Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Belajar Menerapkan Kebijakan Politik dari Angela Merkel

10 Desember 2020   07:51 Diperbarui: 11 Desember 2020   19:54 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pidato Kanselir Angela Merkel di depan anggota parlemen Jerman pada Rabu (09/12), yang disebut oleh pakar penuh pesan personal dan emosional.(DW Indonesia via Kompas.com)

"Sungguh pahit. Sebagai pemimpin partai dan sebagai kanselir, saya bertanggung jawab", kata Merkel. Kekalahan Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) adalah sinyal awal kelesuan humanisme Merkelian menjadikan Jerman sebagai "Tanah Terjanji" bagi para imigran dan pengungsi. 

Akankah Merkel dipilih lagi sebagai Kanselir Jerman untuk keempat kalinya dengan modal Pintu Terbukanya? Sebuah pertanyaan diam.

Kehadiran Merkel dengan berbagai kebijakan super-teritorinya menggerayangi banyak pemimpin dunia. Sosok Merkel disebut-sebut sebagai estafet tradisi filosofis humanis, Immanuel Kant, Habermas, dan Ficthe. Dosa asal yang dibawa bangsa Arya-Jerman, oleh karena pembantaian massal diktator yang tidak pernah dilafal salah sepanjang sejarah, Adolf Hitler, pelan-pelan dipurifikasi oleh Merkel atas bangsa asing, orang Yahudi-Jerman.

Ras Arya bahkan menyebut orang-orang Yahudi sebagai parasit, yakni mau mendapatkan kemakmuran dari Jerman, tetapi menolak membela negara dengan berperang. 

Oleh karena itu, Hitler mengkalim orang-orang Yahudi sebagai sekelompok imigran yang merugikan plus merusak Jerman. Tentunya kehadiran Angela Merkel, dilihat sebagai sebuah pembelaan atas mereka yang tengah eksodus dari selatan. Tradisi absolutisme dan tiranisme Hitlerian tidak lagi menggenang dalam sanubari rakyat Jerman. Inilah sebuah prospek-optimistis.

Akan tetapi, kekhawatiran akan tradisi humanis Merkel mulai digempa ketika Gerakan anti imigrasi, Warga Eropa Patriot Menentang Islamisasi di Barat (PEGIDA), di Dresden Jerman, Senin (12/1/2015), melakukan unjuk rasa. Mereka menentang kebijakan Merkel yang memberi kelimpahan ruang bagi imigran dan pengungsi terutama yang datang dari Timur Tengah. 

Kehadiran imigran -terutama dipancing oleh isu teror Paris, kantor Majalah Satire, Charlie Hebdo (7/1/2015)- menjadi semacam mastermind dari segala kekalutan dan kecemasan Eropa.

Di sini Islam semakin terpojok. Negara-negara Eropa segera menerapkan kebijakkan rigid atas warga asing (imigran dan pengungsi) yang mencari suaka di rumahnya. Tak terkecuali Jerman. 

Di Jerman isu Islamphobia melilit kebijakan politik Merkel. Hal ini, tentunya seakan mencairkan kembali ingatan publik akan kebrutalan rezim Hitler. Anti-semit atau anti-zionis berganti cadar menjadi anti-pengungsi dan anti-imigran. Apakah konferensi di Nurenberg, The Final Solution mulai berlaku kembali usai hijrahnya Merkel?

Penyebab kekalahan Merkel dalam Pemilu regional Jerman sejak Maret 2014 lalu dipicu oleh kebijakannya untuk menjadikan Jerman sebagai "Tanah Kanaan" bagi para imigran dan pengungsi. 

Puncak kekhawatiran rakyat Jerman atas membanjirnya imigran dan pengungsi di Jerman adalah empat aksi teror belakangan; salah satunya teror di sebuah bar di Ansbach, Bavaria pada Juli 2016 lalu.

Kebijakan menampung satu juta migran di Jerman pada Januari 2015 lalu membuka peluang bagi partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) untuk menyerang kubu Merkel. Atas kekalahan premature ini, Merkel lantas bertanggung jawab. 

"Sungguh pahit. Sebagai pemimpin partai dan sebagai kanselir, saya bertanggung jawab", kata Merkel dalam pidato "pengakuan salah" yang jarang terjadi (Kompas, Minggu, 25 September 2016). Pidato pengakuan Merkel ini akhirnya menjadi manuver utama AfD untuk menggedor nurani rakyat Jerman. Kampanye utama AfD saat ini adalah mengenai xenophobia dan kampanye kebencian terhadap migran.

Selama ini Merkel disebut sebagai lokomotif penggerak arah UE. Sinyal kekalahan Merkel tentunya menggoncangkan posisinya sebagai penentu berbagai kebijakan selama lebih dari satu dekade, di mana Merkel terlibat dalam kesepakatan UE-Turki soal pengungsi, menjadi kunci di saat UE menghadapi krisis euro, menjadi penentu embargo UE terhadap Rusia atas pendudukan Cinema serta menjadi pengagas peta jalan Bratislava mengenai masa depan UE pasca Brexit, masalah keamanan, persatuan dan migran.

Merkel yang pernah dinobatkan sebagai Person of the Year (2015) oleh Majalah Time, kini mendapat tekanan kuat dan berpegaruh pada wibawanya sebagai penentu kebijakan UE. Hingga kini, Merkel tetap mendesak negara-negara Eropa Tengah untuk menerima sistem kuota bagi para pengungsi dan imigran. 

Bersama Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier, Merkel menyatakan bahwa krisis pengungsi tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, hal ini terkait dengan penolakan negara-negara tetangga, seperti Hongaria dan Slovakia atas keputusan kantong kuota pengungsi dan migran. Hingga September 2015 kemarin, Jerman telah berencana menerima 31.000 imigran, prancis 24.000, Spanyol 15.000 dan Inggris 20.000.

Humanisme Merkelian memang tetap optimis untuk membuka mata dunia terhadap masalah kemanusiaan. Pernyataan paling mengugah terhadap krisis pengungsi adalah "Sekarang, lawan dari cinta bukan lagi kebencian, melainkan ketidakpeduliaan!" Ketidakpedualian adalah masalah kemanusiaan saat ini. 

Sistem keamanan manusia zaman sekarang, bahkan tidak lagi ditemukan dalam kehangatan kebersamaan, akan tetapi diserahkan sepenuhnya pada teknologi (CCTV), anjing galak, pagar-tembok tinggi dan satpam.

Seruan humanis Merkel untuk peduli mengenai problem kemanusiaan juga dilontarkan oleh pemimpin agama Katolik, Paus Fransiskus. "Setiap umat dan komunitas keagamaan sebaiknya menampung satu keluarga migran", kata Paus. Eropa mulai kebanjiran pengungsi dan migran semenjak Perang Sipil (civil war) yang terjadi di Suriah pada 2011.

Sebagai negara yang demokratis dan mengedepankan tolerasi, Merkel mengajak publik untuk mempraktikkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ia tidak ingin apa yang digagaskan dalam ideologi bangsanya tidak pernah diperistiwakan. 

Hemat saya, humanisme Merkelian bukan propagandis, melainkan suatu keterlibatan. Artinya, apa yang digagaskan harus dipraktikan. Merkel tidak hanya menyerukan, tetapi juga merangkul kaum imigran yang masuk ke wilayahnya. Merkel telah menyadarkan Eropa.

Merkel telah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan Eropa, semangat bela rasa yang pernah ada yang belakangan terkubur oleh semangat sekularisme. 

Perasaan curiga terhadap imigran Timur Tengah memang menjadi-jadi usai tragedi 9/11 di WTC, AS. Politik martabat sangat dilandasi oleh kepentingan pragmatis: politis dan ekonomis. Membuka pintu bagi pengungsi membuat citra Jerman di Eropa semakin tinggi. Secara ekonomis kedatangan imigran adalah mendongkrak jumlah tenaga kerja yang hilang dari waktu ke waktu.

Secara ekonomis, politis dan moral kebijakan Jerman diterima. Perkiraan tahun 2025 Jerman akan mengalami krisis demografis karena berkurangnya jumlah penduduk: makin banyak orang tua dan semakin sedikit orang muda. 

Kehadiran imigran dan pengungsi adalah investasi masa depan Jerman menghadapi krisis demografi. Hal ini tentu berada dalam agenda Merkel sebagai lokomotif Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun