Yang pasti adalah bukan konsensus sebagaimana dalam arti formal seperti harus melakukan nota kesepakatan tertentu. Habermas lebih memaksudkan sebuah konsensus yang rasional.Â
Bila kita mengerti secara sederhana konsensus Habermasian, kita sebenarnya diberitahu bahwa setiap klaim tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, kejujuran, perlu memiliki bobot rasional bagi semua yang terlibat dalam komunikasi interpersonal tersebut.
Jika kita berkaca pada lahan rumah kita (Indonesia), sejauh ini banyak problematika politik yang mengabsurdkan sejarah bangsa dan masa depannya. Rumah sendiri bahkan menjadi ajang perang tanding, tempat srigala birokrat bersarang, dan emblem-emblem lain yang sejenisnya.Â
Tragisnya lagi, yang dipercayai itu, melahap kepunyaan orang lain dan uniknya pelahapnya tetap berkeliaran sambil menjinjing tas kecil berisi ribuan U$$ dollar serta triliunan rupiah, ludes! (sketsa kasus korupsi yang melibatkan dua menteri dan beberapa kepala daerah).
Dalam hal ini diskursus pedagogi politik, seharusnya diutamakan. Diskursus bukan hanya sebuah bentuk komunikasi, melainkan paradigma emansipatoris (paradigma pembebasan) dari keterbelengguan kepalsuan.Â
Refleksi trobosannya adalah bagaimana Indonesia bisa berada dalam wilayah hitam seperti sekarang ini. Apakah para founding fathers kita konon telah membungkus aneka macam delik geliat politik kotor seperti ini --sejarah generasi yang membuahkan penerus tak bertanggung jawab-- dan baru terkupas di tengah perjalanan arus post modern?
Ataukah para elite politik negara kita salah menerjemah wejangan Jasmerah dari mereka yang berusaha membawa negara ini menuju kemerdekaan totem pro parte?Â
Penelusuran sampai terhenti, jangan sampai pengupasan polemik atas kebingungan universal ini menjadi tragedi berdarah yang dialami tokoh kritis abad ini (almarhum Munir).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H