Kasus Jessica akan dibedah dengan dua belati analisis teori psikologi tertentu yang akan saya kemukakan. Hemat saya, problem yang dialami Jessica adalah berkaitan dengan penghargaan terhadap diri. Jessica menempatkan target tertentu sebagai prospek yang menjadi impiannya dalam hidup.Â
Akan tetapi, apa yang dikejar Jessica tak kunjung didapat. Semua pasti setuju bahwa sekarang kita lagi dalam era dunia log in dan log out. Kebimbangan, keraguaan, kecanggungan, kegelisahan, kekawatiran, ketakutan serta aneka bentuk ketidakpastian melingkupi setiap pribadi. Seperti ada sesuatu yang hilang dari diri seseorang.
Lalu apa yang lebih buruk dari segala bentuk kehilangan di muka bumi ini? Kehilangan pekerjaan? Kehilangan harta? Selalu ada cara untuk memperoleh penghasilan yang bisa menjelma menjadi harta pengganti. Kehilangan jantung hati?Â
Bisa didoakan biar jiwanya bisa safety juga ketabahan bagi mereka yang ditinggalkan. Kehilangan reputasi? Ini buruk, tetapi bukan yang terburuk. Maka pertanyaannya adalah "Apa bentuk kehilangan terburuk?"
Satu-satunya hal yang sulit diperbaiki dan membuat banyak orang frustrasi adalah kehilangan harapan. Ya, tanpa harapan, kita pasti tidak ada alasan untuk menjalani dinamika keseharian. Tanpa harapan, semua menjadi sia-sia belaka, nothing, life is meaningless. Tanpa harapan, apa gunanya berusaha?Â
Sangat mudah merasa kehilangan harapan terhadap job, kehidupan atau bahkan mungkin stamina hidup. Banyak orang -- entah pebisnis, pengusaha, pemusik, politikus, dll -- mulai mengeluh, putus asa dan cemas, yang cenderung mengantar mereka pada floatiang hope (harapan yang mengambang). Jessica dalam hal ini juga termasuk orang yang tengah kehilangan harapan.
Ia menaruh target terlalu tinggi dan hasilnya tak tersentuh. Banyak orang juga mengalami hal serupa. Akan tetapi, orang perlu melihat hal-hal lain dalam diri -- belum mengeksplorasi seluruh kemampuan yang ada. Ketika kita fokus pada satu hal, maka secara ototmatis kita juga tengah menegasi yang lain.Â
Hemat saya, Jessica terlalu fokus pada satu hal dalam dirinya; padahal banyak hal yang bisa ia lakukan dan memberi hasil yang baik. Kecenderungan untuk mencapai hal-hal yang sifatnya "wow" di zaman sekarang semacam menjadi trend yang digandrungi siapa saja.
Seolah-olah, jika kita tidak membuat sesuatu yang sifatnya gebiyar, orang tidak menunjukkan perhatian dengan kita. Lacking of appreciation adalah fokus problem Jessica. Ia lupa bahwa hal-hal kecil yang telah dibuatnya selama sebelumnya adalah fondasi kokoh atas impian yang tengah dikejarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H