Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arti Keselamatan dalam Ritus "Sky Burial" Buddhis-Tibetian

18 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 18 Oktober 2020   09:51 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernakah kalian menyaksikan tubuh orang yang meninggal dicacah lalu diberikan pada binatang untuk dimakan? Pernah gak kalian menyaksikan daging dan tulang kerabatmu yang telah meninggal dunia dipotong-potong, dicacah, dan diremuk? Bagi Buddhis Tibetian, hal ini adalah sebuah tradisi. Di sana ada ritual. Mereka menyebutnya pemakaman langit (sky burial).

Sky Burial adalah sebuah upacara pemakaman yang dilakukan oleh umat Buddhis-Tibet. Dalam upacara ini, seseorang yang telah meninggal dunia dibuatkan sebuah ritual khusus sebagai sarana untuk mencapai keselamatan. Pada dasarnya model pemakaman (sky burial) ditengarai oleh dua alasan utama, yakni alasan ekonomis dan alasan spiritual.

Alasan ekonomis ditengarai oleh dua hal, yakni 1) struktur tanah di daerah Tibet yang tipis dan penuh dengan bebatuan karang sehingga mempersulit penguburan jasad dan 2) ketiadaan kayu bakar untuk menerapkan model pemakaman jenis lain, misalnya pembakaran mayat. 

Sedangkan alasan spiritual menunjuk ke arah prospek keselamatan. Orang Buddhis-Tibet mempercayai bahwa roh orang dimakamkan dengan cara "sky burial" akan cepat mencapai nirvana. 

Orang-orang Buddhis-Tibetian menganggap ritual sky burial sebagai ritual kematian yang baik (good death). Dalam tulisannya, "Celebrating Life & Death," Rachel Sing-Kiat Ting menyebut "sky burial" sebagai "Good death of a terminally ill Tibetan survivor and how her sky burial modeled a cosmology and spirituality of celebrating death."

"Sky burial" dapat berarti membawa ke gunung atau ke bukit, di ketinggian (sky burial is "rir skyel" which means, literally, 'to carry to the mountain). Ritual pemakaman Buddhis-Tibet jenis ini, sejatinya dikendailkan oleh seorang "huofo" -- sebutan Buddha yang hidup bagi orang Tibet. Tahap pertama yang dilakukan disebut dengan istilah "phowa" -- ritual mengurus orang mati.

Ritual ini berkaitan dengan persiapan upacara pemakaman terakhir, yakni sky burial. Tahap kedua yang dilakukan adalah "rochag." Pada tahap ini, tubuh orang yang meninggal dibersihkan. 

Tugas dari anggota keluarga adalah melepaskan pakaian dari orang yang sudah meninggal, tetapi dengan tetap memperhatikan keutuhan tubuh -- dijauhkan dari berbagai benda-benda yang melukai tubuh saat prosesi "binding the body" (rochag).

Setelah dibersihkan, tubuh jenasah dibaluti dengan pakaian tertentu, mulut dan telinga jenazah diikat dengan kain sutra dan pengenaan perhiasan sebagai silih atas hal buruk yang dilakukan selama hidup. 

Setelah semua ini selesai, keluarga mulai berkonsultasi dengan lama -- guru ritus sky burial --  untuk membicarakan mengenai ritual pemakaman terakhir. Sebelum menuju pemakaman terakhir, jazad dikunjungi oleh "huofo" untuk didoakan dan dibacakan mantra.

Tahap ketiga adalah sky burial. Dalam perjalanan menuju tempat ritual, jasad yang hendak digunakan dalam ritual harus dipikul oleh anak laki-laki sulung atau anggota keluarga yang ditunjuk. 

Selain orang yang memikul jenazah, ada juga laki-laki tua yang mengapiti jenazah sambil membawa tongkat dan keranjang. Dua alat ini dipakai untuk mengusir roh-roh jahat dalam perjalanan. Anggota keluarga yang lain bersiap-siap di lokasi ritual sky burial sambil berdoa.

Biasanya ritual sky burial diadakan di atas bukit. Topografi Tibet yang penuh bebatuan membuat orang sulit untuk melakukan penguburan mayat ke dalam tanah. 

Batu-batu karang yang ada kemudian dipakai sebagai altar (the sky-burial site on the mountain top was close to the temple and had a large rock that served as the altar). 

Setelah diletakan di atas altar, tubuh jenazah ditaburi "zanba" -- Tibetan bread made from barley flour and yak butter tea is used to feed the birds (Kathryn Coster, "Tibetan Tantric Buddhism: Envisioning Death," (2010).

Jenazah yang sudah ditaburi "zanba" kemudian diasapi dengan tujuan mengundang burung-burung pemakan bangkai sebagai partner alam. Burung-burung pemakan bangkai dipercaya mampu mengantar roh jenazah mencapai keselamatan. Perjalanan akan jauh lebih cepat dengan bantuan burung burung-burung pemakan bangkai (vultures).

Sebelum diberikan kepada burung-burung pemakan bangkai, tubuh jenazah dipotong dengan ukuran kecil. Hal ini dilakukan agar burung-burung bisa mengkonsumsi daging jasad hingga habis. 

Selain daging, tulang-tulang jasad juga diremuk dan diberikan kepada burung pemakan bangkai. Dalam proses ini, simptom "well-recieved" atau diterima baiknya roh jasad, diketahui melalui semangat burung pemakan bangkai dalam mengkonsumsi.

Cara-cara burung-burung menikmati potogan tubuh dan remukan tulang yang disediakan adalah tanda bahwa jiwa seseorang diterima dengan baik atau tidak. Implikasi awal ini memberi gambaran pada proses selanjutnya, yakni orang yang telah meninggal dapat mencapai keselamatan atau tidak. 

Konon, katanya, daging yang dicacah dan diabaikan burung gagak dianggap pendosa. Ini hanya cerita dari mulut ke mulut. Setelah proses pemakaman -- sky burial -- keluarga dan para "huofo" mengadakan doa bersama. 

Upacara berkabung ini diakhiri dengan tanda mengangkat ibu jari oleh semua anggota keluarga sebagai simbol bahwa roh orang yang mati berbahagia (good death).

Ritual sky burial menunjukkan adanya kedekatan relasi antara manusia dan alam semesta. Agama Buddha memakanai alam sebagai partner atau sesama yang harus dilindungi. Hal inilah yang membuat orang Buddhis Tibet percaya bahwa donasi tubuh orang yang mati kepada burung pemakan bangkai merupakan bentuk pengorbanan yang paling tinggi.

Agama Buddha menolak konsep kekekalan. Menurut penganut Buddhisme, kematian adalah gambaran dari gagasan mengenai kesementaraan (impermanent). 

Selain kedekatan dengan alam, pengaruh aliran Mahayana juga mendorong orang Tibet melakukan ritual sky burial. Keselamatan yang didambakan diupayakan secara kolektif mendorong Buddhis Tibet berani melakukan ritual sky burial.

Ritual sky burial sangat unik dan ekstrim. Bagi penganut Buddhisme Tibetian, ritual sky burial adalah model pemakaman yang sangat baik karena tidak menelan banyak biaya (aspek ekonomis). 

Selain itu, ritual sky burial menolong seseorang mencapai keselamatan (nirvana). Akan tetapi, prosesi sky burial, sangat bertentangan dengan ajaran Buddha mengenai nir-kekerasan (non-violence). Prosesi sky burial terlalu banyak mempertontonkan adegan kekerasan.

Tubuh yang dipotong-potong dan tulang yang diremukkan adalah ritual yang mempertontonkan kekerasan. Lalu pertanyaannya adalah "Bukankah sky burial merupakan suatu bentuk kekerasan yang dipertontonkan -- sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Buddhis (a-himsa)?" "Apakah roh orang yang diremukkan dalam ritual sky burial benar-benar mencapai keselamatan?" "Bukankah ritual sky burial menunjukkan bahwa betapa manusia tidak berarti apa-apa?" "Mengapa harus burung pemakan bangkai yang dijadikan "perantara" menuju keselamatan?"

Para penganut Buddha mempercayai bahwa Buddha atau "The Enlightened One" menolak kekerasan dan self. Kekerasan dalam bentuk apapun harus dihindari. Dalam ritual sky burial kekerasan justru dipraktikkan. Pemotongan anggota tubuh adalah suatu adegan kanibalisme. 

Secara sepintas, ritual ini menunjukkan suatu praktik yang bertolak belakang dengan ajaran Buddha. Akan tetapi, ritual sky burial sejatinya bisa dipahami dari aspek lain, yakni teologi pengorbanan. Tubuh manusia ketika mati, memang tidak berguna.

Banyak orang telah mendonorkan anggota tubuhnya untuk keselamatan orang lain. Hal terakhir yang yang bisa kita sumbangkan kepada orang lain ketika kita mati adalah tubuh. Pengorbanan Kristus di salib adalah pemberian diri yang total. "Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya!" (Yoh 10:11). 

Kristus memberikan diri-Nya untuk keselamatan orang banyak. Dalam ritual sky burial, potongan tubuh telah membantu kelangsungan hidup ciptaan lain -- burung pemakan bangkai yang menjadi perantara menuju nirvana.   

Agama Buddha menolak konsep mengenai penciptaan. Bagi agama Buddha, manusia ada karena hukum alam. Hukum sebab-akibat diakui sebagai penjelasan mengenai terbentuknya alam semesta. Dalam agama Katolik, manusia memposisikan dirinya sebagai ciptaan Tuhan. 

Hal ini berdampak pada pengagungan manusia di antara ciptaan yang lain (antropocentris), di mana manusia merupakan citra Allah, rupa Allah. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang bermartabat, manusia harus dilindungi dan dijaga integritasnya.

Sebagai ciptaan Tuhan, manusia tidak boleh dilukai. Ritual sky burial tentunya memperlihatkan bahwa tubuh manusia tidak berarti apa-apa ketika mati. Hemat saya, ritual sky burial sejatinya tengah menunjukkan bahwa hukum alam itu bersifat kekal. 

Manusia terbentuk dari materi (tanah) dan kembali kepada materi (tanah). Agama Buddha mungkin memahami bahwa fungsi tubuh yang sebenarnya justru terlihat jika dapat dikorbankan kepada ciptaan yang lain -- teologi pengorbanan.

Burung pemakan bangkai dalam ajaran Buddha adalah lambang pengantara. Burung pemakan bangkai dipercaya mampu mempercepat proses mencapai keselamatan (nirvana). 

Burung pemakan bangkai selalu melayang-layang di atas ketinggian. "Ketinggian" adalah representasi dari suatu pencerahan. Dalam teologi Kristiani, pertemuan antara Allah dan manusia selalu terjadi di atas gunung -- di gunung, tempat ketinggian.

Peristiwa perjumpaan Allah dan Musa di Gunung Horeb (Kel 3:1) atau peristiwa transfigurasi di Gunung Tabor (Mat 17:1-13) dapat dipahami sebagai lambang perjumpaan. Ketinggian menjadi tempat perjumpaan. 

Burung pemakan bangkai selalu terbang, melayang-layang di angkasa. Hal ini menunjukkan bahwa burung pemakan bangkai mampu mengantar roh orang yang telah meninggal mencapai nirvana yang didambakan -- mendekatkan roh orang mati mencapai keselamatan. 

Burung pemakan bangkai sangat dihargai oleh orang Buddhis Tibet -- karena itu burung pemakan bangkai tidak boleh dilempar. Dalam kisah Yesus dibaptis, Roh Kudus hadir dalam rupa seperti burung merpati.

Orang-orang Asia banyak menunjukkan jalan menuju keselamatan (nirvana). Tao adalah jalan. Ritual sky burial adalah jalan. Dalam ritual sky burial roh orang telah meninggal dunia dituntun dengan bantuan burung-burung pemakan bangkai. 

Dalam sejarah teologi Kristiani, kita mengenal Thomasa Aquinas. Santo Thomas Aquinas mempernalkan kepada para pengikutnya mengenai lima jalan mengenal Tuhan. Aquinas, sejatinya tidak menunjukkan siapa Tuhan.

Ia hanya memperlihatkan jalan menuju Tuhan. Ritual sky burial adalah bagian dari jalan yang ditempuh menuju nirvana. Ritual sky burial juga menunjukkan hubungan yang erat antara alam dan manusia. 

Manusia memiliki tanggung jawab atas alam. Jika manusia tidak mampu memberikan sumbangan tertentu bagi kelangsungan hidup ciptaan lain semasa hidup, donasi tubuh sejatinya menjadi sumbangan berharga bagi ciptaan lain.

Ritual sky burial mengantar seseorang mencapai keselamatan. Proses dari persiapan jenasah hingga upacara terakhir "feed the birds" adalah rangkaian proses menuju keselamatan. 

Agama Kristen Katolik mempunyai rangkaian ritual seperti halnya sky burial. Tanggung jawab kolektif demi keselamatan roh orang yang meninggal tidak berakhir saat orang meninggal. 

Doa bagi keselamatan jiwa bagi orang yang telah meninggal juga dipraktikkan dalam Gereja Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab sosial hingga urusan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun