Hidup pas-pasan juga dilakoninya saat Charlie mulai menjadi pelatih di pertengahan dekade 1970-an. Dengan lima anak, ia melatih di Pekan baru, Riau. Meski berkeras hanya mau menjadi pelatih, Charlie sadar harus menghidupi keluarga. Karena itu, ia membeli tiga oplet yang dioperasikan. “Duitnya dari hasil penjualan rumah hadiah Ali Sadikin di Tomang, Jakarta. Kami hidup dari hasil oplet itu,” ujar Erick.
Tidak hanya harus menghidupi keluarga, Charlie juga harus memberi makan sejumlah atlet binaannya. “Kami tinggal di rumah yang sama. Mama saya pelihara ayam. Telurnya buat gizi atlet-atlet yang tinggal sama kami,” ujarnya.
Kebiasaan menampung atlet itu dilakoni Charlie sejak menjadi pelatih di Papua pada tahun 1974. Saat pindah ke Pekanbaru, Makassar, dan Jambi, Charlie tetap menampung sebagian anak asuhnya. “Sebagian calon atlet yang dilatih papa bukan dari kalangan mampu. Sebagian malah bekas preman yang tidak punya rumah dan pekerjaan tetap,” ujar Enosh.
Istri Charlie, Endang Setyanti menuturkan, tidak pernah mengerti bagaimana mereka bisa bertahan. Saat melatih di Jambi mulai tahun 1990, Charlie dibayar Rp 300.000 per bulan. Kala itu, anaknya sudah tujuh orang yang dua di antaranya mulai kuliah di Makassar. “Dengan gaji Rp 300.000 itu, kami sekeluarga tujuh orang ditambah tiga calon atlet tinggal bersama,” ujarnya.
Gaji itu senilai diterima Charlie sampai tutup usia pada 04 September 1999. Atlet yang pantang menyerah, pelatih yang itu meninggal setelah menderita stroke selama 18 bulan
catatan : versi pendek dari tulisan ini dimuat di harian Kompas, 17 Juli 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H