Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bedah Kasus Melalui Psikologi Positif (Part I)

16 April 2021   19:51 Diperbarui: 16 April 2021   20:04 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan galau. Foto: mediapakuan.pikiran-rakyat.com.

Jessica, 28 tahun, seorang dokter perempuan, belum menikah. Ia bertugas di sebuah rumah sakit swasta yang membebaninya dengan banyak tugas dalam suasana kerja yang penuh dengan tuntutan. Jessica dikenal sebagai perempuan yang berambisi dalam mencapai karier. Prestasi belajarnya semasa kuliah, selalu yang terbaik di universitas-nya. 

Dia memiliki standar yang tinggi terhadap dirinya sendiri dan sangat kritis terhadap dirinya sendiri ketika ia tidak mampu mencapai standar yang dia inginkan bagi dirinya. 

Akhir-akhir ini dia mengalami secara intens perasaan diri tidak berguna dan tidak berharga, akibat dari ketidakmampuannya mencapai target yang diinginkannya. Beberapa Minggu ini, Jessica sering merasa linglung dan kesulitan berkonsentrasi dalam menjalankan pekerjaannya.

Asisten-asistennya pun mengatakan bahwa Jessica menjadi orang yang mudah sekali tersinggung dan sering menyendiri -- sikap yang sama sekali berbeda dengan sikap ceria dan bersahabat yang selama ini dikenal oleh orang-orang di sekitarnya. Dia juga menjadi sering tidak masuk kerja dengan alasan sakit, padahal dia di rumah dia hanya bermalas-malasan dengan menonton TV. 

Di rumah, Jessica selalu kesulitan tidur dan sering menangis sendirian. Ketika dia ditanya keluarganya tentang apa yang terjadi, dia hanya menjawab: "Semuanya baik-baik saja." 

Meskipun tidak ada tanda-tanda upaya untuk melakukan tindakan bunuh diri, perasaan diri tidak berguna terus-menerus menyerang pikirannya, yang membuat dirinya merasa ingin mati saja. Dia merasa frustasi dengan dirinya sendiri, karena sebenarnya dia memiliki banyak alasan untuk menjadi bahagia, namun dia tidak merasa bahagia dengan hidupnya.

Rambu-rambu Proses Konseling

Dalam membedah problem yang dialami Jessica, sejatinya ada banyak teori psikologi yang mampu turun tangan. Akan tetapi, tidak semuanya bisa langsung membantu Jessica untuk keluar dari persoalannya. Multiteori psikologi hanya akan menjadi acuan atau sarana penunjuk bagi target yang mau dicapai dari sebuah proses penyelesaian persoalan. 

Dalam sebuah konseling -- terutama ketika klien dan konselor membuat sebuah kesepakatan tertentu -- berbagai kaidah dan norma konseling wajib dipraktikkan.

Artinya dalam proses konseling, klien dan konselor harus memahami rambu-rambu encounter antarkeduanya. Dengan kata lain, target yang dicapai harus melalui sebuah mekanisme yang menunjang demi tercapainya proses konseling. 

Maka, karakteristik penunjang kiranya menjadi perhatian -- baik oleh klien maupun oleh konselor. Faktor-faktor yang memengarui perubahan konseling, diantaranya adalah struktur, setting, kualitas klien, dan juga kualitas si konselor. Keempat hal ini menjadi basis prospek berhasilnya proses konseling. 

Dalam struktur, hal-hal yang diperhatikan antara lain, mengenai kesepakatan bersama antara konselor dan klien, prosedur, serta aturan-aturan dalam proses konseling berlangsung.

Dengan membuat projek -- kesepakatan tersruktur -- target yang hendak dicapai akan mudah digapai. Dalam setting, masing-masing pihak wajib mematuhi rambu-rambu proses konseling, yakni berkaitan dengan suasana personal (privacy), kerahasiaan (confidentiality), kehikmatan (quiet), dan kenyamanan (certain comfort). 

Dua hal lainnya adalah berkaitan dengan kualitas personal masing-masing pihak, baik konselor maupun klien. Di sini keduanya dituntut untuk wajib menaati aturan atau rambu-rambu yang disepakati bersama. Seorang klien mulai membangun komunikasi bersifat trust each other berhadapan dengan konselor. 

Dari pihak koselor juga dituntut bermacam hal, salah satunya adalah soal kesetian untuk mendengar. Menurut Bolton (2003), orang dituntut untuk menjadi penyimak -- hal ini tentunya lebih dalam dari sekedar kegiatan mendengarkan. 

Di sini si pendengar harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh pesan-pesan yang disampaikan oleh orang yang sedang berbicara. Mendengarkan adalah proses aktif yang menuntut partisipatif. Dengan kata lain, apa yang didengarkan perlu diolah (direfleksikan) oleh si pendengar atau konselor. 

Ciri-ciri respons reflektif antara lain adalah berusaha untuk tidak menilai (nonjudgement), refleksi akurat oleh apa yang dialami oleh klien/pihak lain,  dan ringkas.  

Menurut Baruth dan Robinson III, konselor setidaknya memiliki lima peran (role) generik, yakni sebagai konselor, sebagai konsultan, sebagai agent of exchange (agen pengubah), sebagai agen prevensi primer dan sebagai manajer. B

ersamaan dengan peran generik konselor ini, setiap konselor harus memahami target yang hendak digarap selama proses konseling berlangsung. Yang dimaksud dengan peran generik adalah peran yang inheren ada dan disandang oleh seseorang yang berfungsi sebagai konselor.

Elemen-elemen yang mungkin berbeda tergantung pada setting, tetapi dalam peran dan fungsi yang sama. Tugas konselor dalam sebuah proses konseling, tidak melulu menjadi tempat curahan hati klien, tetapi ia harus lebih dari itu, yakni menjadi partner klien dalam menyelesaikan persoalan. 

Ada beberapa hal seharusnya tidak dilakukan seorang konselor dalam proses konseling berlangsung, yakni menyentuh klien (etika), menggunakan kata tanya mengapa dalam menggali persoalan dan hindari aktivitas story telling (konselor menguasai proses konseling/kesan menggurui).

 Analisis Kasus

Kasus Jessica akan dibedah dengan dua belati analisis teori psikologi tertentu yang akan saya kemukakan. Hemat saya, problem yang dialami Jessica adalah berkaitan dengan penghargaan terhadap diri. Jessica menempatkan target tertentu sebagai prospek yang menjadi impiannya dalam hidup. 

Akan tetapi, apa yang dikejar Jessica tak kunjung didapat. Semua pasti setuju bahwa sekarang kita lagi dalam era dunia log in dan log out. Kebimbangan, keraguaan, kecanggungan, kegelisahan, kekawatiran, ketakutan serta aneka bentuk ketidakpastian melingkupi setiap pribadi. Seperti ada sesuatu yang hilang dari diri seseorang.

Lalu apa yang lebih buruk dari segala bentuk kehilangan di muka bumi ini? Kehilangan pekerjaan? Kehilangan harta? Selalu ada cara untuk memperoleh penghasilan yang bisa menjelma menjadi harta pengganti. Kehilangan jantung hati? 

Bisa didoakan biar jiwanya bisa safety juga ketabahan bagi mereka yang ditinggalkan. Kehilangan reputasi? Ini buruk, tetapi bukan yang terburuk. Maka pertanyaannya adalah "Apa bentuk kehilangan terburuk?"

Satu-satunya hal yang sulit diperbaiki dan membuat banyak orang frustrasi adalah kehilangan harapan. Ya, tanpa harapan, kita pasti tidak ada alasan untuk menjalani dinamika keseharian. Tanpa harapan, semua menjadi sia-sia belaka, nothing, life is meaningless. Tanpa harapan, apa gunanya berusaha? 

Sangat mudah merasa kehilangan harapan terhadap job, kehidupan atau bahkan mungkin stamina hidup. Banyak orang -- entah pebisnis, pengusaha, pemusik, politikus, dll -- mulai mengeluh, putus asa dan cemas, yang cenderung mengantar mereka pada floatiang hope (harapan yang mengambang). Jessica dalam hal ini juga termasuk orang yang tengah kehilangan harapan.

Ia menaruh target terlalu tinggi dan hasilnya tak tersentuh. Banyak orang juga mengalami hal serupa. Akan tetapi, orang perlu melihat hal-hal lain dalam diri -- belum mengeksplorasi seluruh kemampuan yang ada. Ketika kita fokus pada satu hal, maka secara ototmatis kita juga tengah menegasi yang lain. 

Hemat saya, Jessica terlalu fokus pada satu hal dalam dirinya; padahal banyak hal yang bisa ia lakukan dan memberi hasil yang baik. Kecenderungan untuk mencapai hal-hal yang sifatnya "wow" di zaman sekarang semacam menjadi trend yang digandrungi siapa saja.

Seolah-olah, jika kita tidak membuat sesuatu yang sifatnya gebiyar, orang tidak menunjukkan perhatian dengan kita. Lacking of appreciation adalah fokus problem Jessica. Ia lupa bahwa hal-hal kecil yang telah dibuatnya selama sebelumnya adalah fondasi kokoh atas impian yang tengah dikejarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun