Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada 2020, antara Masker Kesehatan dan Masker Politik

5 Oktober 2020   12:40 Diperbarui: 7 Oktober 2020   14:51 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada tahun ini memang menantang. Antara keselamatan rakyat dan ambisi berkuasa. Money politic dan kampanye hitam hampir tak disentuh isu polemik pilkada tahun ini. 

Tantangan terbesar pilkada tahun ini justru soal masker kampanye. "Apakah mau taat terhadap protokol kesehatan atau tidak?" Sanksi menanti jika "masker kesehatan dilepas saat kampanye!"

Paslon yang tetap menggelar perayaan tatap muka dengan jumlah massa membludak tanpa protokol kesehatan, sebaiknya ditinggalkan konstituen. 

Mereka bukan saja egois, melainkan juga bebal akan segala peristiwa kehilangan yang dialami bangsa ini selama pandemi. Di sinilah kebijaksanaan dan proyeksi hati nurani seorang pemimpin didacing.

Dacing takaran pilkada tahun ini dengan setting pandemi adalah demikian: Berprikemanusiaan atau ambisius, egois, dan maruk? Menyelamatkan atau malah melukai? Melayani atau ingin nantinya dilayani? Memimpin atau menguasai? Awasi dacing baik-baik, biar tak lari jauh dari kampanye keselamatan dan protokol kesehatan!

Sesuai jadwal, setelah rangkaian verifikasi sejak 7 September 2020 kemarin, hari ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon kepala daerah dalam rapat pleno tertutup (23/9/2020). 

Seperti dikutip dari Media Indonesia (MI), penetapan ini menjadi ujian kemaslahatan. Pasalnya, pilkada yang tidak patuh pada protokol kesehatan hanya membawa ancaman kesehatan se-Nusantara.

Menyambangi 9 Desember 2020, pilkada menuai kritik dan berimbas polemik. Akankah pilkada 2020 ditunda? Presiden Joko Widodo bersih keras menjawab: "Pilkada tak akan ditunda." Lanjut terus. Sikat habis! Udah di tengah jalan, masa ditunda? Udah panas-panas, masa disuruh rem. Udah pawai dan bagi-bagi alat-alat kampanye masa ditunda. Yang benar saja? Pro-kontra pun mendulang.

Polemik pro-kontra pilkada muncul pertama-tama karena ketakutan, kecemasan, dan dengungan paduan suara publik di jagat maya. Ada kekhawatiran, pilkada menjadi klaster baru Covid-19. 

Ketika upaya memutus rantai pandemi Covid-19 diberlakukan sangat strike di beberapa lini (perusahaan, pusat perbelanjaan, transportasi, dan perkantoran), kelonggaran justru terlihat di momen pilkada.

Lah kok longgar? Kenapa? Bukannya KPU sudah mengeluarkan peraturan? Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 justru tak memberi efek. Publik menilai PKPU ibarat macan ompong. Peraturan ini memang memuat berbagai ketentuan pelaksanaan pilkada 2020 di masa pandemi. Akan tetapi, sanksinya kurang tegas. Begitu kira-kira.

Katakan saja soal dinamika proses pendaftaran paslon yang terjadi beberapa Minggu yang lalu. Dari pantuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), tercatat ada 243 dari 270 daerah penyelenggara pilkada yang melanggar protokol kesehatan. Pengumpulan massa tak dapat dibendungi. Dari waktu pintu akses dibuka pertama kali, massa sudah berkerumun. Namanya juga mendukung idola.

Apa yang menjadi kekhawatiran publik saat ini adalah pesta demokrasi di 270 daerah menjadi ancaman dan sumber kluster baru pandemi Covid-19. Dengan mobilisasi massa yang tetap tinggi, ajang pilkada justru dicurigai menjadi pemasok tetap jumlah pasien Covid-19 setiap harinya. Itu yang kita khawatirkan dan perlu segera dibenah. Dengan apa? Membubarkan kerumunan massa?

Jika kerumunan dan mobilitas massa tak diizinkan selama dinamika pilkada berlangsung, saya justru curiga dengan strategi politik yang bakal digunakan. Pilkada tanpa kerumunan justru lebih menantang lagi. 

Tepatnya menantang masing-masing paslon untuk memengaruhi suara konstituen. Bisa jadi "money politic" lebih mentereng. Bisa jadi, ada calo dalam dinamika politik.

Kita bisa memprediksi tahapan pilkada tanpa kerumunan bakal sunyi, tapi tak etis. Bukan cuman tak etis, justru bisa jadi jatuh pada "finish santificat media." Dalam senyap, alat kampanye akan berubah menjadi selembar dalam genggam dan seberat dalam amplop. 

Model fight-nya pun berubah. Bukan lagi soal visi-misi, tapi soal adu kekuatan pribadi, soal kekuatan finansial, dan soal seberapa keras para buzzers di media sosial mendengung memengaruhi warga elektronik.

Istilah memilih kucing dalam karung pun tepat sekali untuk dinamika pilkada tanpa kerumunan. Paslon pun hanya muncul di laman medsos, lalu rakyat menentukan pilihan. 

Rakyat hanya dibagikan stiker, spanduk, dan baliho, lalu disuruh milih. Rakyat hanya membaca postingan para buzzers masing-masing paslon yang berisi hujatan, fitnah, caci-maki, dan ancaman, lalu disuruh pilih. Takutnya lagi, rakyat hanya dikasi amplop, lalu disuruh milih. Nah ini nih, lagu lama yang biasa diputar saat pilkada.

Saya tak bisa membayangkan sebuah tahapan pilkada tanpa momen tatap muka, orasi akbar, konser musik, pawai massal, dengan segala orkestra kemeriahannya. Pilkada tanpa kerumunan di satu sisi adalah sebuah kemustahilan. Keniscayaan. 

Kita belum pernah menggelar tahapan pilkada tanpa kerumunan massa. Jika tahun ini, kerumunan massa dilarang tegas dan pilkada tetap sukses diadakan, momen ini perlu dicatat. Dicatat dalam buku sejarah.

Lalu apa masalah utama sehingga tahapan pilkada tiba-tiba berujung gas-rem? Sebenarnya laju kasus di beberapa daerah-lah yang membuat ajang pesta akbar bertajuk "Demokrasi" ini dibawa dan dikelola soal. 

Ketika di kota A, grafik pasien positif meningkat, kebijakan satu pintu pun diberlakukan. Padahal, tidak semua wilayah dimana pilkada digelar adalah zona merah. Tapi, ketakutan dan kepanikkan di satu kota justru dilihat menyeluruh. Modelnya, tak lain "pars pro toto."

Apa yang perlu untuk polemik yang memanas soal ajang pilkada tahun ini adalah ketegasan sanksi dari pihak penyelenggara. Hemat saya, KPU perlu berkoordinasi lagi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau presiden selaku kepala rumah tangga. 

Jika PKPU masih dinilai kurang tegas, KPU bisa membuat proposal untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perppu). Tujuannya biar perhelatan pesta demokrasi tetap ada, tetapi tetap dalam parit protokol kesehatan.

Pilkada boleh berjalan terus, tapi sistem pengawasan harus tegas. Pilkada tahun ini, hemat saya, bukan lagi hanya soal siapa pemimpin yang layak dipilih, tetapi juga soal seberapa banyak rakyat yang berhasil diselamatkan si paslon dengan mekanisme orasi politik yang bijak. 

Lalu, pilkada tahun ini juga, bukan lagi soal kursi kepemimpinan semata, tapi juga soal "kelegawaan" pemimpin dalam mengambil sebuah kebijakan, terutama di saat pandemi.

Jangan sampai, ambisi masing-masing paslon justru mengorbankan rakyat. Jangan sampai ambisi mengejar kursi kuasa, ditutup masker egosime, ingat diri, dan alibi berkuasa. Jika diberi kesempatan untuk tetap digelar, semoga saja masing-masing paslon bijak mendidik rakyat. Itu. Itu yang perlu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun