Mendikbud RI, Nadiem Makarim, dalam pidatonya saat upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 di Jakarta menegaskan bahwa ia akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Ia menegaskan: "Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan.Â
Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia" (Media Indonesia, 23/11/19). Basis argumentasi Mendikbud yakni selama ini guru dibebani oleh berbagai macam beban administrasi (entah itu penyusunan Silabus dan RPP, dan masih banyak lagi). Guru menjadi seperti robot yang kaku karena mesti mengikuti rancangan pembelajaran. Konsekuensinya, guru sulit berkembang dalam pengajaran dan menjadi tidak kreatif. Inovasi pembelajaran pun menjadi mandek.
Untuk mengatasi masalah ini, Mendikbud berkomitmen untuk memerdekakan dunia pendidikan dari belenggu dan jajahan administrasi yang membebani guru. Dengan demikian, guru bebas dan menjadi kreatif dalam menjalankan proses belajar-mengajar di ruang kelas.
Pidato yang amat berbeda, singkat dan padat itu menegaskan sebuah nilai yang mesti diperjuangkan oleh para guru yakni nilai kemerdekaan dalam belajar. Selain guru bisa bernapas lega dari beban administrasi, implementasi dari kemerdekaan belajar adalah guru dituntut untuk menciptakan suasana gembira dan bahagia bagi siswa saat mengikuti proses pembelajaran di kelas.
Untuk itu, Mendikbud juga mengimbau agar guru sebagai subyek penggerak dunia pendidikan mesti membuat perubahan kecil dalam pendidikan. Ia menegaskan: "Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini akan bergerak."
Konkretisasi dari pidato Mendikbud adalah dikeluarkannya program Merdeka Belajar. Adapun program ini ditopang oleh empat kebijakan penting, yakni Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Pertama, USBN akan diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan oleh sekolah bersangkutan. Ujian untuk kompetensi siswa dapat dilakukan lewat tes tertulis dan/atau bentuk lain yang lebih komprehensif, seperti penugasan, dan sebagainya. Anggaran USBN dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah.
Kedua, UN terakhir terjadi pada tahun 2020. Selanjutnya UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang terdiri dari literasi (kemampuan bernalar menggunakan Bahasa), numerasi (kemampuan bernalar menggunakan Matematika), dan penguatan pendidikan karakter (misalnya gotong royong, kebhinekaan, dan lain-lain). Patut diingat, hasil dari AKM dan Survei Karakter tidak bisa digunakan untuk seleksi ke jenjang yang lebih tinggi. Penilaian ini mengacu pada level internasional seperti PISA dan TIMSS.
Ketiga, penulisan RPP harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga guru memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran. RPP hanya merangkum tiga komponen inti: tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Komponen lain bersifat pelengkap dan dapat dipilih sendiri. Dengan itu, 1 halaman cukup untuk pembuatan RPP.
Keempat, untuk mengatasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah, kebijakan PPDB sistem zonasi lebih fleksibel. Jalur zonasi minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, jalur perpindahan maksimal 5%, dan jalur prestasi (0-30%) disesuaikan dengan kondisi daerah. Pasalnya, daerah berwenang menetapkan wilayah zonasi. Dalam PPDB, pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif dari pemerintah daerah seperti redistribusi guru ke sekolah yang mengalami kekurangan guru.
Membincangkan "Merdeka Belajar"
Satu hal yang pasti dalam dunia pendidikan di negeri ini adalah setiap pergantian menteri pendidikan, selalu saja ada celah pergantian atau revisi kurikulum atau perubahan kebijakan pendidikan. Hal ini tentu bernilai positif yakni pendidikan selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, pendidikan selalu membaarui diri di tengah perubahan zaman.
Namun, satu hal yang tak bisa dielakkan yakni kesulitan sekolah-sekolah yang berada di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Sekolah ini memiliki infrastruktur yang kurang mendukung (seperti jaringan internet yang sulit), skill dari para guru untuk menguasai teknologi masih lemah, dan berbagai litani penderitaan lainnya. Akibatnya, info ter-update dari dunia pendidikan sulit diperoleh.
Membincangkan program Merdeka Belajar berarti menimbang sisi kelebihan dan kekurangan dari program itu sendiri. Pertama, kelebihan. Kelebihan dari program Merdeka Belajar adalah kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat. Hal ini dikarenakan setiap siswa diberi ruang yang cukup untuk melihat sebuah fenomena dan mencoba mendiskusikannya secara lebih mendalam. Fenomena yang ditampilkan pun sesuai konteks dan keadaan siswa.
Siswa diberi kesempatan untuk bernalar menggunakan bahasa yang baik dan bernalar menggunakan Matematika yang dikuasai. Hasilnya, potensi siswa di kelas menjadi berkembang. Selain itu, potensi guru pun muncul. Guru menjadi kreatif dan berinovasi dalam proses pembelajaran karena tidak berada dalam tekanan administrasi pendidikan. Melalui penyederhanaan peraturan kependidikan, beban guru untuk menyusun RPP, pengembangan silabus, penyusunan program semester, dan sebagainya menjadi ringan.
Kedua, kekurangan. Dilansir dari detik.com (19/12/19) Zainuddin Maliki, anggota komisi X dari Fraksi PAN DPR mengkritik 4 program Merdeka Belajar dari Kemdikbud. Menurutnya, program itu tidak urut atau lompat-lompat. Urutan program yang dikeluarkan Kemdikbud, yakni USBN, UN, RPP, dan PPDB sistem zonasi. Padahal, menurutnya, yang pertama mestinya PPDB sistem zonasi, RPP (sebagai proses), USBN dan UN (sebagai hasil evaluasi). Ia juga menegaskan bahwa pemerintah mesti meletakkan konteks pendidikan yang utuh.
Selain itu, dengan mengganti atau merevisi kurikulum dan kebijakan pendidikan, guru mengalami kewalahan untuk menyesuaikan dirinya.
Opsi Solutif
Doni Koesoema dalam artikelnya menulis demikian: "Sebelum merdeka belajar, guru perlu belajar merdeka terlebih dahulu" (Kompas, 25/2/20).
Pernyataan ini menjadi semacam alarm yang menghentak kesadaran para guru untuk merenungkan sejauh mana relevansi konsep Merdeka Belajar yang dikeluarkan Mendikbud bagi guru dalam proses pembelajaran. Penulis menawarkan opsi solutif sebagai berikut.
Pertama, guru mesti belajar merdeka lebih dahulu dari cara mengajar yang konvensional. Guru mesti mencari referensi terkait bagaimana memfasilitasi pembelajaran yg berpusat pada siswa. Pemberlakuan metode ceramah dan monolog dari guru mesti ditinggalkan. Mengenai hal ini, P. Ratu Ile Tokan dalam bukunya, Manajemen Penelitian Guru untuk Pendidikan Bermutu, menegaskan bahwa pemberlakuan metode ceramah dalam pembelajaran akan mendapat tantangan karena ketidakberdayaan metode itu dalam membangun berbagai kompetensi  atau kecerdasan siswa secara simultan. Maka, metode tersebut mesti ditinggalkan dan diganti dengan metode pembelajaran lain, seperti diskusi, metode eksperimen, dan lain sebagainya (P. Ratu Ile Tokan, 2016: hlm. 266).
Kedua, guru mesti belajar merdeka dari pola pikir dan paradigmanya yang kadaluarsa. Bahwasanya di tengah perkembangan teknologi dan informasi, guru bukan menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi siswa. Oleh karena itu, guru mesti selalu meng-update informasi yang penting berkaitan dengan dunia pendidikan.
Ketiga, untuk menunjang update informasi dari guru di daerah 3 T, pemerintah mesti memprioritaskan perbaikan infrastruktur demi menunjang pendidikan, seperti membangun tower untuk akses signal dan jaringan internet.
Keempat mesti ada sosialisasi dari Kemendikbud terkait Merdeka Belajar yang memadai kepada sekolah-sekolah. Dengan itu, guru tidak memahami secara setengah-setengah program yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Jangan sampai, program Merdeka Belajar ini justru membelenggu guru yang tidak mengetahui arah dan tujuan dari program ini.
Akhir kata, penulis mengapresiasi upaya pemerintah untuk memerdekakan dunia pendidikan dari berbagai tantangan internal yang ada di dalamnya. Semoga semua komponen pendidikan memiliki satu kesepahaman agar ketika negeri kita memasuki usia yang ke-100 di tahun 2045, kita menghasilkan sumber daya manusia yang berdaya saing global.***
*catatan:
Artikel ini pernah dimuat di HU Pos Kupang, 4 September 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H