Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Transformasi Pandemi, dari "Fast Food" Menuju "Slow Food"

4 Oktober 2020   09:56 Diperbarui: 8 Oktober 2020   12:56 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masak bareng anak di rumah. (sumber: SHUTTERSTOCK/JACK FROG via kompas.com)

Bagaimana laju "fast food" di tengah pandemi Covid-19? Pilihan baru yang dibuat sekarang adalah memperlambat laju sistem penghidangan makanan, yakni yang dulunya serba "fast" menjadi "slow." Ini merupakan sebuah perubahan besar. 

Ketika orang tak lagi berburu restoran dan makanan cepat saji, cara satu-satunya adalah kembali ke dapur. Di sana orang dipaksa 'tuk masak sendiri, hidang sendiri, dan tentunya mencuci peralatan makan sendiri.

Pandemi Covid-19 sudah lama mengerem laju ritme hidup harian kita. Dari lini kesehatan, bahaya pandemi kemudian menyisir lini ekonomi, pendidikan, agama, hingga gaya hidup. 

Sebelum Covid-19 merebak, kita hidup dalam beranda tren. Ya, tren benar-benar telah mengubah semua kebiasaan manusia. Mulai dari gaya berpakaian, memilih pasangan hidup, memilih tempat nongkrong, memilih jenis pekerjaan, hingga pilihan makanan diubah karena tren.

Dalam galeri makanan, lagi-lagi karena tren, ada transformasi rapid yang terjadi, yakni dari pola "slow food" menuju "fast food." Hal ini terjadi cukup lama, lebih-lebih saat sebelum pandemi Covid-19 mengancam. Sebelum Covid-19, tren "fast food" meningkat. "Fast food" merupakan desain eksterior dari McDonalisasi.

Ray Kroc (1902-1984) adalah sosok pria jenius di belakang persalinan waralaba restoran McDonald. Di usia yang relatif muda, ia berambisi memasung keinginan konsumen dengan menawarkan konsep restoran cepat saji. 

Pada awalnya, Kroc memulai konsep McDonald ini di Amerika Serikat. Akan tetapi, dalam waktu yang sangat singkat, McDonalisasi berkembang pesat hampir ke seluruh dunia.

Dari negeri Paman Sam, McDonalisasi melebarkan pasar bisnisnya hingga ke Indonesia. Pada 2010, dikatakan bahwa pendapatan pasar McDonald mencapai $24,1 miliar. Keuntungan yang mencekik leher.

Jika diintip sedikit, pada dasarnya, ciri utama dari McDonald adalah sistem penyajian makanan yang serba cepat. Di Indonesia, ekspansi MCDonald terlihat dari menjamurnya restoran cepat saji. Akan tetapi, bagaimana sekarang ketika Covid-19 mengancam? Masih "fast" atau udah "slow?"

Inilah yang terjadi. Rumah kian gaduh. Dapur yang dulunya hening karena tak ada aktivitas, kini mulai ramai. Mulai terlihat lalu-lalang. Tabung gas mulai terisi dan menyala. Persis semuanya mulai berfungsi.

Sejak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan karantina wilayah -- dimana semua aktivitas dilakukan di rumah -- kebiasaan makan di luar rumah pun mulai dibatasi dan pelan-pelan hilang. Terpaksa masak sendiri.

Di kota-kota besar, seperti Jogja tempat saya menetap, kebiasaan makan di luar rumah adalah hal lumrah. Banyak keluarga yang pulang kerja biasanya langsung menghampiri beberapa restoran cepat saji, seperti McDonalds, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut, Solaria, D'Cost, Texas Fried Chicken, dan Hoka Hoka Bento. 

Restoran ini diburu karena melayani kebutuhan dengan cepat, lezat, tepat, dan sehat, katanya. Dengan menyambangi restoran cepat saji, orang yang kelelahan bekerja, tidak lagi kerepotan untuk memasak atau menunggu lama. Tentu inilah keunggulan restoran "fast food", waktu dipangkas atau menghemat waktu.

Akhir-akhir ini, kebiasaan ini tiba-tiba hilang. Banyak restoran cepat saji ditutup karena ketiadaan pengunjung. Direktur PT Fast Food Indonesia Justinus Dalimin membenarkan bahwa akibat virus korona, banyak restoran "fast food" ditutup dan mengalami penurunan omzet. 

Virus corona membuat masyarakat enggan 'tuk berkumpul di restoran dan takut memesan makanan cepat saji. Kurang nyaman dan higenis, di saat sekarang.

Pilihan baru yang dibuat sekarang adalah memperlambat laju sistem penghidangan makanan, yakni yang dulunya serba "fast" menjadi "slow." Ini merupakan sebuah perubahan besar. 

Ketika orang tak lagi berburu restoran dan makanan cepat saji, cara satu-satunya adalah kembali ke dapur. Di sana orang dipaksa 'tuk masak sendiri, hidang sendiri, dan tentunya mencuci peralatan makan sendiri.

Konsep "slow food" dan "fast food" pada dasarnya memberi penekanan pada speed pengolahan, penyajian, dan efek. "Fast food" tentunya berkarya dengan motto memangkas waktu. 

Pengolahan jenis "fast food" kebanyakan menggunakan alat. Sedangkan, "slow food" lebih menunjukkan cara, proses, dan efek bagi kesehatan. "Fast food" mengkampanyekan semangat pangkas waktu hidup, sedangkan "slow food" justru sebaliknya memperlambat waktu hidup.

"Slow food" tentunya menawarkan beragam kelebihan. Kelebihan pertama adalah orang benar-benar menikmati proses memasak dan proses penyajian makanan.

Hal yang sama sekali tidak ditemukan di restoran cepat saji. Di resto cepat saji, kita bisa memesan makanan sesuai selera, tempat duduk yang nyaman, suasana yang enak, penyajian yang serba cepat, dan tidak ada waktu mencuci peralatan makan usai makan. 

Sedangkan konsep "slow food" justru sebaliknya dengan tren memperlebar timing, misalnya dengan membeli bahan (sayur, lauk, cabe, bumbu, dll.,), mengolah, masak, penyajian, dan cleaning.

Saat sekarang orang tidak terburu-buru untuk menghabiskan makanan. Ini karena kita menerapkan konsep "slow food." Lain halnya jika kita di restoran "fast food." Di sana waktu dan suasana selalu mengawasi kita. 

Misalkan kita tidak bisa berlama-lama karena pelanggan yang datang selalu ada dan butuh tepat untuk duduk dan makan. Jika terlalu lama, kenyamanan kita justru terusik. Lalu muncul komentar dari pemilik McDonald: "Kok lama banget. Padahal, pesannya cuman sedikit."

Jika ditakar dari segi kesehatan, dua konsep makanan ini -- antara "fast food" dan "slow food" -- sama-sama memiliki daya persuasi. Sebuah kajian komparatif dari 380 daerah di Ontario, Kanada, menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan lebih banyak layanan cepat saji cenderung mengalami sindrom penyakit jantung koroner akut.

Dalam hal ini, restoran cepat saji berkontribusi pada perkembangan masalah kesehatan di masa depan dengan menciptakan kebiasaan makan yang buruk, terutama pada anak-anak. 

Selain merusak kesehatan, tren industri cepat saji juga merusak lingkungan karena menghasilkan sampah yang kebanyakan tidak bisa terurai. Banyak hutan yang luas dikorbankan untuk menyediakan kertas yang diperlukan setiap tahun oleh McDonald.

Sedangkan, "slow food" selalu dibully karena mempertahankan unsur-unsur tradisional. Menarik bahwa konsep "slow food" berupaya mengerem kesibukan manusia, menekan laju penyajian makanan, dan membuat manusia wajib tahu masak. 

Di keluarga-keluarga sekarang, banyak hal-hal aneh yang justru terlihat karena kurang terbiasa. Karena tak terbiasa masak sendiri, kadang masakan jadi gosong.

Kebiasaan makan di luar rumah juga membuat para wanita lupa bagaimana memasak. Keseringan makan di luar rumah dengan tren "fast food" membuat manusia menjadi semakin mager dan kurang kreatif. 

Akan tetapi, ada ketakutan besar dalam diri saya bahwa setelah pandemi berakhir upaya balas dendam dan arus balik berburu kuliner tak terkendali. Apa yang bakal terjadi?

Setelah korona virus, kita akan menghadapi virus terbaru, yakni pandemi "faster food." Semua orang bakal keluar rumah menikmati suasana bersama di luar. Restoran cepat saji, seperti KFC, MacDonald, dan Pizza Hut sesak diserbu pelanggan. Kita lihat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun