Mohon tunggu...
Kristian Ndori
Kristian Ndori Mohon Tunggu... Dosen - Menulis tentang sastra dan sejarah.

Membaca dunia dengan gayung Kiri.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tanah Jawa yang Menjanjikan

16 Juli 2023   20:53 Diperbarui: 17 Juli 2023   11:40 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : google.com)

           Sudah hampir tujuh tahun berkelana di tanah Sembilan Wali ini. Aku memuji nan bangga kepada diri ini yang sudah bersi keras lantang kepada kondisi dan harapan. Banyak hal menarik yang disampaikan kota Malang khususnya kepadaku. Mereka terus memancarkan ayunan kasih dan jutaan candaan agar semua orang termasuk aku betah dan rindu akan panorama yang ditunaikan. Pada pertengahan tahun dua ribu delapan belas lalu saya bermimpi tentang “miracle” di pulau Jawa.

Seperti tanda perkara yang akan menghampiriku. Nuansa pulau Jawa semakin liar mengisi jaringan sel otak-ku. Tatkala riang aku pun merasa disembeli oleh ingatanku kala itu. Akhirnya memutuskan untuk melancong ke Tanah Jawa. Tempatnya Sembilan Wali bermukim. Sebelumnya aku bekerja disebuah tokoh material bersama seorang teman. Namanya Maris. Dia sudah aku anggap seperti saudara sendiri,karena kita berteman sejak masih berada di Sekolah Menengah Pertama. Sebelum pagi menyambut,sorenya aku langsung mengambil upah bulanan-ku di tempat aku bekerja,disalah satu tokoh yang berada disekitar Kilometer 9,Balikpapan.

Detik-detik keberangkatan 

            Sepulangnya dari tempat kerja,aku mengajak ngobrol Maris untuk menyatakan perpisahan dengannya kala itu. Kesedihan pun terungkap. Mungkin suatu waktu akan bertemu kembali. Aku mengatakan bahwa besok pagi aku akan ke Tanah Jawa.

“Eja, besok aku mau ke Jawa. Tiketnya sudah saya pesan”. (eja=bro)

“ Lah,kamu ngapain kesana?”

“Aku mau mencari pengalaman baru disana”

Maris terlihat sedih dan saya melihat isak sakit hati yang tak kasat mata itupun mulai terkemas. Berada dalam ruang kepedihan kami berbincang tentang cita-cita dan impian yang kami harapkan akan datang menyambut kami. Saat malam mulai dekat,kami membeli minuman beralkohol (ciu) untuk menyatakan perpisahan sembari “cheers”. Minuman itu saya beli dari hasil jual handphone milik saya sendiri dengan harga lima ratus ribu yang ditukar dengan lima botol arak. Betapa bodohnya aku kala itu, hehehe. 

Si jantan pun berkokok tanda pagi mengaung. Aku berkemas dan berpamitan dengan seisi rumah tempat aku berteduh. Dibantu seorang teman yang mau mengantarkan aku menuju Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman atau lebih dikenal Sepinggan International Airport.

Ketika sampai di Bandara aku langsung mengambil tiket pesananku dengan memegang sebuah Kartu Tanda Penduduk. Disana aku melihat banyak sekali calo yang menghampiriku. Karena ini merupakan kali pertamanya aku naik pesawat. Aku kebingungan dengan kode pesawat yang akan aku tumpangi. Disana ada seorang calo yang baik hati datang menghampiri karena dia melihatku sedang kebingungan. Aku begitu risau kala itu. Alhasil dia mengantarkan aku ke ruang tunggu yang sesuai dengan ticket-ku.

Tanpa Handphone dan Tujuan

 

            Ketika berada dalam ruang tunggu barulah aku menyadari kemana tujuanku dan siapa yang akan aku datangi. Aku semakin risau. Akhirnya aku melihat ada seorang pemuda yang sedang bertelponan dengan seseorang. Aku menghampirinya dan mengajaknya berbincang.

“Mau kemana bang?”

“Banyuwangi mas. Sampeyan mau kemana?”

“Nah,itu bang saya sendiri juga nggak tau mas?

“Lah?. Sampeyang tujuannya kemana mas?”

“Saya mau merantau ke Jawa bang,tapi nggak tau ke Jawa mana. Tapi saya turunnya di Surabaya bang.”

            Tatapan aneh dari mas-masnya membuat saya semakin terjerumus dalam kebingungan. Saya memberanikan diri untuk meminjam handphone-nya untuk membuka Facebook. Dan syukurnya dia mengijinkannya. Pun kemudian saya memberitahukan beberapa orang teman yang berada disekitaran Kota Surabaya. Puji Tuhan akhirnya saya mendapatkan nomor whatsapp teman saya yang berada di Surabaya. Pesawat telah tiba diringi suara calling dari salah satu pramugari atau apalah sebutannya saya juga kurang paham, maklum baru pertama naik pesawat. Saya mengembalikan handphone milik mas-nya sambil mengulurkan tangan dan mengucap ;

“Terima kasih banyak bang atas bantuannya”

“Sama-sama mas,mari kita berangkat”.

            Kita menuju ke lapangan pelandasan tempat pesawat itu. Saya masih ingat muka mas-nya walaupun agak samar-samar. Diatas pesawat saya mulai memikirkan gimana caranya agar saya bisa memberi tahu kepada teman saya bahwa saya sudah melepas landas. 

Usut-punya-usut pesawat pun melepas landas. Saya merasa seperti sebuah mimpi. Iya,kalian tahu sendirilah orang kampung ketika nyobain hal baru. Satu hal yang saya takutkan waktu itu adalah kecelakaan ketika pesawat jatuh. Imajinasi ini muncul karena saya sering menonton film-film action,perampokan diatas pesawat dan peperangan. Syukurnya kami semua tiba di Surabaya dengan selamat dan tentunya berkat campur tangan Tuhan.

Kota Surabaya dan Teriknya Matahari

            Dari ketinggian beberapa ratusan meter saya melihat perairan sawah dan lading yang membentang luas dan ribuan rumah-rumah yang berdempetan. Saya merasakan sambutan dari Tanah Jawa. “sugeng rawuh maseehh”.

Saya merinding waktu itu karena baru pertama kali melihat suatu hal dari atas Gedung yang tanpa saya pijakki. Roda pesawat menyentuh lapang dengan sempurna. Getaran dan hentaknya membuat saya sedikit takut. Setelah beberapa jam duduk dikursi pesawat tanpa bisa berdiri karena bingung akhirnya aku bisa berdiri dan berjalan disepanjang lapan landasan. Ruangan yang penuh dengan ratusan penumpang itu kembali aku temui namun dipulau yang berbeda. Aku keluar dari gendung bandara sambil melirik kepada mereka yang sedang menggenggam handphone. Aku berjalan menuju parkiran travel. 

Kala itu aku tidak mempunyai uang sepeserpun. Hanya pakaian dan ijazah yang ada dalam ransel-ku. Di ujung parkiran yang luas ini aku melihat ada seorang sopir travel yang sedang makan siang dengan bungkusan nasi yang beukuran kecil. Kita biasa menyebutnya ”Nasi Kucing”. Aku menghampirinya dengan wajah letih tuk meminta pertolongan darinya.

“Permisi pak,saya mau minta tolong bisa?”

“Nggih,ada apa mas?

“Anu pak. Saya mau pinjam Hp bapak soalnya mau nelpon teman saya biar dia jemput saya disini pak.”

“Oh nggih,monggo mas. Telpono mas.”

“Saya pinjam ya pak”,sembari menjemput hp dari genggamannya.

            Saya menelpon teman saya yang nomornya saya catat sewaktu di Balikpapan tadi. Akan tetapi kabar buruk pun terdengar. Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa menjemput sekarang karena tidak punya sepeda motor dan dia masih bekerja. Dia turut mengatakan agar saya menumpangi bus yang tujuannya ke Tanjung Perak dan dia yang akan membayarnya. Saya terdiam dalam kekecewaan. Karena waktu itu saya tidak memegang uang sepeserpun,saya takut untuk menumpangi bus. Akhirnya, saya memilih untuk berjalan saja.

“Alamat kalian dimana?”

“ Kami di Tanjung Perak, kalau kamu mau kesini bilang saja Pom Bensin di Jl. Jakarta,mereka udah tahu semua.”

Saya mencatat alamat ini. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada bapak pemilik hp itu. Saya pun langsung pamit pergi.

Dari Juanda menuju Tanjung Perak

            Sesudah berpamitan dengan sopir travel tadi, saya memulai perjalanan yang sangat memacu adrenalin saya. Tanpa makan dan minum yang dibekali saya berjalan diatas sepanjang jalan Tol. Sudah sejauh beberapa kilometer hingga melewati gerbang keluar bandara saya berjalan bagaikan seorang musafir sejati. Dehidrasi menghampiri dan lengket aliran keringat diselangkangan sangat mengganggu perjalanan saya. Sampai ketika saya melihat dari kejauhan bahwa ada gerbang tol entah itu yang keberapa saya sudah lupa. Seorang penjaga tol itu langsung menghampiri saya dan berkata;

“Mas,mau kemana?”

“Saya mau ke Tanjung Perak pak.”

“Maaf mas nggak boleh berjalan diatas jalan ini mas. Mas-nya lewat jalan bawah aja ya.”

“Oh iya baik pak. Maaf ya pak saya nggak tau”.

  Saya pun turun kejalan bawah tol. Dibawah udaranya sangat dingin dan lebih mendingan karena diterpa angin siang. Saya berjalan sembari bertanya kepada orang-orang yang berpapasan. Mereka hanya menggelengkan kepala karena merasa heran dengan tujuan perjalannya saya. Sejauh ingatan saya. Saya berjalan sampai ke Darmo. Disana saya bertemu dengan seorang tukang kuli serabutan yang sedang memperbaiki selokan dengan kumuhnya karena bermain dengan campuran semen. Daya Tarik dehidrasiku menjunjung aku untuk meminta sesuatu pada kuli serabutan itu. Berusaha mendekati dengan Lelah langkah yang bernyanyi puluhan kilometer.

“Permisi pak, saya boleh minta air minumnya?. Saya haus sekali pak”.

“ Oh monggo mas. Sik sik ta tuangno nang botol yo…”

“Iya pak terima kasih banyak ya pak”.

Riang-peri-sedih-senang menari-nari disepanjang ragaku. Teriakan halu tanda terima kasih berkobar-kobar menuju kuli serabutan itu. Sedang meneguk air dengan bunyi tegukkan yang sedikit aneh membuat susunan percakapan semakin dalam.

“Darimana dan mau kemana mas?”

“Saya dari Juanda dan mau ke Tanjung Perak,pak. Bapak tau habis darisini jalannya lewat mana lagi”.

“Hah? dari Juanda?”

            Mendengar kalimat saya itu,dia langsung menaruh sisi kasihan karena penampilan saya yang sudah kusuh sebab lumuran keringat. Ditambah lapar yang membuat aku semakin lemas. Entah hidayah apa yang membentang pertemuan kami waktu itu, iya semacam wahyu-lah. Dia menyuruhku untuk menunggu sebentar sementara dia pergi dan hanya menitip pesan untuk menjaga barang-barang pekerjaannya sebentar. Saya pun menurutinya karena sudah dikasih minum. Beberapa menit kemudian dia datang dengan wajah gembira dan langsung memegang tangan kanan saya yang bergandengan langsung dengan tangan kirinya selagi mengepal.

“ saya belum bisa bantu lebih mas,tapi mudah-mudahan ini bisa membantu untuk bekalmu menuju Tanjung Perak. Karena sampeyan orang baru jadi bisa dua hari baru bisa sampai kesana karena saya yakin sampeyan pasti muter-muter karena kebingungan jalan”.

“Wahh,nggak usah pak. Saya masih kuat pak. Ini buat beli sesuatu untuk keluarga aja pak”.

“ Demi Allah mas saya ridho. Semoga sampai tempat tujuanmu dengan selamat ya Mas”.

            Dia sangat kasihan padaku. Aku merasa bersalah karena sudah menerima uang itu dan juga sudah minta air pada kuli serabutan itu. Tapi disisi lain saya sangat membutuhkannya. Pun saya menganggap bahwa dialah Tuhan-ku yang menyamar jadi kuli serabutan. Saya pun menyuarakan kalimat sumpah kepada diri sendiri dengan alunannya seperti ini;

“Untuk kalian para kuli ; apapun jenis kulinya,kalian adalah saudaraku. Aku selalu ada jika kalian ditindas dan tidak dihargai”.

Kalimat ini saya rawat dan terus terngiang untuk menjunjung tinggi nilai persaudaraan aku dan kuli-ku.

Bersambung…………….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun