Membaca puisi-puisi Jokpin seperti mengulum permen dengan aneka rasa, ada rasa santun ada pula majenun, ada rasa refleksi ada pula cipika-cipiki, ada rasa gugat ada pula hormat – yang jelas, jangan dipikir, baca saja sampeyan akan tahu rasanya!
Kendati pernah mengagumi Sapardi Djoko Damono, tetapi Joko Pinurbo telah berkibar dengan puisi-puisi celana-nya. Kekaguman pada karakter Sapardi tampak pada, misalnya, puisi ”Rumah Kontrakan”, juga pada ”Laki-laki Tanpa Celana”. Namun, Jokpin telah menemukan ekspresi yang tersendiri, bahkan cenderung unik, dengan mengulik diksi yang lirik, pada bagian akhir cenderung menimbulkan keterkejutan atau kekonyolan yang reflektif.
Pada kumpulan ”Selamat Menunaikan Ibadah Puisi” (2016), Jokpin memilih satu puisi lawas (1989) yaitu ”Tengah Malam” yang kelelahan menghadapi yang kalut:
Waktu itu tengah malam.
Kau menangis. Tapi ranjang
mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.
Puisi-puisi Jokpin cenderung naratif dengan kata-kata yang nyaman dinikmati, walaupun tiba-tiba mengejutkan dengan pembalikan logika – mirip ketika kita menonton acara Cak Lontong di televisi. Selanjutnya, Jokpin mengajak kita mengingat tamasya dan kecengengan masa lalu (Hutan Karet, 1990):
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar
Membelit kenangan terjal.
Sesaat sebelum surya berlalu
Masih kudengar suara beduk bertalu-talu.
Jokpin cerdas mengulik peristiwa biasa menjadi narasi yang menotok-notok imajinasi, untuk diksi, secara pribadi, saya lebih menyukai kumpulan-kumpulannya yang masih stensilan, diedarkan sendiri di lingkungan kampusnya masa itu (sebelum 1989) – kegigihan bergulat dengan puisi secara serius, akhirnya diapresiasi dunia dengan penghargaan-penghargaan yang memang layak diterimanya.
Cobalah menyimak ”Kebun Hujan” yang ditulis 2001, titik-titik air yang membeku dan berjatuhan itu diuliknya menjadi:
Air mataku berkilauan
di bangkai-bangkai hujan
dan matahari menguburkan
mayat-mayat hujan.
Selanjutnya, rasakan permainan kata-kata yang menggelikan pada ”Lupa” (2003) ini, logika kita akan meloncat ke sana ke mari:
Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa
ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata
sering kompak juga.
Ada sebagian puisinya yang nakal, tetapi mengejutkan daya imajinasi kita, karena tiba-tiba berbelok arah dari alur yang ada dalam pemikiran biasa:
Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu
pelan-pelan terbuka dan merebaklah bau masam
dari ketiakmu. Aku gugup. Tapi tak mungkin
kupanggil almarhumah ibuku untuk mengajariku
membaca halaman-halaman tubuhmu sebagaimana
dulu dengan tekun dan sabar ia mengajariku
membaca kalimat-kalimat sederhana:
ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu.
Sebagian yang lain, mengajak umat untuk merefleksikan imannya, meskipun kita harus memantul-mantulkan imajinasi ke mana-mana, misalnya pada ”Celana Ibu” (2004) yang berkaitan dengan Hari Paskah:
Ketika tiga hari kemudian
Yesus bangkit dari mati,
pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa
celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.
”Paskah?” tanya Maria
”Pas!” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Juga yang ini, mengejek kita sebagai umat beragama yang gemar memiskinkan diri demi mendapat uang santunan dari pemerintah (Sehabis Sembahyang, 2005):
Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku
di bawah bantal supaya tenang tidurku.
di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu.
di saku kanannya kutemukan uang seratus ribu.
Jokpin tidak pernah berhenti menggoda dengan kecengengan, kenakalan, kekonyolan, kata umpatan, dengan menumpuk-numpuk makna sembari menciprat-cipratkan imajinasi tanpa henti. Sampeyan yang menyukai puisi Sapardi, pasti akan menyenangi pula puisi Jokpin, bahkan lebih segar dengan lentingan-lentingan logika yang terasa janggal – justru membikin sampeyan terpingkal-pingkal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H