Mohon tunggu...
Kris Razianto Mada
Kris Razianto Mada Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Describe me as u need

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Charlie Depthios Si Pemburu Rekor

17 Juli 2012   08:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sabtu, 12 Oktober 1968, Charlie Depthios mengikuti defile pembukaan Olimpiade Meksiko di Estadio Olimpico Universitario. Kala itu Charlie berusia 28 tahun dan sudah menjadi ayah bagi Ernest Depthios dan Erick Depthios. Juara angkat besi di berbagai arena itu hadir bersama lima atlet Indonesia.

"Papa sering cerita, bangga sekali bisa menjadi salah satu atlet yang terjun di olimpiade. Beliau tidak pernah memikirkan kontingen Indonesia hanya enam orang atlet. Papa hanya ingin berprestasi pada kesempatan pertama tampil di olimpiade,” ujar Erick.

Kala itu,  Charlie menjadi andalan Indonesia pada cabang angkat besi kelas terbang ringan. Pria kelahiran Mamuju, 2 Februari 1940 itu langganan juara. Sejak 1960, ia terus menerus mencetak rekor nasional. “Setiap kali latihan, papa selalu bikin target pecahkan rekor. Latihan biasanya dimulai dengan beban mendekati atau setara dengan rekor terakhir,” ujar Erick.

Tak sulit bagi Charlie berlatih dengan beban setara rekor terakhir. Sebab, sebagian besar rekor itu dibuatnya sendiri. April 1962, ia memecahkan rekor nasional pada nomor Clean and Jerk kelas terbang ringan dari 108,5 kilogram menjadi 110 Kg. Rekor lama atas nama pria yang akhirnya punya tujuh anak tersebut dicatatkan pada Maret 1962. Sebelum itu, ia juga mencatatkan rekor dengan angkatan 108 Kg.

Dalam tahun-tahun selanjutnya, Charlie tetap langganan juara di berbagai pertandingan angkat besi nasional maupun internasional. Lebih istimewa lagi, semua dicapai tanpa bimbingan pelatih tetap. Rekor-rekor itu antara lain tercatat di Kompas edisi 03 September 1966 dan 14 September 1967. “Papa buat program latihan sendiri. Pagi, sore, malam beliau latihan sendiri di Senayan. Kalau ada orang latihan, papa ikut juga,” tutur Enosh Depthios, putra ke tiga Charlie.

Meski tanpa pelatih, bukan berarti Charlie tidak tahu teknik. Setiap kali keluar negeri, ia selalu menyempatkan diri menimba ilmu dari pelatih di negara tuan rumah. “Papa sering kerja sampingan di luar jadwal tanding di luar negeri. Hasilnya antara lain untuk membayar biaya konsultasi dengan pelatih luar negeri,” ujar Enosh.

Dengan bekal pengetahuan itu, Charlie menyusun program latihan sendiri. Hasilnya antara lain dua kali rekor dunia angkat besi nomor clean and jerk pada kelas terbang ringan. Rekor pertama dicetak di Surabaya, 28 September 1969 dengan angkatan 127,5 Kg. Tidak ada yang menduga rekor itu dicetak Charlie yang 11 bulan sebelumnya gagal mencapai prestasi memuaskan di Olimpiade. Bahkan, Gubernur Jakarta Ali Sadikin sampai salah menyalami lifter lain. Ali tidak menyangka rekor itu dicetak lifter dengan tinggi badan 154 sentimeter (Kompas, 19 Mei 1972)

Rekor kedua dicetak dalam Olimpiade Muenchen, Jerman pada 27 Agustus 1972 dengan angkatan 132,5 Kg (Kompas, 28 Agustus 1972). Sebagian orang menyebut rekor itu bertahan hingga 27 September 1991. Alasannya, pada tanggal itu baru ada lifter dengan berat maksimun 52 Kg mengangkat beban 155,5 Kg. Rekor itu dicatatkan oleh Ivan Ivanov dari Bulgaria pada kejuaraan dunia di Jerman.

Motivasi Sendiri

Beruntung Charlie tidak perlu memikirkan sendiri cara bertanding ke luar negeri. Kepala Dinas Tata Kota Jakarta di dekade 1960-an, Rio Tambunan menjadi orang yang bertanggung jawab soal pembiayaan itu. “Papa sering cerita, Pak Rio urus soal gizi dan tiket berangkat ke luar negeri,” ujarnya.

Tak hanya soal kebutuhan latihan, Rio mengontrakkan rumah bagi Charlie di kawasan Patal Senayan. Rumah itu ditempati Charlie selama tidak mengikuti pemusatan latihan menjelang pertandingan-pertandingan internasional. Selain di rumah itu, Charlie pernah pula tinggal di Wisma Krida, mess atlet kala itu.

Rio pula yang memastikan Charlie mendapat nutrisi cukup saat bersiap menuju Olimpiade Meksiko 1968. Selain nutrisi, perbekalan dan pembiayaan Charlie juga diurus Rio. “Untuk latihan, papa ikut pemusatan latihan di senayan,” Erick.

Jangan bayangkan alatnya bagus. Charlie mengatakan alat di Senayan masih jauh dibandingkan pusat kebugaran paling jelek di Amerika Serikat (Kompas, 03 November 1970). Namun, semua itu tidak menghalanginya tekun berlatih.

Kedisiplinan dan ketekunan berlatih tanpa pelatih tetap itu hanya mungkin dilakukan dengan motivasi tinggi. Charlie memang punya motivasi itu. Baginya, setiap angkatan adalah tantangan baru dan harus ditaklukkan. “Papa selalu berkata seperti itu saat sudah menjadi pelatih,” ujarnya.

Hanya saja, Erick maupun Enosh tidak ingat mengapa Charlie gagal tampil memuaskan pada Olimpiade Meksiko. Tiga kali ia gagal mengangkat barbel 97,5 Kg dalam pertandingan pada Minggu pagi, 13 Oktober 1968.  Padahal, seperti diberitakan Kompas dalam edisi 30 Mei 1968, Charlie mampu mengangkat hingga 123 Kg. Angkatan itu dicatatkan dalam Kejuaraan Angkat Besi Nasional di Gedung Lokasari, Jakarta, 29 Mei 1968.

Sejumlah catatan di kemudian hari menunjukan kala itu Charlie harus melakukan angkatan press. Namun, ada kesalahan teknik sehingga angkatannya dinyatakan tidak sah. Tiga kali ia mendapat kesempatan dan gagal dimanfaatkan. Kegagalan itu membuat Charlie didiskualifikasi dari Olimpiade.“Waktu pulang, tiga hari papa kehilangan semangat. Tidak mau makan, tidak nafsu latihan. Biasanya, papa selalu semangat kalau latihan,” ungkap Erick.

Namun, setelah itu motivasi Charlie bangkit lagi. Ia berlatih lebih keras dan hasilnya rekor dunia pada 1969. “Tetapi, papa sering cerita tidak puas dengan dua rekor dunia. Papa ingin (mencetak) lebih banyak rekor dunia,” ujarnya.

Prihatin

Selain karena mencari tantangan, motivasi Charlie berprestasi adalah demi keluarga. Charlie sudah bertekad hanya hidup dari angkat besi. Karena itu, ia ingin mencapai prestasi terbaik di olah raga itu. “Kalau prestasi bagus, imbalannya akan bagus. Jadi, ada tambahan untuk keluarga,” kenang Erick.

Memang, imbalan atlet kala itu tidaklah sebesar atlet-atlet sekarang. Untuk berangkat bertanding saja, kadang atlet tidak mendapat uang saku. “Papa pernah jadi pencuci piring di Ohio, Amerika Serikat setelah ikut bertanding. Alasannya mau cari uang buat beli oleh-oleh dan bayar konsultasi dengan pelatih di sana,” ujar Enosh.

Keberangkatan Charlie ke kejuaraan dunia tahun 1970 di Ohio itu memang tidak mendapat restu dari Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI). Namun, ia tetap berangkat dengan bekal 20 dolar AS. Meski tidak mendapat restu, Charlie meraih juara kedua pada ajang itu. “Papa tidak langsung pulang. Kerja dulu di sana sambil mempelajari teknik dari pelatih luar negeri,” ujar Enosh.

Namun, pulang dengan status juara dua pada pertandingan dunia bukan berarti disambut limpahan materi. Charlie bahkan tidak sanggup membayar biaya berobat untuk sakit giginya yang kambuh setiba di tanah air. Di sela pemusatan latihan Asean Games VI, ia menyempatkan diri ke Bandung. Di sana, ia menemui kenalan yang mau mengobatinya secara gratis.

Hidup pas-pasan juga dilakoninya saat Charlie mulai menjadi pelatih di pertengahan dekade 1970-an. Dengan lima anak, ia melatih di Pekan baru, Riau. Meski berkeras hanya mau menjadi pelatih, Charlie sadar harus menghidupi keluarga. Karena itu, ia membeli tiga oplet yang dioperasikan. “Duitnya dari hasil penjualan rumah hadiah Ali Sadikin di Tomang, Jakarta. Kami hidup dari hasil oplet itu,” ujar Erick.

Tidak hanya harus menghidupi keluarga, Charlie juga harus memberi makan sejumlah atlet binaannya. “Kami tinggal di rumah yang sama.  Mama saya pelihara ayam. Telurnya buat gizi atlet-atlet yang tinggal sama kami,” ujarnya.

Kebiasaan menampung atlet itu dilakoni Charlie sejak menjadi pelatih di Papua pada tahun 1974. Saat pindah ke Pekanbaru, Makassar, dan Jambi, Charlie tetap menampung sebagian anak asuhnya. “Sebagian calon atlet yang dilatih papa bukan dari kalangan mampu. Sebagian malah bekas preman yang tidak punya rumah dan pekerjaan tetap,” ujar Enosh.

Istri Charlie, Endang Setyanti menuturkan, tidak pernah mengerti bagaimana mereka bisa bertahan. Saat melatih di  Jambi mulai tahun 1990, Charlie dibayar Rp 300.000 per bulan. Kala itu, anaknya sudah tujuh orang yang dua di antaranya mulai kuliah di Makassar. “Dengan gaji Rp 300.000 itu, kami sekeluarga tujuh orang ditambah tiga calon atlet tinggal bersama,” ujarnya.

Gaji itu senilai diterima Charlie sampai tutup usia pada 04 September 1999. Atlet yang pantang menyerah, pelatih yang itu  meninggal setelah menderita stroke selama 18 bulan

catatan : versi pendek dari tulisan ini dimuat di harian Kompas, 17 Juli 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun