Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenakalan Joko Pinurbo yang Tawakal

10 Mei 2017   15:22 Diperbarui: 10 Mei 2017   18:01 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca puisi-puisi Jokpin seperti mengulum permen dengan aneka rasa, ada rasa santun ada pula majenun, ada rasa refleksi ada pula cipika-cipiki, ada rasa gugat ada pula hormat – yang jelas, jangan dipikir, baca saja sampeyan akan tahu rasanya!

Kendati pernah mengagumi Sapardi Djoko Damono, tetapi Joko Pinurbo telah berkibar dengan puisi-puisi celana-nya. Kekaguman pada karakter Sapardi tampak pada, misalnya, puisi ”Rumah Kontrakan”, juga pada ”Laki-laki Tanpa Celana”. Namun, Jokpin telah menemukan ekspresi yang tersendiri, bahkan cenderung unik, dengan mengulik diksi yang lirik, pada bagian akhir cenderung menimbulkan keterkejutan atau kekonyolan yang reflektif.

Pada kumpulan ”Selamat Menunaikan Ibadah Puisi” (2016), Jokpin memilih satu puisi lawas (1989) yaitu ”Tengah Malam” yang kelelahan menghadapi yang kalut:

Waktu itu tengah malam.

Kau menangis. Tapi ranjang

mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.

Puisi-puisi Jokpin cenderung naratif dengan kata-kata yang nyaman dinikmati, walaupun tiba-tiba mengejutkan dengan pembalikan logika – mirip ketika kita menonton acara Cak Lontong di televisi. Selanjutnya, Jokpin mengajak kita mengingat tamasya dan kecengengan masa lalu (Hutan Karet, 1990):

Dan sebuah jalan melingkar-lingkar

Membelit kenangan terjal.

Sesaat sebelum surya berlalu

Masih kudengar suara beduk bertalu-talu.

Jokpin cerdas mengulik peristiwa biasa menjadi narasi yang menotok-notok imajinasi, untuk diksi, secara pribadi, saya lebih menyukai kumpulan-kumpulannya yang masih stensilan, diedarkan sendiri di lingkungan kampusnya masa itu (sebelum 1989) – kegigihan bergulat dengan puisi secara serius, akhirnya diapresiasi dunia dengan penghargaan-penghargaan yang memang layak diterimanya.

Cobalah menyimak ”Kebun Hujan” yang ditulis 2001, titik-titik air yang membeku dan berjatuhan itu diuliknya menjadi:

Air mataku berkilauan

di bangkai-bangkai hujan

dan matahari menguburkan

mayat-mayat hujan.

Selanjutnya, rasakan permainan kata-kata yang menggelikan pada ”Lupa” (2003) ini, logika kita akan meloncat ke sana ke mari:

Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa

ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata

sering kompak juga.

Ada sebagian puisinya yang nakal, tetapi mengejutkan daya imajinasi kita, karena tiba-tiba berbelok arah dari alur yang ada dalam pemikiran biasa:

Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu

pelan-pelan terbuka dan merebaklah bau masam

dari ketiakmu. Aku gugup. Tapi tak mungkin

kupanggil almarhumah ibuku untuk mengajariku

membaca halaman-halaman tubuhmu sebagaimana

dulu dengan tekun dan sabar ia mengajariku

membaca kalimat-kalimat sederhana:

ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu.

Sebagian yang lain, mengajak umat untuk merefleksikan imannya, meskipun kita harus memantul-mantulkan imajinasi ke mana-mana, misalnya pada ”Celana Ibu” (2004) yang berkaitan dengan Hari Paskah:

Ketika tiga hari kemudian

Yesus bangkit dari mati,

pagi-pagi sekali Maria datang

ke kubur anaknya itu, membawa

celana yang dijahitnya sendiri

dan meminta Yesus mencobanya.

”Paskah?” tanya Maria

”Pas!” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,

Yesus naik ke surga.

Juga yang ini, mengejek kita sebagai umat beragama yang gemar memiskinkan diri demi mendapat uang santunan dari pemerintah (Sehabis Sembahyang, 2005):

Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku

di bawah bantal supaya tenang tidurku.

di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu.

di saku kanannya kutemukan uang seratus ribu.

Jokpin tidak pernah berhenti menggoda dengan kecengengan, kenakalan, kekonyolan, kata umpatan, dengan menumpuk-numpuk makna sembari menciprat-cipratkan imajinasi tanpa henti. Sampeyan yang menyukai puisi Sapardi, pasti akan menyenangi pula puisi Jokpin, bahkan lebih segar dengan lentingan-lentingan logika yang terasa janggal – justru membikin sampeyan terpingkal-pingkal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun