatu yang perlu diapresiasi. Akan tetapi, jika upaya mempertahankan orang-orang tertentu demi ambisi "cawe-cawe," maka hal ini patut dicurigai.
Jangan sampai Prabowo di kemudian hari berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Ada kecurigaan bahwa Pemerintahan Prabowo akan dikendalikan oleh orang-orang tertentu.
Selain terkait lobi dan titipan, angka 49 dalam Kementerian Prabowo-Gibran justru menciptakan problematika tata kelola pemerintahan yang ruwet.Â
Kementerian yang terpecah-pecah menjadi 49 bukanlah sebuah nomenklatur semata. Kementerian Hukum dan HAM yang semula satu, lalu dipecah menjadi Kementerian Hukum dan HAM, bukan tidak mungkin membuat postur birokrasi bakal menjadi semakin rumit.Â
Anggaran untuk pembentukan Kementerian baru ini tentu akan menelan biaya yang sangat banyak. Selain itu, restrukturisasi birokrasi dari perubahan nomenklatur, administrasi, hingga penyesuaian tata kelola di dalamnya (pakaian, kop surat instansi, dan emblem-emblem lainnya) bakal ikut diubah. Anggaran untuk penyesuaian ini saja bisa menelan biaya miliaran rupiah.
Untuk itu Kementerian gemuk ini seharusnya dikaji lagi. Hemat saya, semua reformasi birokrasi dan restrukturisasi akibat nomenklatur dan jumlah kementerian yang baru bukan semata-mata pekerjaan yang mudah.