Diskursus tentang generasi milenial dewasa ini tidak dapat dihindari mengingat dominannya populasi mereka di tengah masyarakat. Pemahaman yang komprehensif tentang karakteristik khas mereka akan memeberi kontribusi besar bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat.Â
Akan tetapi, partisipasi mereka dalam dunia politik kadang menemui berbagai tantangan. Tantangan ini berupa intensitas kualitas demokrasi dan bagaimana proses pemasaran strategi politik (marketing politic). Â
Keberadaan generasi milenial memang menumbuhkan spirit baru dalam berdemokrasi. Animo ini boleh kita apresiasi, sebab banyak pihak mengakui bahwa dunia politik Indonesia selama ini haus akan pemimpin dengan elektabilitas tinggi.Â
Hal ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas calon pemimpin yang diusung oleh partai politik (parpol) dan barangkali juga calon yang diusung oleh parpol hanya mampu menjawab kepentingan primordial.Â
Untuk itulah para milenial sepertinya ingin mencari sendiri calon pemimpin mereka, dengan cara terjun langsung ke dalam dunia politik lewat partisipasinya dalam gerakan kerelwanan.
Akan tetapi, di satu sisi, kita perlu mengkritisi keberadaan milenial dalam hubungannya dengan kualitas demokrasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.Â
Pertama, semangat fly together merupakan bahaya yang mungkin sulit terdeteksi. Kecenderungan berprinsip 'yang penting hadir' membuat demokrasi tetap akan berjalan di tempat, karena tidak ada aksi nyata yang dituangkan lewat kehadirannya.Â
Milenial ditandai dengan banyaknya pemilih muda, disebut memiliki potensi kekuatan politik di luar partai politik, namun  mereka cenderung tidak ingin ikut dalam dunia politik dan tidak ingin berpihak pada parpol manapun.
Kedua, sempitnya ruang diskusi. Arena politik di masa generasi milenial sejatinya berpindah ke ruang maya. Dari sini, ruang diskusi tidak memperluas pemahaman. Komentar-komentar yang pendek meminimalisir diskusi berkualitas dan komprehensif.Â
Ketiga, pertemanan di dunia maya cenderung beralas slogan "sepikir dan sepaham." Tendensi berpikir yang sama ini, membuat apa yang dikatakan satu pihak akan dengan mudah diiyakan oleh yang lain. Ketidakhadiran pemikiran yang kontra mengakibatkan diskusi tidak  hidup.
Marketing Politik
Branding politik adalah salah satu strategi untuk memenangkan sebuah pesta demokrasi. Ibarat pasar, konstituen adalah pembeli (target market), sedangkan kandidat adalah merk atau produk yang siap dipajang di etalase politik. Untuk memenangkan konstituen milenial, diperlukan startegi political marketing yang benar dan tepat sasaran.
Political marketing adalah suatu kegiatan pemasaran politik untuk menyukseskan kandidat atau parpol dengan segala aktivitasnya. Dalam merebut pangsa pemilih di bursa efek kandidat, ada beberapa strategi trobosan yang menjadi pertimbangan penting yang perlu diperhatikan.Â
Hemat saya, ada tiga tantangan yang akan dihadapi oleh seorang kandidat ketika berhadapan dengan partisipasi generasi millenial di dunia maya, antara lain segmentasi, strategi, dan scorecard.Â
Pertama, segmentasi pemilih merupakan tahap pertama strategi pemasaran politik yang paling penting, tapi seringkali dilewatkan. Segmentasi yang paling mudah dilakukan adalah berbasis demografi (usia dan gender), dan geografi. Menurut Gareth Smith dan Andy Hirst, model segmentasi pemilih di dunia saat ini sudah berbasis psikografi.
Kedua, tantangan berkaitan dengan strategi. Strategi politik adalah salah satu bahan baku untuk merebut pemilih milenial. Ada tiga kriteria yang diperlukan berkaitan dengan strategi ini, yakni besarnya jumlah pemilih, tingkat persaingan, dan daya jual politik (kandidat dan parpol). Kriteria ini membantu proses pembuatan strategi marketing politik.Â
Proses penyusunan strategi sejatinya memasukkan elemen-elemen berikut: 1) upaya kandidat menempatkan citranya di benak pemilih (positioning), 2) upaya kandidat memengaruhi pemilih dengan mengemas produk kandidat dan parpol layak jual -- termasuk di sini berkaitan dengan slogan dan simbol yang digunakan, dan 3) distribusi produk politik ke konsumen, yakni dengan campaign. Kampanye politik adalah salah satu senjata yang dipakai untuk memenangkan produk politik tertentu (kandidat dan parpol).
Kampanye bisa dilakukan melalui "serangan udara" (media cetak dan elektronik) dan juga "serangan darat", yakni melalui tatap muka dengan pemilih. Berhadapan dengan generasi milenial, seorang kandidat perlu mempertimbangkan penggunaan internet dan media sosial sebagai infrastruktur memenangkan kampanye.Â
Dengan kata lain, kampanye harus mampu merangkul semua masyarakat, baik societas online maupun societas offline. Ketiga, upaya evaluasi dan pemantauan (scorecard).Â
Evaluasi dan monitoring sangat penting untuk memantau kinerja tim pemasaran politik dan sebagai bahan masukan untuk perbaikan implementasi strategi pemasaran politik berikutnya.
Lalu bagaimana dengan pendidikan politik dan peranan partai politik yang melibatkan generasi milenial? Tantangan lain yang dihadapi ketika berpapasan dengan generasi milenial adalah bagaimana pendidikan politik dikembangkan dan bagaimana peranan parpol dalam memberikan political education. Selama ini, Indonesia cenderung belajar mekanisme politik dan cara berdemokrasi hanya melalui materi politik yang diolah oleh sebuah parpol.
Problemnya, banyak partai politik yang masih mengusung gagasan lama atau orientasi politik masa lalu hingga sekarang. Keterhubungan dengan orientasi politik masa lalu -- katakanlah Orde Baru yang masih menyimpan stok kroni-kroni koruptif -- membuat masyarakat akan selalu terbius untuk menyetujui produk politik demikian. Bahkan, masyarakat akan merasa terbiasa dengan model politik yang koruptif dan primordial. Bagaimana menjembatani spasi transisi ini?
Partai politik sejatinya tidak akan melepaskan begitu saja orientasi politiknya ketika berhadapan dengan konsumen baru, yakni generasi milenial. Walaupun generasi milenial memiliki interes pada produk politik yang memiliki kualitas bagus, sebuah parpol akan tetap memperhatikan kepentingan orientasi politiknya masing-masing.
Generasi milenial sebagai konsumen baru memang tidak mudah untuk ditaklukkan sebagai pelanggan tetap produk politik tertentu, akan tetapi pengaruh mereka sebagai pemilih mayoritas memaksa partai politik untuk membuat gerakan baru dengan memenuhi keinginan mereka. Di sini, sebuah parpol, mau tidak mau harus bekerja keras untuk memengaruhi pasar konsumen terbanyak.
Tantangan lain yang juga perlu disikapi secara serius berhadapan dengan partisipasi generasi milenial dalam berdemokrasi dan politik adalah terobosan partai baru yang dikelola secara pribadi atau kelompok.Â
Warga daring dalam hal ini bisa saja menjadi ketua partai tertentu dengan membuat sebuah situs atau grup tertentu di cyberspace. Seorang yang melek teknologi bisa saja mendirikan sebuah partai baru dan dalam sekejap bisa merangkul ratusan anggota partai. Prosesnya tidak serumit partai-partai politik pada umumnya.
Partai cyber tidak melihat latar belakang, kualitas anggota partai atau berapa jumlah kontribusi finansial seseorang terhadap kemajuan partai, akan tetapi orientasinya lebih pada hal kepatuhan atau ketaatan -- apakah seseorang taat pada ketentuan atau ideologi yang digagas dan seberapa banyak yang menglike partai atau kelompok tersebut. Ketika partai cyber bermanuver, partai-partai politik dengan sistem kepengurusan nyata, merasa tersaingi dan terbebani. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H