Dalam sebuah kesempatan, saya berhasil memotret sebuah genangan realitas. Dalam jepretan kameraku tertangkap dua objek -- seorang anak ditemanin ayahnya -- sedang bermain gadget. Keduanya bak dua orang asing. Tak ada komunikasi. Keduanya supersibuk. Mata mereka tertuju pada sebuah layar yang memancing mata dan tangan 'tuk tidak lekas berpamitan.
Melihat dua orang yang sangat akrab dengan dunianya, muncul berbagai sari penafsiran dalam benak saya, "Seperti inikah model penerusan iman di era kemenangan gadget atau sign in dan sign out? Jika ya, berarti ini adalah sebuah tantangan bagi Gereja terutama dalam membantu memberi pendidikan dalam keluarga Kristiani -- kerasulan keluarga harus dipupuk kembali dan diberi pagar. Â
Budaya pengendoran fungsi kontrol orangtua atas buah hati adalah sebuah bentuk pengabaian. Agar orangtua merasa nyaman dengan dunianya sendiri, ia pun berinisiatif, membelikan anaknya sebuah dunianya sendiri berupa perkakas elektronik.Â
i sini pemisahan terjadi. Aspek kontrol dan fungsi pendidikan luntur dan gembos dibebani oleh banyaknya pikiran atau ketergantungan penuh pada the new god (gadget). Ironisnya, ada orangtua -- yang dalam beberapa kesempatan saya jumpai -- memarahi, memukul, serta mengabaikan anak hanya gara-gara berebutan gadget. Pada tahap ini, gadget disulap menjadi anak sulung plus anak bungsu baru dalam hitungan keluarga batih.
Kultur Mendongeng
Pendidikan sebenarnya harus mendapat orientasi positif mulai dari kecil. Oleh karena itu, kita menyebut keluarga sebagai sekolah pertama. Pembentukan pendidikan, baik karakter maupun kepribadian anak, ditempah dalam tanur dapur pertama, yakni keluarga.
Jika institusi, pendidikan pertama ini melenceng dari trail utamanya, -- membiasakan anak menghabiskan waktu untuk bermain game, memegang tablet -- ke mana arah pendidikan anak? Kebiasaan buruk ini, suatu saat akan memengaruhi mindset dan perilaku anak futuris.Â
Anak jadi misorientation, kehilangan sahabat bermain, menjadi orang yang introvert di kemudian hari dan mengalami degradasi moral. Seharusnya, yang dibekali bagi seorang anak adalah pendidikan akhlak, budi pekerti, moral dan iman anak.
Tak jarang kita menyaksikan begitu banyak orang yang tetap sibuk dengan gadget saat merayakan ekaristi. Menurut para gadget maniak, sehari bahkan semenit tanpa perkakas elektronik seperti mau mati rasanya. Rasanya hidup ini tidak penting, tidak asyik, tidak memberi apa-apa tanpa samsung galaxy, lenovo, asus, hp, apel, dll.
Potret yang saya ulas dalam genangan realitas di atas adalah sebuah peringatan sekaligus ungkapan keprihatinan atas iklim pendidikan iman di era sign in dan sign out ini. Manusia merasa senang menjadi budak gadget, dan lupa akan tugas utamanya sebagai pendidik generasi futuris kelak, yakni anak-anak.
Keprihatinan global adalah ketakutan akan gembosnya fungsi kontrol orangtua atas anak-anak mereka. Orang berlomba-lomba memperkenalkan serta launching handphone baru daripada launching gagasan atau ide yang memantapkan iman generasi muda.Â