Ketika di kota A, grafik pasien positif meningkat, kebijakan satu pintu pun diberlakukan. Padahal, tidak semua wilayah dimana pilkada digelar adalah zona merah. Tapi, ketakutan dan kepanikkan di satu kota justru dilihat menyeluruh. Modelnya, tak lain "pars pro toto."
Apa yang perlu untuk polemik yang memanas soal ajang pilkada tahun ini adalah ketegasan sanksi dari pihak penyelenggara. Hemat saya, KPU perlu berkoordinasi lagi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau presiden selaku kepala rumah tangga.Â
Jika PKPU masih dinilai kurang tegas, KPU bisa membuat proposal untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perppu). Tujuannya biar perhelatan pesta demokrasi tetap ada, tetapi tetap dalam parit protokol kesehatan.
Pilkada boleh berjalan terus, tapi sistem pengawasan harus tegas. Pilkada tahun ini, hemat saya, bukan lagi hanya soal siapa pemimpin yang layak dipilih, tetapi juga soal seberapa banyak rakyat yang berhasil diselamatkan si paslon dengan mekanisme orasi politik yang bijak.Â
Lalu, pilkada tahun ini juga, bukan lagi soal kursi kepemimpinan semata, tapi juga soal "kelegawaan" pemimpin dalam mengambil sebuah kebijakan, terutama di saat pandemi.
Jangan sampai, ambisi masing-masing paslon justru mengorbankan rakyat. Jangan sampai ambisi mengejar kursi kuasa, ditutup masker egosime, ingat diri, dan alibi berkuasa. Jika diberi kesempatan untuk tetap digelar, semoga saja masing-masing paslon bijak mendidik rakyat. Itu. Itu yang perlu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H