Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kualitas Demokrasi dan Marketing Politik di Tangan Generasi Milenial

9 November 2020   11:00 Diperbarui: 9 November 2020   11:07 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Problemnya, banyak partai politik yang masih mengusung gagasan lama atau orientasi politik masa lalu hingga sekarang. Keterhubungan dengan orientasi politik masa lalu -- katakanlah Orde Baru yang masih menyimpan stok kroni-kroni koruptif -- membuat masyarakat akan selalu terbius untuk menyetujui produk politik demikian. Bahkan, masyarakat akan merasa terbiasa dengan model politik yang koruptif dan primordial. Bagaimana menjembatani spasi transisi ini?

Partai politik sejatinya tidak akan melepaskan begitu saja orientasi politiknya ketika berhadapan dengan konsumen baru, yakni generasi milenial. Walaupun generasi milenial memiliki interes pada produk politik yang memiliki kualitas bagus, sebuah parpol akan tetap memperhatikan kepentingan orientasi politiknya masing-masing.

Generasi milenial sebagai konsumen baru memang tidak mudah untuk ditaklukkan sebagai pelanggan tetap produk politik tertentu, akan tetapi pengaruh mereka sebagai pemilih mayoritas memaksa partai politik untuk membuat gerakan baru dengan memenuhi keinginan mereka. Di sini, sebuah parpol, mau tidak mau harus bekerja keras untuk memengaruhi pasar konsumen terbanyak.

Tantangan lain yang juga perlu disikapi secara serius berhadapan dengan partisipasi generasi milenial dalam berdemokrasi dan politik adalah terobosan partai baru yang dikelola secara pribadi atau kelompok. 

Warga daring dalam hal ini bisa saja menjadi ketua partai tertentu dengan membuat sebuah situs atau grup tertentu di cyberspace. Seorang yang melek teknologi bisa saja mendirikan sebuah partai baru dan dalam sekejap bisa merangkul ratusan anggota partai. Prosesnya tidak serumit partai-partai politik pada umumnya.

Partai cyber tidak melihat latar belakang, kualitas anggota partai atau berapa jumlah kontribusi finansial seseorang terhadap kemajuan partai, akan tetapi orientasinya lebih pada hal kepatuhan atau ketaatan -- apakah seseorang taat pada ketentuan atau ideologi yang digagas dan seberapa banyak yang menglike partai atau kelompok tersebut. Ketika partai cyber bermanuver, partai-partai politik dengan sistem kepengurusan nyata, merasa tersaingi dan terbebani.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun