Rio pula yang memastikan Charlie mendapat nutrisi cukup saat bersiap menuju Olimpiade Meksiko 1968. Selain nutrisi, perbekalan dan pembiayaan Charlie juga diurus Rio. “Untuk latihan, papa ikut pemusatan latihan di senayan,” Erick.
Jangan bayangkan alatnya bagus. Charlie mengatakan alat di Senayan masih jauh dibandingkan pusat kebugaran paling jelek di Amerika Serikat (Kompas, 03 November 1970). Namun, semua itu tidak menghalanginya tekun berlatih.
Kedisiplinan dan ketekunan berlatih tanpa pelatih tetap itu hanya mungkin dilakukan dengan motivasi tinggi. Charlie memang punya motivasi itu. Baginya, setiap angkatan adalah tantangan baru dan harus ditaklukkan. “Papa selalu berkata seperti itu saat sudah menjadi pelatih,” ujarnya.
Hanya saja, Erick maupun Enosh tidak ingat mengapa Charlie gagal tampil memuaskan pada Olimpiade Meksiko. Tiga kali ia gagal mengangkat barbel 97,5 Kg dalam pertandingan pada Minggu pagi, 13 Oktober 1968. Padahal, seperti diberitakan Kompas dalam edisi 30 Mei 1968, Charlie mampu mengangkat hingga 123 Kg. Angkatan itu dicatatkan dalam Kejuaraan Angkat Besi Nasional di Gedung Lokasari, Jakarta, 29 Mei 1968.
Sejumlah catatan di kemudian hari menunjukan kala itu Charlie harus melakukan angkatan press. Namun, ada kesalahan teknik sehingga angkatannya dinyatakan tidak sah. Tiga kali ia mendapat kesempatan dan gagal dimanfaatkan. Kegagalan itu membuat Charlie didiskualifikasi dari Olimpiade.“Waktu pulang, tiga hari papa kehilangan semangat. Tidak mau makan, tidak nafsu latihan. Biasanya, papa selalu semangat kalau latihan,” ungkap Erick.
Namun, setelah itu motivasi Charlie bangkit lagi. Ia berlatih lebih keras dan hasilnya rekor dunia pada 1969. “Tetapi, papa sering cerita tidak puas dengan dua rekor dunia. Papa ingin (mencetak) lebih banyak rekor dunia,” ujarnya.
Prihatin
Selain karena mencari tantangan, motivasi Charlie berprestasi adalah demi keluarga. Charlie sudah bertekad hanya hidup dari angkat besi. Karena itu, ia ingin mencapai prestasi terbaik di olah raga itu. “Kalau prestasi bagus, imbalannya akan bagus. Jadi, ada tambahan untuk keluarga,” kenang Erick.
Memang, imbalan atlet kala itu tidaklah sebesar atlet-atlet sekarang. Untuk berangkat bertanding saja, kadang atlet tidak mendapat uang saku. “Papa pernah jadi pencuci piring di Ohio, Amerika Serikat setelah ikut bertanding. Alasannya mau cari uang buat beli oleh-oleh dan bayar konsultasi dengan pelatih di sana,” ujar Enosh.
Keberangkatan Charlie ke kejuaraan dunia tahun 1970 di Ohio itu memang tidak mendapat restu dari Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI). Namun, ia tetap berangkat dengan bekal 20 dolar AS. Meski tidak mendapat restu, Charlie meraih juara kedua pada ajang itu. “Papa tidak langsung pulang. Kerja dulu di sana sambil mempelajari teknik dari pelatih luar negeri,” ujar Enosh.
Namun, pulang dengan status juara dua pada pertandingan dunia bukan berarti disambut limpahan materi. Charlie bahkan tidak sanggup membayar biaya berobat untuk sakit giginya yang kambuh setiba di tanah air. Di sela pemusatan latihan Asean Games VI, ia menyempatkan diri ke Bandung. Di sana, ia menemui kenalan yang mau mengobatinya secara gratis.