"Pengertian anak terlantar harus diperluas, yakni bukan hanya anak-anak yang tidak mempunyai orangtua, melainkan juga anak-anak yang berada dalam asuhan yang salah kedua orangtuanya!"
Manusia abad ini kini memasuki realitas dunia yang berbeda. Semuanya serba gampang. Kehadiran alat-alat teknologi adalah sebuah sumbangan positif bagi manusia sebagai penemu. Akan tetapi, manusia sendiri terus terjerumus dibawa masuk oleh medan magnetik arus globalisasi yang mengantarnya pada iklim gersang nilai moral.
Dengan kata lain, musuh besar moralitas adalah globalisasi. Pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai moral selalu lahir dari penyalahgunaan alat-alat teknologi. Kehadiran alat teknologi sebagai temuan yang memudahkan kerja manusia malah jatuh pada model berhala baru.
Kultur Sign In dan Sign Out
Realitas yang ditandai dengan maraknya penggunaan barang-barang elektronik pun, menciptakan ruang gerak semu, namun terjangkau dengan mudah. Kehadiran gadget sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kadang membuat banyak orang terantuk dan jatuh. Kehadiran teknologi boleh jadi adalah sebuah upaya memperpendek persentuhan. Persentuhan yang dikebiri, membuka ruang penafsiran yang chaos akan suatu objek. Orang cepat menghakimi sesuatu tanpa harus mengecek terlebih dahulu.Â
Orang dengan bangga merajam sesamanya di media sosial -- menggunakan ayat-ayat tertentu -- tanpa tahu latar belakang persoalannya. Dan, akhirnya orang dengan gampang menggambarkan realitas yang semu dan mengklaim bahwa yang riil adalah klise, dan yang berada di luar realitas persentuhan dan pengecap; itulah yang riil.
Era gadget victorian (kemenangan perkakas elektronik) selalu membuat orang was-was dengan dirinya sendiri. Orang merasa asing dengan dirinya sendiri dan di saat yang sama merasa akrab dengan dewa-dewa baru seperti samsung, asus, lenovo, advon dan lain-lain.
Sebuah tautan antara tuan baru (gadget) dan budak baru (manusia) dilaunching di era kemenangan gadget. Kehadiran perkakas elektronik ini pada hakekatnya juga membuat manusia mengurung diri. Jika seseorang ingin tampil di depan publik ia harus menggunakan password untuk sign in.Â
Sign in adalah sebuah imperatif memasuki dunia semu, di mana segala jenis tawaran dimuat dalam etalase tanpa sensor atau filter. Hal ini mirip kebiasaan memilih barang-barang di supermarket -- semua orang boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan sign out adalah sebuah bentuk imperatif menarik diri, jika sesorang merasa jenuh atau bosan dengan dunianya sendiri (dunia daring).
Dua bentuk imperatif ini menjadi hal yang selalu menempel pada benak  setiap orang. Khawatirnya, gadget dan prosedur sign in dan sign out di atas diformat untuk berbagai kebutuhan, termasuk dalam hal ini adalah upaya pendidikan iman atau pewarisan iman bagi generasi futuris.
Genangan Realitas
Dalam sebuah kesempatan, saya berhasil memotret sebuah genangan realitas. Dalam jepretan kameraku tertangkap dua objek -- seorang anak ditemanin ayahnya -- sedang bermain gadget. Keduanya bak dua orang asing. Tak ada komunikasi. Keduanya supersibuk. Mata mereka tertuju pada sebuah layar yang memancing mata dan tangan 'tuk tidak lekas berpamitan.
Melihat dua orang yang sangat akrab dengan dunianya, muncul berbagai sari penafsiran dalam benak saya, "Seperti inikah model penerusan iman di era kemenangan gadget atau sign in dan sign out? Jika ya, berarti ini adalah sebuah tantangan bagi Gereja terutama dalam membantu memberi pendidikan dalam keluarga Kristiani -- kerasulan keluarga harus dipupuk kembali dan diberi pagar. Â
Budaya pengendoran fungsi kontrol orangtua atas buah hati adalah sebuah bentuk pengabaian. Agar orangtua merasa nyaman dengan dunianya sendiri, ia pun berinisiatif, membelikan anaknya sebuah dunianya sendiri berupa perkakas elektronik.Â
i sini pemisahan terjadi. Aspek kontrol dan fungsi pendidikan luntur dan gembos dibebani oleh banyaknya pikiran atau ketergantungan penuh pada the new god (gadget). Ironisnya, ada orangtua -- yang dalam beberapa kesempatan saya jumpai -- memarahi, memukul, serta mengabaikan anak hanya gara-gara berebutan gadget. Pada tahap ini, gadget disulap menjadi anak sulung plus anak bungsu baru dalam hitungan keluarga batih.
Kultur Mendongeng
Pendidikan sebenarnya harus mendapat orientasi positif mulai dari kecil. Oleh karena itu, kita menyebut keluarga sebagai sekolah pertama. Pembentukan pendidikan, baik karakter maupun kepribadian anak, ditempah dalam tanur dapur pertama, yakni keluarga.
Jika institusi, pendidikan pertama ini melenceng dari trail utamanya, -- membiasakan anak menghabiskan waktu untuk bermain game, memegang tablet -- ke mana arah pendidikan anak? Kebiasaan buruk ini, suatu saat akan memengaruhi mindset dan perilaku anak futuris.Â
Anak jadi misorientation, kehilangan sahabat bermain, menjadi orang yang introvert di kemudian hari dan mengalami degradasi moral. Seharusnya, yang dibekali bagi seorang anak adalah pendidikan akhlak, budi pekerti, moral dan iman anak.
Tak jarang kita menyaksikan begitu banyak orang yang tetap sibuk dengan gadget saat merayakan ekaristi. Menurut para gadget maniak, sehari bahkan semenit tanpa perkakas elektronik seperti mau mati rasanya. Rasanya hidup ini tidak penting, tidak asyik, tidak memberi apa-apa tanpa samsung galaxy, lenovo, asus, hp, apel, dll.
Potret yang saya ulas dalam genangan realitas di atas adalah sebuah peringatan sekaligus ungkapan keprihatinan atas iklim pendidikan iman di era sign in dan sign out ini. Manusia merasa senang menjadi budak gadget, dan lupa akan tugas utamanya sebagai pendidik generasi futuris kelak, yakni anak-anak.
Keprihatinan global adalah ketakutan akan gembosnya fungsi kontrol orangtua atas anak-anak mereka. Orang berlomba-lomba memperkenalkan serta launching handphone baru daripada launching gagasan atau ide yang memantapkan iman generasi muda.Â
Anak diperkenalkan pada dewa baru dengan segala kekuatan giga baitnya. Apakah Gereja melihat simtom seperti ini sebagai sebuah bentuk kemajuan pewarisan iman, sehingga ketika melihat potret tunas Gereja seperti enggan berkomentar?
Maka, hemat saya sejatinya keluarga perlu menghidupkan kembali kultur mendongeng. Melalui cerita-cerita yang sarat pesan moralnya, anak-anak akan mudah menangkap benang merah yang disuguhkan dari setiap cerita.
Mendongeng juga tentunya menghidupkan bakat filosofis anak, yakni bertanya -- anak-anak merasa penasaran dengan isi cerita atau kelanjutannya. Selain mengasah bakat filosofis, latihan untuk mendengarkan dibiasakan sehingga mudah menangkap pesan edukatif di sekolah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H