Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Korea Selatan: Songdo, Busan, Romantisme, Tegangan (Part II)

1 November 2020   08:22 Diperbarui: 1 November 2020   08:31 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Busan -- wallpaper industri Korsel. Busan adalah salah satu kota pusat sirkulasi ekonomi, budaya, dan pendidikan di Korsel. Busan semacam wallpaper yang paling menarik ketika pertama kali melihat Korsel. 

Busan dirancang dengan profil kota pelabuhan dagang dan menjadi episentrum industri di Korsel. Seluruh nadi ekonomi-industri Korsel berpusat di Busan. 

Selain dirancang sebagai Economic Zone, Busan juga menyuguhkan berbagai festival yang tak kalah menarik, seperti Festival Film Busan dan Festival Kembang Api. Pusat perbelanjaan dan wahana rekreasi juga 'menggerayang' kelima indera. 

Untuk sampai ke Busan, kita bisa menggunakan pesawat dari bandara Gimhae. Sedangkan jalur darat dapat ditempuh dengan metro atau subway selama dua jam dan bus selama lima jam.

Eksplorasi habis-habisan di Busan saya selesaikan bersama kedua teman saya, Do yeon dan Soo hyun. Saya dikeperkenalkan dengan dua situs terkenal di Busan, yakni pulau Oryuk dan pulau Eulsuk. Pulau Oryuk memiliki cerita yang sangat menarik -- oleh karenanya pulau Oryuk menjadi simbol kota Busan.

Ketika air pasang, sejatinya kita hanya menyaksikan satu pulau sebagai maskot Busan. Akan tetapi, jika air surut, keajaiban mulai nampak dimana enam pulau ikut menyapa. 

Di sudut kota Busan, kita juga bisa berkelana di pusat perbelanjaan Singsegae -- pusat perbelanjaan terbesar setelah Departement Store of Macy's di New York. 

Ada ratusan tempat belanja yang ditata apik dalam sebuah gedung berlantai 23 itu. Di depan pintu Singsegae, terpampang juga tulisan "Take off your fearness!" Memang seharusnya demikian ketika memasuki pusat perbelanjaan gede seperti Singsegae -- ketakutan perlu ditanggalkan.

Romantisme & Tegangan

Ketika menyaksikan film-film besutan sutradara sekaligus berlatar Korea Selatan, semua orang pasti terperanjat. Ada-ada saja aneka percakapan yang enak didengar dan renyah dikunyah lidah warga manapun. 

Misalnya panggilan oppa, ha ji ma, nado, atau saranghae. Ini semua made in Korea. Perlu diketahui, di tahun 1960-an, Korea Selatan tidak lebih dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. 

Akan tetapi, memasuki tahun 1980-an, Korea Selatan mulai berbenah. Salah satu faktor penunjang perekonomian Korsel adalah industri perfilman yang kini cukup kuat bersaing dengan film-film Hollywood.

Penulis asal Inggris sekaligus panel juri Film Kompetisi International Film Festival & Awards Macau, Lawrence Osborne, mengemukakan pendapatnya mengenai dunia perfilman. 

Menurutnya, berkaitan dengan industri perfilman, sejatinya kita perlu belajar banyak dari Korea Selatan. Industri perfilman Korea Selatan, kini telah menyaingi industri film Hollywood. Korea Selatan, menurutnya, berusaha mengcover perkembangan dunia perfilman dengan memperbanyak produksi film lokal.

Korea Selatan memagari negaranya dari "serangan" film Hollywood dengan cara memperbanyak produksi film dalam negeri. Dari sinilah tumbuh pesatnya pasar film Korea. Menurut Osborne, Korea Selatan di era 1950-an bukanlah negara kaya. 

Saat itu, perekonomiannya di bawah Thailand, bahkan setara dengan beberapa negara di Benua Hitam. Akan tetapi, memasuki era 1970 -- 1990-an, Korea Selatan semakin berbenah dan tak sanggup dikejar. 

Melejitnya produksi film Korea, kini dipayungi pemerintah. Pemerintah Korea Selatan, dalam hal ini, tak tanggung-tanggung mengucur biaya extra dalam mendukung produksi film hingga sekarang.

Film-film Korea juga menyuguhkan kesan-kesan romantis -- ya mungkin akrab dengan suasana hati orang Asia pada umumnya. Ketika menyaksikan langsung orang-orang Korea berbicara, agaknya saya tengah bermain dalam film Love Forecast (2015). Saya hanya bisa melempar senyum sambil mengacungkan jempol ketika mereka berbicara.

Jalan-jalan diapit oleh tiga Korean Unnie memang kece. Seperti perempuan Korea lainnya, Soo hyun, Yeain, dan Do yeon selalu memperhatikan penampilan. Waktu jalan-jalan seringkali displit hanya karena ketiganya kelamaan. 

Ya, maklum bagi kebanyakan perempuan Korea, make up adalah sarapan pertama sebelum mereka benar-benar sarapan. Tak lengkap jika nongkrong di tempat-tempat tertentu tanpa soju -- minuman khas orang Korea. 

Ketika pertama kali meneguk soju, suasana hati dan pikiran serasa seperti berada di bubungan Burj Khalifa sambil memandang keindahan panorama The Palm Tree Island di Dubai.

Di Korea semua orang merasa wajib menghidangkan soju sebagai seduhan percakapan. Patut diketahui minuman soju memiliki kadar alkohol berkisar 18 -- 20%. Berbahaya juga kalau kebanyakan minum, bro! Tapi karena sudah terbiasa, orang-orang Korea seringkali mencampur soju dan bir. Benar-benar nikmat bro!

Jalan-jalan di Central Park of Gangnam Psy membuka cakrawala saya kalau Gangnam merupakan tempat bermain orang-orang kaya. Tapi, saran saya, jika Anda pingin berdua'an dengan pasangan, sebaiknya di Busan. Di sana suasana romantis memang disetting dengan skala Asia. Pokoknya menarik. 

Saya sendiri akhirnya juga menyadari bahwa sebuah relasi perlu suasana dan tempat. Suasana sejatinya mengantar seseorang pada dalamnya relasi dan tempat menjadikan semua pembicaran dan kenangan saat ada bersama dimonumenkan. Musim dingin seperti sekarang adalah saat yang tepat 'tuk menyadap seluruh keindahan negeri Gingseng itu.

Jeju Island, walau sudah dikemas dalam list tour akhirnya terpaksa diganti dengan kunjungan ke daerah perbatasan saudara tetangga North Korea. Perjalanan kami cukup jauh ke wilayah utara dari Seoul. 

Akan tetapi, karena kecanggihan teknologi, berbagai hal pun disajikan secara cepat termasuk jarak tempuh perjalanan. Kami tiba di daerah perbatasan dua Korea sekitar pukul 11.00. 

Empat hari sebelumnya kedua pemimpin negara, yakni Kim Jong Un dan Moon Jae-in mengadakan gelar tikar membahas denuklirisasi dan berbagai persoalan seputar keamanan di Semenanjung Korea. 

Pertemuan keduanya sungguh memberi secercah sinar surya di sekujur Korean Penninsula. Kami juga disambut dengan lagu bertema mimpi perdamain dari sebuah band di Korsel - #OurWishIsUnification!

Di perbatasan, kami diperkenalkan dengan lorong kecil Zona Demiliterisasi. Demilitarized Zone (DMZ) merupakan The Dangerous Korean Border. And maybe it was the dangerous border in the world. DMZ yang menyetrum adrenalin memberi sinyal kepada para pengunjung agar tetap hati-hati. Safari hari ini memang menegangkan, seperti halnya tegangan yang dialami kedua negara.

Panjang DMZ sekitar 150m dan lebar sekitar 2,5m. Sebelum kami mulai diizinkan menyisir area dalam DMZ, kami diminta untuk menandatangani sebuah kertas yang bertuliskan Visitor Declaration. 

Beberapa isinya memuat pernyataan yang meminta persetujuan para pengunjung mengenai kaidah-kaidah tertentu, seperti potret "A Hostile Area" -- Possibility of Injury or Death as Direct Result of Enemy Action. Menegangkan! Petualangan memang demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun