Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada 2020, antara Masker Kesehatan dan Masker Politik

5 Oktober 2020   12:40 Diperbarui: 7 Oktober 2020   14:51 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katakan saja soal dinamika proses pendaftaran paslon yang terjadi beberapa Minggu yang lalu. Dari pantuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), tercatat ada 243 dari 270 daerah penyelenggara pilkada yang melanggar protokol kesehatan. Pengumpulan massa tak dapat dibendungi. Dari waktu pintu akses dibuka pertama kali, massa sudah berkerumun. Namanya juga mendukung idola.

Apa yang menjadi kekhawatiran publik saat ini adalah pesta demokrasi di 270 daerah menjadi ancaman dan sumber kluster baru pandemi Covid-19. Dengan mobilisasi massa yang tetap tinggi, ajang pilkada justru dicurigai menjadi pemasok tetap jumlah pasien Covid-19 setiap harinya. Itu yang kita khawatirkan dan perlu segera dibenah. Dengan apa? Membubarkan kerumunan massa?

Jika kerumunan dan mobilitas massa tak diizinkan selama dinamika pilkada berlangsung, saya justru curiga dengan strategi politik yang bakal digunakan. Pilkada tanpa kerumunan justru lebih menantang lagi. 

Tepatnya menantang masing-masing paslon untuk memengaruhi suara konstituen. Bisa jadi "money politic" lebih mentereng. Bisa jadi, ada calo dalam dinamika politik.

Kita bisa memprediksi tahapan pilkada tanpa kerumunan bakal sunyi, tapi tak etis. Bukan cuman tak etis, justru bisa jadi jatuh pada "finish santificat media." Dalam senyap, alat kampanye akan berubah menjadi selembar dalam genggam dan seberat dalam amplop. 

Model fight-nya pun berubah. Bukan lagi soal visi-misi, tapi soal adu kekuatan pribadi, soal kekuatan finansial, dan soal seberapa keras para buzzers di media sosial mendengung memengaruhi warga elektronik.

Istilah memilih kucing dalam karung pun tepat sekali untuk dinamika pilkada tanpa kerumunan. Paslon pun hanya muncul di laman medsos, lalu rakyat menentukan pilihan. 

Rakyat hanya dibagikan stiker, spanduk, dan baliho, lalu disuruh milih. Rakyat hanya membaca postingan para buzzers masing-masing paslon yang berisi hujatan, fitnah, caci-maki, dan ancaman, lalu disuruh pilih. Takutnya lagi, rakyat hanya dikasi amplop, lalu disuruh milih. Nah ini nih, lagu lama yang biasa diputar saat pilkada.

Saya tak bisa membayangkan sebuah tahapan pilkada tanpa momen tatap muka, orasi akbar, konser musik, pawai massal, dengan segala orkestra kemeriahannya. Pilkada tanpa kerumunan di satu sisi adalah sebuah kemustahilan. Keniscayaan. 

Kita belum pernah menggelar tahapan pilkada tanpa kerumunan massa. Jika tahun ini, kerumunan massa dilarang tegas dan pilkada tetap sukses diadakan, momen ini perlu dicatat. Dicatat dalam buku sejarah.

Lalu apa masalah utama sehingga tahapan pilkada tiba-tiba berujung gas-rem? Sebenarnya laju kasus di beberapa daerah-lah yang membuat ajang pesta akbar bertajuk "Demokrasi" ini dibawa dan dikelola soal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun